"Tidak ada apa-apa, Sayang. Dokter Raka baru saja selesai memeriksa Papa," jawab Zidane.
Annisa bernapas lega mendengarnya. Dia bahkan melihat dokter yang bertugas menangani papanya itu tersenyum tenang seolah menandakan tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Kalau begitu, saya permisi ke ruangan saya kembali. Kalau ada apa-apa, langsung panggil saya saja," ucap Dokter Raka.
Dokter itu pergi diikuti oleh suster yang menemaninya.
Zidane melangkahkan kakinya mendekat ke arah nakas, lalu mengambil makanan yang tadi dia beli.
"Kamu makan dulu, ya. Ini makanannya sudah hampir dingin," ujar Zidane.
Dia merangkul Annisa membimbingnya menuju ke arah sofa. Membukakan bungkus makanan dan menghidangkannya di hadapan sang istri.
"Perlu aku suapi?" tanya Zidane.
Annisa mencebikkan bibirnya, lalu memalingkan wajah ke arah lain menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
"Aku bukan anak kecil yang tidak bisa makan sendiri, sahut A
"Tazkia," lirih Zidane.Dia maju mendekati Annisa dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Zidane menangkap rona kesalahpahaman dari pendar manik di hadapannya."Kamu salah paham, Sayang. Ini tak seperti yang kamu pikirkan," ujar Zidane.Annisa menaikkan sebelah alisnya, menatap sang suami tanpa berkata sepatah kata pun. Dia ingin memberikan satu kesempatan untuk Zidane menjelaskan apa yang baru saja dia dengar."Lalu?" tanyanya datar.Zidane menghela napas, dia menunduk sekilas kemudia kembali menatap wajah Annisa."Aku baru saja berbicara dengan ibuku," ucap Zidane."Ibu?" ulang Annisa.Zidane mengangguk mengiakan."Aku sudah lama tidak pulang, karena itu beliau menghubungiku dan memintaku untuk pulang," jelas Zidane.Annisa terkejut. Dia baru sadar bahwa selama ini tidak ada pembicaraan mengarah kepada identitas dan keluarga Zidane.Gadis berhijab itu bahkan tidak tahu apa pun mengenai keluarga Zidane kare
Zidane melemparkan dokumen berwarna biru di atas meja kerja setelah selesai membacanya. Di hadapannya berdiri dua orang pria, salah satunya ialah Rizky.Pria beralis tebal itu menghela napas, mengendurkan dasi sambil menyenderkan punggungnya pada penyangga kursi.Tajam iris matanya menatap ke arah pria yang yang berdiri di samping Rizky dengan kepala tertunduk tidak berani menatap wajah Zidane."Kamu tahu 'kan, kenapa kau kupanggil ke sini?" tanya Zidane datar."Sa-saya tidak tahu ke-kenapa Pak Zidane memanggil saya." Pria itu ragu-ragu menatap wajah Zidane.Zidane menghela napas, membenarkan posisi duduknya lalu mengambil dokumen yang tadi dia lemparkan di mejanya."Lihat file ini, lalu jelaskan kepadaku!" Zidane memberi isyarat kepada Rizky untuk memberikan file tersebut kepada Burhan.Dengan sigap Rizky langsung mengikuti perintah sang atasan. Tangan Burhan gemetar membuka file yang diberikan oleh sekretaris Zidane.Pirasatn
"Aku ingin berbuat baik kepadamu sekarang," ucap Hari kepada Reza yang dia kira tidak bisa mendengarnya."Aku tahu kau sangat menderita seperti ini. Untuk itu, aku akan membantu mengakhiri penderitaanmu. Sebentar lagi kau akan merasakan ketenangan dan terbebas dari segala kesakitan.""Apa yang ingin kau lakukan, Hari?"Reza bergumam dalam hati. Dia ingin bangun, tetapi tubuhnya tidak memiliki kekuatan.Reza berharap saat ini ada seseorang yang akan menyelamatkannya dari Hari. Dia tidak ingin mati sebelum mendapatkan bukti atas kejahatan yang dilakukan oleh Sarah dan Hari untuk membantu Zidane dan Annisa menangkap dua pengkhianat itu.Hari bersiap melancarkan aksinya untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus Reza. Namun, saat dia ingin melakukannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Bersamaan dengan itu, Hari juga mendengar seseorang akan masuk ke ruangan Reza.Dia mengurungkan niatnya, memasukkan kembali jarum di tangannya ke
"Ada apa, Dok? Kenapa Anda memanggil saya ke sini?" tanya Zidane kepada Dokter Raka."Apa terjadi sesuatu kepada papa saya?" tanyanya lagi.Dokter Raka tak langsung menjawab, dia menatap wajah Zidane lalu beralih ke arah Rizky yang berdiri tepat di belakang Zidane.Seolah mengerti akan kode yang diberikan oleh Dokter Raka, Zidane pun memerintahkan Rizky untuk kembali ke kantor menggantikannya mengurus pekerjaan.Dengan patuh sang sekretaris mengikuti perintah atasannya. Rizky langsung bergegas pergi setelah berpamitan."Seseorang tadi datang menemui Pak Reza dan berniat untuk mencelakai Beliau," ujar Dokter Raka.Kedua alis Zidane mengernyit dalam dengan tatapan yang tajam."Siapa? Apa Anda tahu orangnya?" tanya Zidane. "Lalu bagaimana keadaan papa saya sekarang?" sambungnya lagi."Dia baik-baik saja saat ini," jawab Dokter Raka.Dia meminta Zidane untuk menemui Reza karena pasiennya itu ingin membicarakan sesuatu dengan
Annisa langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selepas kepergian Zidane. Annisa merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suaminya, oleh karena itu dia bermaksud menghubungi Rizky untuk menanyakannya."Halo, Nis. Ada apa?""Kamu sedang ada di mana, Ky?" tanya Annisa."Aku baru saja sampai di rumah. Kenapa? Tidak biasanya kamu menghubungiku seperti ini."Jelas Rizky merasa heran tiba-tiba dihubungi oleh Annisa karena meski bersahabat, tetapi gadis itu tidak pernah sering menghubunginya kecuali saat ada perlu atau terdesak. Meski begitu, Rizky tidak pernah mempermasalahkannya."Bukannya kamu pergi meeting bersama Zidane?" tanya Annisa."Tidak ada jadwal meeting sore ini."Annisa terdiam sejenak dengan kening yang nampak mengerut."Sebenarnya ada apa, Nisa?" tanya Rizky."Ah, tidak ada apa-apa, Ky. Ya, sudah kalau begitu aku tutup dulu teleponnya, ya. Asalammualaikum."
Zidane merasa tidak tenang saat menemani Maudy makan malam di salah satu restoran yang mereka singgahi. Maudy benar-benar memanfaatkan Zidane untuk kepuasan hatinya sendiri. Dia berbelanja seperti orang kalaf yang sedang menguras semua isi dompet Zidane.Pria berparas tampan itu menghela napas, geram dan begitu sangat ingin memaki. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia karena wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar tidak tahu malu, bahkan walau Zidane sudah tegas menolak."Kamu yakin tidak mau makan dulu?" tanya Maudy.Zidane membuang muka, begitu muak dengat tingkah Maudy. Ponselnya berdering cukup lama, di sana terpampang nama sang istri yang menghubunginya.Sebelumnya, Annisa sudah mengiriminya banyak pesan teks, tetapi Zidane belum sempat membuka dan membacanya.Dia beranjak dari duduknya menjauh dari Maudy untuk mengangkat telepon dari sang istri. Tak mengacuhkan Maudy yang sepertinya tidak ingin Zidane menjawab telepon dari kakaknya
Yogi menoleh, melihat ke arah wanita yang duduk di sebelahnya yang nampak terlihat sedang kesal. Dia kembali fokus dengan kemudinya, tetapi kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya.Maudy menoleh, "Kenapa dengan wajahku?"Bukan menjawab, wanita itu malah balik bertnya membuat Yogi terkekeh pelan.Maudy mengernyitkan kedua alisnya, masih dengan ekspresi kesal. Matanya menyipit menatap wajah Yogi dari samping."Tunggu. Kenapa tadi kau ada di sana? Apa kau sedang mengikutiku?" selidik Maudy.Yogi menoleh, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh."Hanya kebetulan saja," jawabnya datar."Aku melihatmu bersama Zidane. Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?" tanya Yogi beberapa saat setelah terdiam, fokus dengan kemudi mobilnya."Itu ... bukan urusanmu!" jawab Maudy ketus.Yogi terkekeh pelan. Dia menoleh, melihat Maudy dengan tatapan tajam."Jangan coba-cob
Annisa tak mau beranjak dari tempatnya. Dia terus menangisi makam sang ayah yang baru saja selesai dikuburkan.Bahkan walau derasnya hujan mengguyur seluruh tubuhnya, Annisa tidak peduli. Dia belum bisa ikhlas menerima kepergian papanya yang begitu sangat tiba-tiba.Hatinya sangat sakit dan terluka, kini dia tidak memiliki siapa pun lagi. Satu-satunya orang yang begitu berarti dalam hidupnya telah pergi untuk selamanya."Sayang, ayo kita pulang." Zidane memayungi tubuh Annisa agar tidak kehujanan.Zidane berjongkok, merangkul bahu Annisa mengajaknya untuk pergi dari sana, tetapi istrinya itu menolak ajakannya."Kamu pulang duluan saja. Aku masih ingin di sini," ucap Annisa lirih. Suaranya serak akibat menangis.Zidane menghela napas, sendu matanya menatap istrinya yang begitu rapuh dan terluka."Aku mengerti perasaanmu saat ini," ucap Zidane."Tidak. Kau tidak mengerti perasaanku. Tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan sa