Rizky menepikan mobilnya di depan halaman kafe buku. Sebelum memasuki kafe tersebut, dia menghela napas panjang sambil membenarkan dasi yang dikenakannya. Menatap plang nama kafe selama beberapa detik.
Sekretaris Zidane itu berjalan menghampiri pelayan untuk menanyakan keberadaan Zidane dan Annisa.
"Permisi, saya mau bertemu dengan Pak Zidane dan istrinya," ucap Rizky langsung pada inti pembicaraan.
"Oh, ya. Mari saya antar," jawab Arya sopan.
Arya berjalan terlebih dulu, memandu Rizky untuk bertemu dengan Zidane di ruang kerjanya.
Pasangan suami istri yang sedang berbincang itu menghentikan pembicaraannya saat mendengar suara ketukan pintu. Mereka secara bersamaan menoleh ke arah luar melihat seseorang yang datang.
"Pak Zidane, ada tamu yang mau bertemu Pak Zidane dan Nona Annisa," ucap Arya.
"Suruh dia masuk!"
Arya mengangguk, dia pergi setelah sebelumnya sudah mempersilakan Rizky bertemu dengan atasannya.
"Aku sudah b
Sepasang netra setajam elang sedang menatap seorang pria paruh baya yang baru saja datang menghampiri di ruang kerjanya. Hening tercipta selama beberapa saat hingga menciptakan ketegangan di dalam ruangan itu."Apa ada yang ingin Anda sampaikan kepada saya?" Suara tegas Zidane memecah keheningan.Pria paruh baya yang sedang duduk di sofa berseberangan dengannya itu menatap Zidane sambil tersenyum tenang."Kau sudah mendengar beritanya, bukan? Saham perusahaan ini 45% adalah milikku dan jika digabungkan dengan saham yang dimiliki Sarah, tentu saja hampir seratus persen akan menjadi milikku," ujar Hari.Pria paruh baya itu sengaja menjeda perkataannya dan tidak berbicara langsung kepada intinya. Dia meraih cangkir berisi minuman miliknya, lalu menyesapnya perlahan dan begitu tenang."Lalu?" tanya Zidane.Hari tersenyum menanggapi sikap lawan bicaranya yang acuh tak acuh."Tentu saja jabatanmu di sini tidak akan bertahan lebih lama. Kau
"Bagaimana hasilnya? Kau sudah mendapatkan apa yang kuperintahkan?" tanya Zidane kepada seseorang yang ada di seberang teleponnya.Pria berparas tampan tetapi tegas itu mengangguk seolah orang yang sedang berbicara dengannya melalui telepon itu bisa melihat."Oke, selesaikan secepatnya!" titahnya.Setelah itu, Zidane mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dia menghela napas berat, menatap kosong ke arah depan dengan pikiran yang terus berputar mencari cara untuk memecahkan permasalahan yang sedang dia hadapi.Zidane kembali menyalakan ponselnya, kali ini dia akan menghubungi Rizky yang dia tugaskan untuk menyusul Antonio.Sementara di lain tempat, Annisa baru saja meninggalkan kafe buku karena ingin bertemu dengan sahabatnya, Nayla.Mereka sudah lama tidak bertemu karena Nayla pergi bersama keluarganya untuk urusan yang tidak Annisa ketahui dan dia pun tidak mau mencari tahu kecuali Nayla sendiri yang mau bercerita."Nisa!" teria
Nayla menghela napas, menatap sendu wajah Annisa seolah merasakan kesedihan yang sedang sahabatnya itu rasakan."Ya Allah, Nis," lirih Nayla. "Jadi, papamu memberikan semua saham perusahaan kepada tante Sarah dan bukan untuk anak kandungnya sendiri?" tanyanya dengan ekpresi merasa tidak percaya dengan apa yang sedang dia dengar.Annisa menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan Nayla yang secara tidak langsung sudah berpikir negatif tentang papanya yang sudah tiada."Ceritanya panjang. Aku dan Zidane sedang mencari tahu kebenarannya. Entahlah, aku merasa tante Sarah berbohong," ucap Annisa.Tatapan mata gadis berhijab itu menerawang kosong. Sesaat kemudian, dia menunduk untuk menetralkan perasaannya yang bercampur aduk."Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Kita sudah lama tidak bertemu, seharusnya kita bersenang-senang sekarang," ucap Annisa.Dia mencoba mengalihkan pembicaraan agar suasananya tidak tegang dan sedih. Nayla mengangguk setuju
"Sampai kapan kau akan menolakku seperti ini, Nisa?" gertak Yogi sambil mencengkram erat lengan Annisa. Pendar bola mata pria itu menyiratkan amarah dan kecewa yang becampur menjadi satu."Lepas! Kau menyakitiku, Yogi." Annisa meringis kesakitan.Meski dia takut melihat Yogi yang sudah dikuasai amarahnya, tetapi Annisa berusaha tidak menunjukkan ketakutan itu.Bukankah lawan akan semakin senang saat melihat mangsanya melemah? Annisa menggunakan kekuatannya untuk mendorong Yogi, lalu berusaha untuk kabur.Namun, niatnya itu tidak berhasil karena lagi-lagi Yogi menahan dengan menarik tangannya kembali. Pria itu mengambil ponsel di dalam saku celana, lalu mencari sesuatu di dalamnya.Beberapa detik kemudian, pria itu menunjukkan layarnya benda pipih itu tepat di depan wajah Annisa."Lihat!" titahnya.Annisa terdiam menatap sebuah gambar yang tertangkap layar ponsel Yogi. Seseorang yang sangat familiar di matanya terpampang jelas di sana
Zidane menarik lengan Annisa ke belakang tubuhnya. Iris cokelat yang menyerupai elang itu menatap pria yang baru saja ingin membawa istrinya pergi dengan tatapan tajam penuh peringatan.Tanpa berkata sepatah kata pun, Zidane merangkul pinggang Annisa, lalu membawa gadis itu pergi menuju ke mobilnya. Meninggalkan Yogi yang masih bergeming di tempatnya semula.Mantan kekasih Annisa itu tersenyum simpul, lalu kedua tangannya mengepal erat sambil menatap tajam punggung pria yang paling dia benci saat ini."Pergilah, Nisa. Pergi! Kau akan menyesal karena ikut dengannya."Zidane berbalik, menatap wajah Yogi dengan sorot yang tajam. Sementara Annisa hanya diam, berkecambuk dalam pikirannya sendiri.Gadis berhijab itu tertunduk, mencoba untuk menjernihkan kembali pikirannya. Sedetik kemudian, dia mengangkat pandangannya, menatap Yogi yang jega sedang melihat ke arahnya."Aku sudah memperingatkanmu, Nisa. Dia ... tak sebaik seperti yang kau pikirkan
"Zidane, apa kau tak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?" tanya Annisa.Kedua alis pria tampan itu saling bertautan memandangi wajah sang istri dari samping. Gadis itu nampak tenang meminum cokelat hangat yang dia sediakan."Bicara soal apa?" Zidane balik bertanya karena dia tidak mengerti maksud perkataan istrinya itu.Annisa menyimpan cangkirnya di atas meja. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah sang suami yang juga sedang menatapnya. Menunggu sebuah penjelasan atas tanya yang mungkin tidak bisa dia pahami maksudnya."Ya, tentang apa saja. Mungkin kau ingin berbagi cerita denganku," ucap Annisa datar.Zidane terdiam beberapa detik. Kedua alisnya saling bertautan, mencoba mencerna arah pembicaraan yang sedang istrinya pertanyakan.Dia kembali melihat ke arah Annisa, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak ada," jawabnya."Kau yakin?" tanya Annisa."Ya." Zidane begitu yakin dengan keputusannya. Hal itu membuat Annisa
Annisa kembali berbaring membelakangi Zidane. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Sementara itu, Zidane menggaruk tengkuknya yang tidak gatal melihat sang istri marah kepadanya."Sayang, aku bisa jelaskan semuanya. Aku memang bertemu dengan Maudy, tapi bukan seperti yang kamu pikirkan," jelas Zidane.Tak ada sahutan dari Annisa. Gadis itu masih enggan membuka selimut yang menutupi kepalanya."Aku tidak tahu apa yang Yogi katakan kepadamu, tetapi aku pastikan semua itu tidak benar," ucap Zidane lagi.Annisa menyingkirkan selimut tebal yang menutupi wajahnya. Manik cokelat itu menatap sinis ke arah pria yang sedang memandanginya dengan sorot yang memelas."Kalau benar tidak ada apa-apa, kenapa kau terlihat mesra sekali dalam foto itu? Kamu bahkan diam dan menikmati saat Maudy bergeleyut manja di lenganmu," ujar Annisa sinis.Glek!Zidane menelan salivanya yang mendadak terasa menyangkut di kerongkongan. Dia menghela napas unt
Keesokan paginya, Zidane terbangun karena tangan kanannya terasa pegal tertindih sesuatu. Perlahan dan hati-hati, Zidane menarik tangannya yang digunakan sebagai bantal kepala Annisa agar tidak membangunkan gadis itu. Bibirnya tersenyum tipis memandangi wajah sang itri yang begitu polos nan cantik. Dia merasa bahagia karena orang pertama yang dia lihat saat bangun dari tidur adalah wanita yang paling dia cintai. Zidane mengelus pipi cabi Annisa dengan lembut, mengusap sudut bibir tipis gadis itu yang telah membuatnya candu. Lagi, bibirnya melengkung membentuk senyum. Kening Annisa mengerut saat merasakan sesuatu menyentuh wajahnya. Perlahan, dia membuka mata, mengejapkannya dua kali sembari mengumpulkan puing-puing keadarannya. "Selamat pagi, Cantik," sampa Zidane lembut. Setengah sadar, Annisa melihat senyum manis merekah di bibir pria yang ada di hadapannya. Terpaku akan pesona ketampanan sang suami yang menyambutnya saat baru membuka mata.