Annisa dan Zidane kembali ke ruang rawat Reza. Wajah Annisa nampak sembab karena dia habis menangisi kondisi papanya yang memburuk. Di sana nampak masih ada Maudy tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
Wanita itu langsung mengangkat pandangannya dari layar ponsel untuk melihat pasangan suami istri yang baru saja masuk.
Dia beranjak dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Annisa dan Zidane dengan pandangan yang terus mengarah pada suami sang kakak. Samar, adik tiri Annisa itu tersenyum dan hanya disadari oleh Zidane.
"Kalian sudah kembali?" tanyanya berbasa basi. Dia menatap Annisa sekilas, lalu beralih ke arah Zidane.
"Aku akan pergi sekarang. Kakak tidak keberatan 'kan menjaga Papa di sini? Lagi pula, aku sudah menghubungi Mama, sebentar lagi ke sini," ujar Maudy.
Annisa terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Pergilah," jawabnya bernada datar.
Dia tak peduli tentang Maudy. Ada atau pun tidak ada, tidak penting
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Dokter Raka baru saja selesai memeriksa Papa," jawab Zidane. Annisa bernapas lega mendengarnya. Dia bahkan melihat dokter yang bertugas menangani papanya itu tersenyum tenang seolah menandakan tidak ada hal buruk yang terjadi. "Kalau begitu, saya permisi ke ruangan saya kembali. Kalau ada apa-apa, langsung panggil saya saja," ucap Dokter Raka. Dokter itu pergi diikuti oleh suster yang menemaninya. Zidane melangkahkan kakinya mendekat ke arah nakas, lalu mengambil makanan yang tadi dia beli. "Kamu makan dulu, ya. Ini makanannya sudah hampir dingin," ujar Zidane. Dia merangkul Annisa membimbingnya menuju ke arah sofa. Membukakan bungkus makanan dan menghidangkannya di hadapan sang istri. "Perlu aku suapi?" tanya Zidane. Annisa mencebikkan bibirnya, lalu memalingkan wajah ke arah lain menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. "Aku bukan anak kecil yang tidak bisa makan sendiri, sahut A
"Tazkia," lirih Zidane.Dia maju mendekati Annisa dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Zidane menangkap rona kesalahpahaman dari pendar manik di hadapannya."Kamu salah paham, Sayang. Ini tak seperti yang kamu pikirkan," ujar Zidane.Annisa menaikkan sebelah alisnya, menatap sang suami tanpa berkata sepatah kata pun. Dia ingin memberikan satu kesempatan untuk Zidane menjelaskan apa yang baru saja dia dengar."Lalu?" tanyanya datar.Zidane menghela napas, dia menunduk sekilas kemudia kembali menatap wajah Annisa."Aku baru saja berbicara dengan ibuku," ucap Zidane."Ibu?" ulang Annisa.Zidane mengangguk mengiakan."Aku sudah lama tidak pulang, karena itu beliau menghubungiku dan memintaku untuk pulang," jelas Zidane.Annisa terkejut. Dia baru sadar bahwa selama ini tidak ada pembicaraan mengarah kepada identitas dan keluarga Zidane.Gadis berhijab itu bahkan tidak tahu apa pun mengenai keluarga Zidane kare
Zidane melemparkan dokumen berwarna biru di atas meja kerja setelah selesai membacanya. Di hadapannya berdiri dua orang pria, salah satunya ialah Rizky.Pria beralis tebal itu menghela napas, mengendurkan dasi sambil menyenderkan punggungnya pada penyangga kursi.Tajam iris matanya menatap ke arah pria yang yang berdiri di samping Rizky dengan kepala tertunduk tidak berani menatap wajah Zidane."Kamu tahu 'kan, kenapa kau kupanggil ke sini?" tanya Zidane datar."Sa-saya tidak tahu ke-kenapa Pak Zidane memanggil saya." Pria itu ragu-ragu menatap wajah Zidane.Zidane menghela napas, membenarkan posisi duduknya lalu mengambil dokumen yang tadi dia lemparkan di mejanya."Lihat file ini, lalu jelaskan kepadaku!" Zidane memberi isyarat kepada Rizky untuk memberikan file tersebut kepada Burhan.Dengan sigap Rizky langsung mengikuti perintah sang atasan. Tangan Burhan gemetar membuka file yang diberikan oleh sekretaris Zidane.Pirasatn
"Aku ingin berbuat baik kepadamu sekarang," ucap Hari kepada Reza yang dia kira tidak bisa mendengarnya."Aku tahu kau sangat menderita seperti ini. Untuk itu, aku akan membantu mengakhiri penderitaanmu. Sebentar lagi kau akan merasakan ketenangan dan terbebas dari segala kesakitan.""Apa yang ingin kau lakukan, Hari?"Reza bergumam dalam hati. Dia ingin bangun, tetapi tubuhnya tidak memiliki kekuatan.Reza berharap saat ini ada seseorang yang akan menyelamatkannya dari Hari. Dia tidak ingin mati sebelum mendapatkan bukti atas kejahatan yang dilakukan oleh Sarah dan Hari untuk membantu Zidane dan Annisa menangkap dua pengkhianat itu.Hari bersiap melancarkan aksinya untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus Reza. Namun, saat dia ingin melakukannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Bersamaan dengan itu, Hari juga mendengar seseorang akan masuk ke ruangan Reza.Dia mengurungkan niatnya, memasukkan kembali jarum di tangannya ke
"Ada apa, Dok? Kenapa Anda memanggil saya ke sini?" tanya Zidane kepada Dokter Raka."Apa terjadi sesuatu kepada papa saya?" tanyanya lagi.Dokter Raka tak langsung menjawab, dia menatap wajah Zidane lalu beralih ke arah Rizky yang berdiri tepat di belakang Zidane.Seolah mengerti akan kode yang diberikan oleh Dokter Raka, Zidane pun memerintahkan Rizky untuk kembali ke kantor menggantikannya mengurus pekerjaan.Dengan patuh sang sekretaris mengikuti perintah atasannya. Rizky langsung bergegas pergi setelah berpamitan."Seseorang tadi datang menemui Pak Reza dan berniat untuk mencelakai Beliau," ujar Dokter Raka.Kedua alis Zidane mengernyit dalam dengan tatapan yang tajam."Siapa? Apa Anda tahu orangnya?" tanya Zidane. "Lalu bagaimana keadaan papa saya sekarang?" sambungnya lagi."Dia baik-baik saja saat ini," jawab Dokter Raka.Dia meminta Zidane untuk menemui Reza karena pasiennya itu ingin membicarakan sesuatu dengan
Annisa langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selepas kepergian Zidane. Annisa merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suaminya, oleh karena itu dia bermaksud menghubungi Rizky untuk menanyakannya."Halo, Nis. Ada apa?""Kamu sedang ada di mana, Ky?" tanya Annisa."Aku baru saja sampai di rumah. Kenapa? Tidak biasanya kamu menghubungiku seperti ini."Jelas Rizky merasa heran tiba-tiba dihubungi oleh Annisa karena meski bersahabat, tetapi gadis itu tidak pernah sering menghubunginya kecuali saat ada perlu atau terdesak. Meski begitu, Rizky tidak pernah mempermasalahkannya."Bukannya kamu pergi meeting bersama Zidane?" tanya Annisa."Tidak ada jadwal meeting sore ini."Annisa terdiam sejenak dengan kening yang nampak mengerut."Sebenarnya ada apa, Nisa?" tanya Rizky."Ah, tidak ada apa-apa, Ky. Ya, sudah kalau begitu aku tutup dulu teleponnya, ya. Asalammualaikum."
Zidane merasa tidak tenang saat menemani Maudy makan malam di salah satu restoran yang mereka singgahi. Maudy benar-benar memanfaatkan Zidane untuk kepuasan hatinya sendiri. Dia berbelanja seperti orang kalaf yang sedang menguras semua isi dompet Zidane.Pria berparas tampan itu menghela napas, geram dan begitu sangat ingin memaki. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia karena wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar tidak tahu malu, bahkan walau Zidane sudah tegas menolak."Kamu yakin tidak mau makan dulu?" tanya Maudy.Zidane membuang muka, begitu muak dengat tingkah Maudy. Ponselnya berdering cukup lama, di sana terpampang nama sang istri yang menghubunginya.Sebelumnya, Annisa sudah mengiriminya banyak pesan teks, tetapi Zidane belum sempat membuka dan membacanya.Dia beranjak dari duduknya menjauh dari Maudy untuk mengangkat telepon dari sang istri. Tak mengacuhkan Maudy yang sepertinya tidak ingin Zidane menjawab telepon dari kakaknya
Yogi menoleh, melihat ke arah wanita yang duduk di sebelahnya yang nampak terlihat sedang kesal. Dia kembali fokus dengan kemudinya, tetapi kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya.Maudy menoleh, "Kenapa dengan wajahku?"Bukan menjawab, wanita itu malah balik bertnya membuat Yogi terkekeh pelan.Maudy mengernyitkan kedua alisnya, masih dengan ekspresi kesal. Matanya menyipit menatap wajah Yogi dari samping."Tunggu. Kenapa tadi kau ada di sana? Apa kau sedang mengikutiku?" selidik Maudy.Yogi menoleh, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh."Hanya kebetulan saja," jawabnya datar."Aku melihatmu bersama Zidane. Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?" tanya Yogi beberapa saat setelah terdiam, fokus dengan kemudi mobilnya."Itu ... bukan urusanmu!" jawab Maudy ketus.Yogi terkekeh pelan. Dia menoleh, melihat Maudy dengan tatapan tajam."Jangan coba-cob
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe