Reza menatap Zidane dengan pandangan yang terlihat merendahkan setelah mengetahui kebenaran tentang identitasnya yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan itu pun di kafe buku milik Annisa.
Zidane tidak menutup-nutupi semua tentang dirinya yang hanya seorang pemuda biasa. Tak ada harta kekayaan dan juga kemewahan yang bisa dia perlihatkan saat ini. Namun, Zidane mengatakan bahwa dirinya serius ingin menjadikan Annisa sebagai istrinya.
"Apa kamu gila?!" pekik Reza. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas sambil menatap tajam wajah Zidane. "Berani-beraninya orang miskin sepertimu ingin menikah dengan putriku!" geramnya lagi, penuh penekanan.
"Pa!" seru Annisa. Dia tidak senang dengan sikap papanya yang sudah menyakiti hati Zidane.
Gadis anggun itu baru saja ingin membuka mulut untuk mendebat papanya, tetapi Zidane segera mencegah dengan cara menepuk pelan punggung telapak tangannya. Zidane menggelengkan kepala begitu Annisa menoleh ke arahnya.
"Papa gak habis pikir sama kamu, Nisa. Otak kamu di simpan di mana, hah?! Bisa-bisanya kamu memilih pria sepertinya untuk dijadikan suami!" bentak Reza sambil menunjuk kearah Zidane.
Walau sedang ada di restoran, tetapi mereka bebas berbicara karena berada di ruangan private.
Pria paruh baya itu tersenyum kecut, lalu menghela napas panjang dan mengendurkan dasi yang dikenakannya.
"Memangnya apa yang bisa kamu harapkan dari pria seperti dia? Miskin, berandalan, tidak jelas asal usulnya," ucap Reza lagi. Pria paruh baya itu terdiam selama beberapa detik, kemudian berkata dengan tegas, "Keputusan Papa sudah bulat. Kamu hanya akan menikah dengan Yogi! Setidaknya, masa depan kamu terjamin bila hidup bersamanya nanti."
Rahang Annisa mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Gadis itu menatap wajah Reza dengan sorot berkilat penuh kekecewaan.
"Lebih baik aku tidak menikah seumur hidupku dari pada harus menikah dengan pria brengsek seperti dia!" tegas Annisa dengan suara bergetar.
"Aku pikir, Papa memiliki sedikit rasa peduli terhadapku, tetapi ternyata tidak!" ucap Annisa lagi, lirih. Dia tersenyum simpul sambil memalingkan wajah ke arah lain, berusaha menyembunyikan air matanya.
"Justru Papa peduli sama kamu. Papa ingin yang terbaik untuk kamu!" jelas Reza dengan suara tegasnya.
Setelah berucap demikian kepada Annisa, pria paruh baya itu pun menoleh ke arah Zidane dan menatapnya sinis.
"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" tanyanya bernada meremehkan.
Zidane tersenyum kecut. Kata-kata dari Reza itu cukup membuat hatinya sedikit tersinggung, tetapi dia masih berusaha tetap bersikap tenang. Dia terdiam sambil memerhatikan perdebatan antara anak dan ayahnya.
"Apa yang Papa harapkan dari Yogi?" Annisa balik bertanya kepada Reza. "Papa ingin melihat aku menderita seumur hidupku, begitukah?" tanyanya lagi. Seulas senyum sinis terukir di bibir gadis itu.
"Maaf, saya menyela." Akhirnya Zidane membuka suara dan berhasil mengalihkan perhatian Annisa dan Reza yang saat itu sedang bersitegang.
Pria beralis tebal itu meneguk dulu minuman miliknya, kemudian membenarkan posisi duduk sebelum memulai berbicara.
"Boleh saya meminta sedikit waktu Om sekarang? Saya ingin membicarakan sesuatu berdua saja," ucap Zidane dengan tenang.
Kedua alis Annisa mengernyit dalam memperlihatkan segurat garis halus di keningnya. Nampak jelas terlihat bahwa gadis itu tidak setuju dengan ide bodoh Zidane. Annisa takut pria itu akan berbicara yang bukan-bukan sehingga nantinya akan semakin memperumit keadan.
Reza terdiam, nampak ragu kepada Zidane.
"Lima belas menit saja," ucap Zidane, membujuk.
"Baiklah!" putus Reza yang membuat Zidane tersenyum tipis.
Kedua bola mata Annisa membulat saat Reza meminta Annisa untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Zidane.
Annisa menarik Zidane agar sedikit menjauh dari Reza, kemudian bertanya, "Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Tolong jangan bersikap bodoh!" tegur Annisa.
Gadis itu menatap dalam mata Zidane yang juga sedang melihatnya.
"Bukankah kamu ingin menikah denganku karena tidak mau dijodohkan? Beri aku sedikit kepercayaan, Nona. Aku akan menyelesaikan semuanya dengan baik," ucap Zidane dengan tenang.
Annisa bergeming, masih menatap wajah Zidane dengan serius. Mencoba menebak apa saja isi di dalam kepala pria tampan itu, sehingga berani sekali ingin membujuk Reza. Seolah semuanya akan begitu mudah.
Dia ingin membantah karena merasa ragu kepada Zidane, tetapi pria tampan itu dengan tenang meminta Annisa untuk mempercayainya sekali saja.
Zidane tersenyum kemudian meminta Annisa untuk menunggunya di luar. Meski berat hati, terpaksa gadis itu pergi meninggalkan Zidane dengan papanya.
***
"Kenapa mereka lama sekali?" gumam Annisa.
Gadis itu nampak tidak tenang menunggu Zidane dan Reza segera ke luar dari ruangan khusus. Waktu menunjukan sudah lebih dari lima belas menit, tetapi masih belum terlihat mereka ke luar. Hal itu semakin membuat Annisa cemas. Dia takut Zidane akan membuat papanya semakin yakin untuk meneruskan perjodohan dengan Yogi.
"Sebenarnya apa yang ingin Zidane bicarakan dengan Papa sehingga dia tidak mengizinkanku untuk ikut mendengarnya juga?" gerutu Annisa pelan.
Suara desaah kasar berkali-kali ke luar dari mulut gadis cantik itu. Dia memainkan jemarinya mengetuk-ngetuk meja, tidak tenang.
Gadis berhijab itu langsung beranjak dari duduknya begitu melihat Zidane dan Reza berjalan mendekat ke arahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia langsung menatap Zidane meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya tersenyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Papa memberi kalian restu untuk menikah,"
"A-apa?" Annisa terkejut mendengar perkataan Reza. Gadis itu menatap wajah papanya dengan sorot tak percaya, kemudian beralih ke arah Zidane, meminta penjelasan. "Ke-kenapa tiba-tiba? Papa tidak sedang bercanda bukan?" tanyanya lagi, bingung. Reza menoleh ke arah Zidane sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. "Apa Papa terlihat seperti sedang bercanda?" Reza balik bertanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Annisa. "Ya, tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi?" tanya Annisa. Gadis itu masih bingung, tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Dia mencoba meminta penjelasan kepada Zidane, tetapi pria itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kamu tanyakan saja semuanya kepada calon suamimu. Papa harus balik ke kantor sekarang, ada meeting penting," ucap Reza. Tanpa menunggu sahutan dari putrinya, pria paruh baya itu langsung berge
"Saya terima nikah dan kawinnya Tazkia Annisa Buana binti Reza Buana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai!"Kaliamat yang diucapkan oleh Zidane secara tegas dan lantang satu jam yang lalu masih terngiang di dalam ingatan Annisa. Hatinya bergetar merasakan antara bahagia dan sedih secara bersamaan.Pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak terjadi kepada dirinya.Memang, tidak ada yang memaksanya untuk menikah dengan Zidane. Semua itu terjadi atas rencana yang dibuat oleh Annisa sendiri. Namun, Annisa tak menyesalinya karena jauh di dalam hati, dia menginginkan Zidane untuk menjadi pendamping hidupnya."Aku tidak menyangka, ternyata selera Kak Annisa itu rendahan!" sindir Maudy, adik tiri Annisa sambil tersenyum mengejek.Rupanya, Maudy sengaja berdiri di depan kamar Annisa dan menunggunya ke luar hanya untuk mengejek."Ganteng, sih, tapi miskin," sambung
"Apa kamu tidak mau turun, Nona?" tanya Zidane.Suara itu berhasil menarik Annisa dari lamunannya. Dia mengejapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kening yang berkerut. Annisa pun turun dari mobilnya dengan ragu-ragu mengikuti suaminya."Apa kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Annisa.Dia menatap Zidane yang sedang menurunkan koper di dalam bagasi. Pria itu menoleh, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku tinggal di salah satu apartemen yang ada di gedung ini."Tak ada percakapan lagi di antara pasangan pengantin baru itu. Keduanya berjalan memasuki gedung dalam keheningan.Sesuai perjanjian, Zidane mengajukan syarat yang salah satunya adalah, bahwa setelah menikah Annisa akan ikut dan tinggal bersama di mana pun Zidane berada."Masuklah!" Zidane mempersilakan Annisa masuk ke rumahnya.Annisa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan berukuran kecil yang didominasi dengan cat berwarna putih. Hanya ada satu kama
"Aku tidak bisa! Tolong jangan terus memaksaku!"Zidane berdecak sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak, kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya."Sial! Kenapa dia selalu saja menggangguku?" gerutu Zidane pelan sambil membalikkan badannya."Siapa yang mengganggumu?"Zidane terbelalak, merasa terkejut melihat kehadiran Annisa yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Detik berikutnya, dia kembali menetralkan raut wajahnya seolah tidak pernah terjadi apa pun."Apa para rentenir itu masih mengganggumu?" tanya Annisa lagi.Manik teduh itu menyipit menatap wajah Zidane secara seksama. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan sebelumnya, menandakan bahwa dia sudah selesai mandi."Hm. Iya," jawab Zidane singkat. Dia berjalan melewati Annisa berusaha untuk menghindar dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah selesai mandi, Nona? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu.""Memangnya berapa banyak utangmu
Sebuah mobil berwarna hitam baru saja menepi di parkiran salah satu restoran ternama. Tidak lama kemudian, dua orang berbadan besar terlihat menyeret seorang pria tampan untuk ikut dan menuruti mereka yang sedari tadi terus memberontak. "Lepaskan! Aku bisa masuk dan berjalan sendiri!" Zidane mengempaskan tangannya dari cekalan dua pria berbaju hitam dan bertubuh kekar. Dia menghela napas kasar, lalu membenarkan kemejanya yang kusut. Kedua pria itu saling menatap satu sama lain selama beberapa detik, kemudian mundur satu langkah dan membiarkan tawanannya berjalan masuk ke restoran tanpa paksaan. Derap kaki itu melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang nampak masih gagah dan berwibawa yang sudah menunggu kedatangannya. Setelah menghela napas kasar, Zidane langsung mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di depan pria paruh baya itu dengan wajah masam. "Apa aku harus menggunakan cara seperti ini agar kamu mau menemuiku?" tanya pria paruh bay
"Aku tidak habis pikir denganmu, Reza. Bagaimana mungkin kamu bisa menikahkan Annisa dengan pria lain, padahal sebelumnya sudah berjanji akan menjodohkan Annisa dengan putraku," ujar Hari Prasetyo, papanya Yogi.Pria paruh baya itu sengaja menemui Reza di kantornya hanya untuk membahas pernikahan Annisa yang berlangsung dengan pria lain. Hari menganggap bahwa Reza sudah melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat untuk menjodohkan putra putri mereka."Iya, Paman. Kenapa Paman tega sekali melakukan semua ini kepadaku?" Yogi yang turut ikut bersama papanya pun ikut berbicara.Jelas terlihat bahwa pria muda itu sedang sangat kecewa dan patah hati karena gadis yang diinginkannya menikah dengan orang lain."Kamu tidak lupa 'kan, kalau perusahaanmu ini sedang diambang kehancuran? Satu-satunya cara agar perusahaan ini tetap bertahan yaitu dengan penyatuan dua perusahaan dengan menikahkan Annisa dan Yogi," ujar Hari lagi. Netra tua itu menatap tajam ke arah Reza
"Kenapa belum tidur?" tanya Zidane yang baru saja masuk ke kamar dan mendapati Annisa masih berkutat dengan laptopnya.Gadis itu menoleh sekilas, kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya."Aku belum mengantuk. Lagi pula, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini," sahutnya tanpa menoleh ke arah Zidane."Kalau kamu ingin tidur, tidak apa. Tidur saja duluan," sambungnya lagi. Kali ini, dia menoleh ke arah Zidane dan tersenyum.Tak ada sahutan dari pria itu. Dia berjalan menuju ranjang untuk mengambil bantal dan selimut, kemudian membawanya ke sofa. Namun, sebelum pergi Zidane sempat mengintip ke arah layar laptop Annisa."Apa kamu sering membawa pekerjaan ke rumah?" tanya Zidane sembari membenahi sofa."Hanya sesekali," jawab Annisa tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.Zidane yang sudah berbaring di atas sofa, diam-diam memerhatikan istrinya dalam keheningan."Apa itu masih lama?" tanya Zidane beberap
Zidane terkejut karena tidak menemukan Annisa di tempat tidur begitu dia bangun. Awalnya, dia berpikir istrinya itu bangun lebih awal dan sedang di kamar mandi. Namun, begitu ia menyadari tak ada tanda-tanda seseorang berada di dalam sana, membuat Zidane mulai merasa cemas. "Nona, apa kamu ada di dalam?" panggil Zidane sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada sahutan dari dalam sana sehingga membuat Zidane terpaksa membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Kedua alisnya mengernyit dalam saat tak menemukan siapa pun di dalam sana. Zidane pun menutup pintu kamar mandinya kembali. "Dia pergi ke mana sepagi ini?" gumamnya pelan. Matanya membulat begitu otaknya mulai memikirkan hal yang bukan-bukan. Derap langkah lebar itu langsung mengarah ke lemari pakaian dan langsung membukanya. Zidane langsung bernapas lega karena pakaian Annisa masih bertengger rapi di dalam lemari. Menandakan bahwa pemiliknya tidak melarikan diri seperti yang dipi
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe