Zidane merasa tidak tenang saat menemani Maudy makan malam di salah satu restoran yang mereka singgahi. Maudy benar-benar memanfaatkan Zidane untuk kepuasan hatinya sendiri. Dia berbelanja seperti orang kalaf yang sedang menguras semua isi dompet Zidane.
Pria berparas tampan itu menghela napas, geram dan begitu sangat ingin memaki. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia karena wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar tidak tahu malu, bahkan walau Zidane sudah tegas menolak.
"Kamu yakin tidak mau makan dulu?" tanya Maudy.
Zidane membuang muka, begitu muak dengat tingkah Maudy. Ponselnya berdering cukup lama, di sana terpampang nama sang istri yang menghubunginya.
Sebelumnya, Annisa sudah mengiriminya banyak pesan teks, tetapi Zidane belum sempat membuka dan membacanya.
Dia beranjak dari duduknya menjauh dari Maudy untuk mengangkat telepon dari sang istri. Tak mengacuhkan Maudy yang sepertinya tidak ingin Zidane menjawab telepon dari kakaknya
Yogi menoleh, melihat ke arah wanita yang duduk di sebelahnya yang nampak terlihat sedang kesal. Dia kembali fokus dengan kemudinya, tetapi kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya.Maudy menoleh, "Kenapa dengan wajahku?"Bukan menjawab, wanita itu malah balik bertnya membuat Yogi terkekeh pelan.Maudy mengernyitkan kedua alisnya, masih dengan ekspresi kesal. Matanya menyipit menatap wajah Yogi dari samping."Tunggu. Kenapa tadi kau ada di sana? Apa kau sedang mengikutiku?" selidik Maudy.Yogi menoleh, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh."Hanya kebetulan saja," jawabnya datar."Aku melihatmu bersama Zidane. Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?" tanya Yogi beberapa saat setelah terdiam, fokus dengan kemudi mobilnya."Itu ... bukan urusanmu!" jawab Maudy ketus.Yogi terkekeh pelan. Dia menoleh, melihat Maudy dengan tatapan tajam."Jangan coba-cob
Annisa tak mau beranjak dari tempatnya. Dia terus menangisi makam sang ayah yang baru saja selesai dikuburkan.Bahkan walau derasnya hujan mengguyur seluruh tubuhnya, Annisa tidak peduli. Dia belum bisa ikhlas menerima kepergian papanya yang begitu sangat tiba-tiba.Hatinya sangat sakit dan terluka, kini dia tidak memiliki siapa pun lagi. Satu-satunya orang yang begitu berarti dalam hidupnya telah pergi untuk selamanya."Sayang, ayo kita pulang." Zidane memayungi tubuh Annisa agar tidak kehujanan.Zidane berjongkok, merangkul bahu Annisa mengajaknya untuk pergi dari sana, tetapi istrinya itu menolak ajakannya."Kamu pulang duluan saja. Aku masih ingin di sini," ucap Annisa lirih. Suaranya serak akibat menangis.Zidane menghela napas, sendu matanya menatap istrinya yang begitu rapuh dan terluka."Aku mengerti perasaanmu saat ini," ucap Zidane."Tidak. Kau tidak mengerti perasaanku. Tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan sa
Setelah turun dari mobilnya, seorang wanita memakai kacamata hitam dan menjadikan kerudung sebagai penutup wajah agar orang-orang di sekitar tidak mengenalinya. Dia berjalan tergesa memasuki sebuah restoran ternama menuju ruangan private yang sudah dipesankan oleh seseorang yang mengajaknya bertemu.Wanita itu menghela napas, dia melepas kacamata dan kerudungnya begitu sudah sampai di tempat tujuan. Dia mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di hadapan seorang pria paruh baya yang sudah datang lebih awal."Kenapa kau ingin bertemu denganku sekarang?" tanya Sarah.Ya, wanita paruh baya itu ialah Sarah, dan pria yang ditemuinya itu tak lain ialah Hari."Kau tahu ini sangat berbahaya, orang akan mencurigai kita," ucap Sarah.Nampaknya wanita paruh baya itu sedang kesal karena Hari memaksa ingin bertemu di saat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.Hari tersenyum tipis, tak acuh dengan kekesalan yang ditunjukkan oleh wanita yang duduk di had
Kedua tangan Zidane mengepal erat, rahangnya mengeras disertai tatapan elang yang begitu tajam menatap layar monitor yang memperlihatkan kejahatan seseorang yang dia kenal terhadap Reza."Ini." Dokter Raka menyerahkan amplop berwarna cokelat kepada Zidane. "Semua itu bisa kau serahkan kepada kepolisian untuk dijadikan bukti," sambungnya.Zidane menerima amplop tersebut, lalu memeriksanya. Di sana terdapat hasil laporan dari laboratorium mengenai obat palsu yang dikonsumsi oleh Reza dan larutan obat berbahaya yang ditemukan di ruang rawat Reza sebelum pria paruh baya itu dinyatakan meninggal dunia.Dokter Raka juga menyerahkan flashdisk berisi rekaman yang sempat Reza rekam dan dia titipkan kepada dokter Reza untuk berjaga-jaga juga rekaman cctv aksi kejahatan yang dilakukan oleh Hari."Sebelumnya, Pak Reza pernah meminta tolong kepada saya untuk memasang cctv di ruang rawatnya beberapa hari sebelum kesehatan beliau kritis kemudian dinyatakan meninggal dun
Kedua alis Annisa mengerut dengan pandangan tajam menatap wajah Zidane. Dia mencoba untuk mencerna maksud perkataan suaminya baru saja."Apa maksudmu? Siapa yang ingin menguasai perusahaan?" tanyanya menyelidik."Aku baru saja mendengar kabar saat ini Bu Sarah dan Pak Hari sedang mempersiapkan rapat dengan para direksi mengenai kepemimpinan perusahaan," jelas Zidane."Pak Hari yang akan menggantikan posisi papamu karena dia memiliki saham terbesar di perusahaan setelah digabungkan dengan saham milik Bu Sarah," sambungnya lagi."Apa?!" pekik Annisa.Kedua bola matanya membulat karena terkejut dengan berita yang baru saja dikatakan oleh Zidane."Kenapa bisa mereka?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya.Zidane mengeluarkan amplop yang dia dapatkan dari Dokter Raka, kemudian memberikannya kepada Annisa.Meski bingung, gadis itu mengambil benda yang suaminya berikan, perlahan dia membuka dan melihat isi di dalamnya.Annisa t
Zidane menghela napas, dia tahu istrinya sedang emosi oleh karena itu dia tetap tenang menghadapinya agar tidak menciptakan sebuah kesalahpahaman."Sayang, tenang.""Bagaimana aku bisa tenang kalau aku tahu penyebab meninggalnya Papa? Kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak ada dalam posisi seperti aku sekarang," ujar Annisa, geram.Tatapan matanya masih menyiratkan kebencian. Annisa memalingkan wajah ke arah lain, lalu berjalan menjauhi Zidane dan duduk di tepi samping ranjang."Mungkin aku tidak mengerti perasaan kamu sekarang, tapi Papa Reza sudah aku anggap seperti papaku sendiri. Bagaimana mungkin aku akan diam saja membiarkan semua ini terjadi? Membiarkan pelaku berkeliaran bebas begitu saja?"Seketika itu Annisa terdiam, amarahnya sedikit mereda. Dia menghela napas panjang, tertunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Zidane duduk di samping Annisa, mengusap lembut bahu gadis itu penuh rasa sayang."Kita pa
Dering alarm berbunyi nyaring memenuhi seluruh ruang kamar, membangunkan Annisa dari lelapnya tidur semalam. Dia mengejapkan mata, mengumpulkan puing-puing seluruh kesadarannya.Annisa beranjak bangun lantas segera mematikan alarm yang berbunyi tepat pukul lima pagi. Gadis itu menoleh kepada suaminya yang masih terlelap dalam mimpi.Lamat manik berwarna cokelat itu menatap wajah sang suami yang nampak sangat tampan walau sedang tertidur. Tanpa sadar, bibirnya mengembang membentuk senyum tipis. Wajahnya pun mendadak merona kala otaknya mengingat kejadian semalam.Refleks, Annisa menyentuh bibirnya sendiri yang sudah tidak perawan lagi karena telah disentuh oleh suaminya. Annisa segera memalingkan wajah, menarik napas untuk mengendalikan jantungnya yang berdenyut tidak karuan."Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun, Sayang?"Suara itu menyadarkan Annisa dari lamunannya. Dia refleks berbalik untuk melihat ke arah sumber suara. Namun, dia hanya berani m
Selepas selesai mengucapkan kalimat salam disertai memutar kepala ke arah kiri, Annisa langsung merangkak mendekati Zidane yang duduk tepat di depannya. Dia mengulurkan tangan kanan, lalu menempelkan bibirnya pada punggung telapak tangan suaminya itu.Zidane tersenyum tipis saat kembali merasakan sentuhan bibir sang istri di tangannya setiap kali selepas salat berjamaah. Tangan kirinya yang bebas langsung terangkat mengusap lembut puncak kepala yang masih berbalut dengan kain mukena, lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di sana."Aku selalu berdoa agar hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," ucap Zidane bersungguh-sungguh.Annisa terpaku tanpa berucap sepatah kata pun. Pandangannya cukup lama menatap manik suaminya yang nampak begitu teduh setiap kali sedang menatapnya.Tiba-tiba saja sebuah rasa bersalah berselimut di dalam dada saat tersadar dirinya belum melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Dia merasa sangat bersalah karena belum bisa me
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe