Zidane masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia masih ingin berada di dekat istrinya. “Mas, kamu kenapa belum berangkat juga? Udah mau siang loh. Mau ninggalin pekerjaan?” tanya Annisa. Zidane masih memikirkan kedua orang tuanya yang tidak bosan memancing keributan. Ia masih berusaha tenang di depan istrinya. Kini Zidane merebahkan kepalanya di atas paha sang istri. Annisa pun mengusap kepala suaminya. “Kenapa, Sayang?” tanya Annisa dengan lembut. Zidane kini tengah meredam kesalnya. Annisa melihat dahi suaminya berkerut pun paham kalau suaminya sedang emosi. Tangan Annisa mengelus dahi Zidane. “Masih kesal sama mama papa?” tanyanya. Zidane menjawabnya dengan gumaman lirih. “Udah nggak apa-apa, Mas. Nggak baik juga kalau terus kesal sama orang tua.” “Kamu, kok, gampang banget maafin orang tuaku? Padahal mereka udah ngasarin kamu,” ujar Zidane. “Orang tua kamu juga orang tua aku. Jadi aku harus hormatin mereka seperti orang tua kandungku. Jadi aku nggak
Hari ini Rizky tampak sangat gugup sebab malam ini ia berniat untuk meminta izin melamar Tiara pada keluarga kekasihnya itu. Sebenarnya dari jauh hari ia ingin melakukannya, tapi baru sekarang akan terlaksana. "Kira-kira aku pakai baju apa ya?" gumam Rizky. Matanya tertuju pada isi lemarinya yang sudah terbuka lebar. Ia mengedarkan pandangannya dari ujung kiri ke kanan setiap pakaian yang tergantung rapi. Pada akhirnya Rizky memutuskan untuk memakai pakaian yang cukup sederhana, tapi tetap terlihat sopan dan elegan. Kemeja lengan panjang dan celana dasar slim fit warna monokrom cukup membuatnya terlihat tampan. Untuk menunjang penampilannya, tak lupa Rizky menggunakan parfum agar tetap wangi saat menghadapi keluarga dari Tiara nanti. Sebenarnya Rizky tidak bilang apapun tentang niatnya itu pada Tiara. Ia hanya mengatakan ingin datang berkunjung menemui orang tua dari kekasihnya itu.Saat Rizky baru sampai di rumah Tiara, ibu dari Tiara—Rubi menyambutnya dengan sangat ramah. Bukan
Setelah mengutarakan niat baiknya untuk melamar Tiara, akhirnya Rizky pun pamit pulang. Lagi pula waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Memang sekarang belum terlalu malam, tapi Rizky tak enak jika harus berlama-lama di rumah Tiara. "Aku pulang ya, Sayang. Jangan kangen loh," ucap Rizky sambil mencolek puncak hidung mancung Tiara. "Ih, kamu ini reseh banget sih!" gerutu Tiara sambil mengusap-usap hidungnya yang terasa agak gatal akibat dipegang oleh Rizky. Rizky hanya tersenyum mirip kuda pada Tiara. Ia pun melongok ke dalam rumah seperti memastikan sesuatu. Tiba-tiba saja ia memeluk Tiara dengan sangat erat. "Aku seneng banget karena orang tua kamu setuju kalau aku melamar kamu," ungkap Rizky yang tak dapat membendung rasa bahagianya.Tiara juga merasa sangat senang sekali, tapi ia khawatir jika mamanya nanti akan melihat mereka yang sedang berpelukan seperti ini. "Aku juga seneng banget, tapi bisa nggak udahan dulu peluk akunya? Nanti dilihat mama bisa gawat," balas Tia
Pekerjaan Tiara sebagai sekretaris hari ini berjalan dengan lancar. Semua urusan dan jadwal Ibu Annisa sepekan ke depan telah selesai ia atur ulang. Semenjak kehamilan bosnya itu, Tiara akan bekerja di bawah Pak Zidane untuk sementara waktu sampai keadaan Annisa lebih baik. Semenjak memutuskan untuk cuti sebentar, Tiara dan Annisa rajin berkomunikasi lewat pesan singkat mengenai pekerjaan yang belum sempat Annisa kerjakan. Meskipun status mereka sebagai bos dan sekretaris, tapi Tiara merasa kalau Annisa sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Ibu Annisa, bagi Tiara adalah salah satu contoh bos yang sangat baik. Wanita itu memiliki sifat yang sangat lembut, tapi bisa tegas untuk hal prinsip. Selain itu, Annisa juga tidak pernah sungkan atau ragu untuk menerima masukan dari siapapun, meski bawahannya sekalipun. Wanita itu juga tidak malu untuk mengakui kesalahannya. Ah … padahal baru beberapa hari Annisa cuti tapi Tiara sudah sangat merindukan wanita itu. Selama bosnya itu istira
Zidane memutuskan untuk kembali kerja ke kantor akibat paksaan dari Annisa. Awalnya ia ingin bekerja dari rumah saja, ia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang terkena morning sickness. Ia juga sudah menghubungi bawahannya dan memberitahukan mereka kalau akan bekerja dari rumah. Namun, ketika hari telah beranjak siang, Annisa lantas membujuknya untuk pergi ke kantor karena kondisinya sudah membaik. “Kamu yakin dengan keputusanmu? Aku tidak mungkin meninggalkan kamu dan anak kita dengan kondisi seperti ini,” tanya Zidane sambil mencium pucuk kepala Annisa yang begitu ia sayang. Annisa mengangguk. “Iya Mas … kamu kembali ke kantor saja, ya. Kondisiku sudah lebih baik dari tadi pagi. Perusahaan lebih membutuhkan kamu di kantor daripada aku. Lagipula habis ini aku akan berisirahat dengan total, kok. Ada Mbak juga yang jaga nanti. Kamu jangan terlalu khawatir.” Annisa berujar setenang mungkin, meyakinkan Zidane yang wajahnya masih menampilkan raut khawatir. Zidane menghela napas pende
Zidane mengembus napas lirih, tak dapat dipungkiri jika perkataan Annisa memang benar. Namun, kasusnya saat ini cukup rumit karena mamanya tak mau menerima sang istri menjadi menantu. Padahal Zidane menilai jika Annisa sudah sangat ideal menjadi seorang istri dan menantu karena attitude serta keterampilan yang cukup baik. "Iya, maafin aku," sahut Zidane. "Minta maaf ke mama kamu bukan ke aku, Mas," suruh Annisa. Kalau bukan Annisa yang menyuruhnya, jelas Zidane enggan melakukannya. "Maafin aku, Ma," lirih Zidane. "Kamu nggak usah minta maaf ke Mama. Lagi pula Mama yakin kalau Annisa nggak nyuruh kamu ke sini, nantinya kamu pasti bakalan ke sini juga," balas Vivi. Sesaat kemudian ia melirik sinis ke arah Annisa. Tentu ia bukannya senang melainkan malah marah pada menantu yang tak dianggapnya itu, "Heh kamu, Annisa! Kamu jangan marah-marah sama Kayson kayak gitu. Memangnya pantas ya seorang istri memarahi suaminya di depan orang tuanya sendiri? Makanya itu saya nggak pernah setuju
Wajah Vivi tampak ditekuk dan terlihat masam walaupun sekarang ia sudah berada di rumah. Sebenarnya pihak rumah sakit masih memintanya untuk dirawat, tapi Vivi bersikeras ingin pulang. "Nyonya, ayo dimakan dulu. Sudah dari kemarin Nyonya tidak mau makan, saya takut nanti kondisi tubuh Nyonya drop lagi," bujuk Bi Sarti salah satu asisten rumah tangga di kediaman Alfian dan Vivi. "Saya nggak nafsu makan. Bawa aja semua ini keluar," perintah Vivi. Bi Sarti pun merasa bingung karena majikannya tidak mau makan. Namun, ia tak punya kuasa untuk membantahnya dan akhirnya menurut saja. Begitu baru sampai di ambang pintu, ia tak sengaja berpapasan dengan Alfian. "Kamu kenapa nggak mau makan lagi?" tanya Alfian yang baru saja muncul dari luar. Pria paruh baya itu baru pulang dari kantor dan langsung merasa pusing akibat ulah istrinya yang selalu saja menolak makan dari kemarin. "Aku nggak mau makan sebelum Kayson pulang," jawab Vivi dengan memasang tampang merajuk. Alfian berjalan mendekat
Annisa memulai rencana untuk membujuk Zidane agar mau pulang ke rumah orangtuanya. Meskipun tubuhnya sedikit lelah, ia memutuskan masak makanan untuk makan malam Zidane yang tentunya masih dibantu oleh asisten rumah tangganya. Annisa cukup tahu diri. Ia tidak boleh kelelahan selama hamil muda ini. Ia tidak boleh egois sekarang karena di dalam tubuhnya kini hidup buah hati yang telah lama dinantikan oleh dirinya dan Zidane. Annisa juga berharap kelak anak yang akan dilahirkannya ini bisa menjadi jembatan untuk dirinya dan juga mertuanya. Annisa menunggu Zidane dengan raut gembira. Ia juga sudah membersihkan diri dan menggunakan baju terbaiknya. Bunyi klakson mobil dari luar berbunyi nyaring yang menandakan kalau Zidane telah pulang. Senyum mengembang di wajah Annisa. Ia pun berlari kecil menyambut suaminya. “Mas sudah pulang. Bagaimana kerjaan hari ini? Pasti banyak banget, ya? Kasian suamiku kelihatan sekali wajah lelahnya.” Annisa menyalimi punggung tangan Zidane. Tak lupa juga m
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe