Begitu tiba di bandara, Dimas segera menjemput Kevin dan istri tercinta, bersama-sama mereka melaju menuju Rumah Sakit Jiwa tempat sang Papanya Zara dirawat. Rasa cemas menyelimuti hati Zara yang berdebar kencang, bagaimana jadinya kalau sampai sang Papa tidak mau mengakuinya sebagai anak, sebab selama ini tak sekalipun mereka pernah bertemu. Rasa penasaran itu tumbuh begitu besar dalam diri Zara, bahkan ia hanya mengetahui tentang keberadaan sang Papa melalui cerita suaminya. Melihat istrinya begitu gelisah, Kevin meraih tangan Zara dan memberikan sentuhan hangat untuk menenangkan hati wanita cantik itu."Percayalah, sayang. Semua akan baik-baik saja, berjalan sesuai dengan rencana dan harapan kita," ucap Kevin menenangkan sang istri.Wanita cantik itu mengangguk lemah, menyetujui ucapan suaminya."Terima kasih atas dukunganmu, Sayang," jawab Zara dengan tulus, sembari mencoba mengusir ketakutan dalam hatinya dan mempersiapkan diri menghadapi pertemuan yang ditunggu-tunggu.Tak la
Setelah lama berpelukan, melepaskan segala emosi yang terpendam, Zara akhirnya melepaskan pelukannya pada sang papa. "Papa, bisakah Papa mengenali Zara?" tanya wanita cantik itu dengan suara bergetar pada pria yang masih dalam masa pemulihan. "Apa kau... anakku? Apa benar kau anakku?" tanya pria berwajah tegang di depan Zara, seolah tidak percaya. Zara mengangguk tegas, "Benar, Pa. Ini Zara, anak semata wayang Papa. Dan ini Kevin, menantu Papa." Dia memperkenalkan Kevin sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Lalu, Kevin mengulurkan tangan pada sang mertua. "Menantu...?" sang Papa bergumam, tampaknya masih berusaha mencerna situasi yang baru saja terungkap. Kevin tersenyum hangat, mencoba menyampaikan dukungan dalam kesedihan keluarga yang baru ditemui. "Benar, saya menantu Papa," ucapnya dengan suara lembut, penuh pengertian. Tak lama kemudian, sang Papa mertua kembali berteriak dan menangis histeris. Mertua Kevin itu terus menyuarakan isi hatinya, "Bukan aku yang
"Apa kira-kira Papa akan sembuh, ya? Atau hanya sekedar ingat sebentar lalu kembali kambuh?" tanya sang istri pada Kevin dengan suara lirih, saat mereka berada dalam mobil menuju rumah.Kegelisahan tampak jelas di wajahnya, membuat hati Kevin seketika hancur. "Kita doakan saja, Sayang. Mudah-mudahan Papa segera pulih," jawab Kevin dengan penuh keyakinan, berusaha memberikan semangat pada istrinya. "Iya, Sayang... Aku sangat berharap Papa segera pulih dan tak mengalami peristiwa mengerikan lagi. Kau tak marah, kan, kalau nanti aku mengajak Papa tinggal di rumah kita? Kau tak malu, kan, Sayang, punya mertua yang pernah mengalami gangguan jiwa?" Sang istri menatap Kevin dengan tatapan harap-harap cemas, seolah memohon pengertian darinya. Kevin menatap istrinya dengan lembut, meraih tangannya yang gemetar, dan menggenggamnya erat. "Tentu saja tidak, Sayang. Papamu adalah papaku juga. Apapun yang terjadi, ikatan itu tidak akan pernah bisa lepas. Aku menerimamu apa adanya, dan aku wajib
Malam harinya saat Kevin akan beristirahat tiba-tiba ponselnya berdering sementara sang istri sudah terlelap di atas ranjang.Kevin melangkah menuju balkon kamarnya, meraih ponselnya yang berdering. "Halo, Dimas?" tanyanya, suara lembutnya sedikit bergetar oleh kekhawatiran. "Halo, Tuan," sahut Dimas seolah membaca pikiran Kevin. "Saya baru saja melihat Galen, Daniel, dan Jenni sedang makan malam bersama di restoran dekat rumah Daniel. Mereka hanya bertiga, Tuan. Setelah saya selidiki, sepertinya mereka tidak sedang dalam masalah. Mungkinkah kepergian Jenni dan keputusannya untuk mendekati Nyonya dan Anda merupakan bagian dari rencana jahat mereka?" ujar Dimas, nada suaranya penuh kecurigaan. Kevin menggertakkan giginya, kemarahan meluap-luap di dadanya."Brengsek! Bisa-bisanya mereka kembali bermain api di belakangku!""Tuan, kita harus membalasnya," ujar Dimas dengan tekad. "Tetapi, usahakan agar Jenni tidak tahu bahwa kita sudah mengetahui niat jahat mereka." Kevin menghela na
“Sial mereka kembali menyerang!” seru Kevin kesal.“Ternyata mereka jumlahnya sangat banyak Tuan,” jawab Dimas.Mobil yang dikendarai oleh sopir Kevin mendapat serangan hujan peluru dari orang-orang yang tiba-tiba muncul di hadapannya.Kepanikan meluap ketika ia menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah dikelilingi oleh para penjahat tak hanya dari depan, tetapi di seluruh penjuru. "Sepertinya kita harus segera turun dan memberikan pertolongan pada para pengawal kita, atau kita tidak akan bisa selamat dari serangan mereka," ucap Kevin dengan nada berat. "Apa kamu yakin, Tuan?" tanya Dimas, wajahnya penuh kekhawatiran. "Yakin atau tidak, kita harus hadapi ini, Dimas. Pakai rompi anti peluru-mu dan bapak sopir tinggal di sini ya. Jika situasi semakin buruk, segera cari bantuan," perintah Kevin dengan tegas. "Baik Tuan. Tolong hati-hati, Pak Dimas juga," sahut sopir itu, kembali fokus ke depan. Meski dia tahu mobil milik Bos nya ini anti peluru tetap saja dia takut.Mata mereka saling
"Loh, Sayang, kok ada di kantor?" tanya Kevin terkejut, saat pukul 16:00 waktu setempat. Dia baru saja tiba di kantornya, lantas mendapati sosok sang istri ada di dalam ruangannya. "Tadi, Jenni maksa banget, Sayang, untuk ketemu. Katanya dia sudah menunggu di sini, pas aku datang eh malah nggak ada, jadinya aku nunggu di ruangan-mu. Nggak apa-apa kan?" tanya Zahra, tatapannya mencerminkan rasa takut pada suaminya. "Nggak apa-apa sih, Sayang. Tapi, kenapa kau berkomunikasi Jenni lagi?" ujar Kevin. Setelah berhasil menutup pintu ruangannya, ia duduk di atas sofa dan menarik tangan sang istri agar duduk di pangkuannya. "Bukankah aku sudah bilang, jangan pernah mau ketemu lagi dengan Jenni," ujar Kevin, mengingatkan sang istri. "Pagi tadi, dia kayak kehabisan uang banget, Sayang. Lagipula, dia bilang ketemuan di kantor ini, makanya aku mau datang. Eh, ternyata dia malah nggak ada. Maafin aku ya, Sayang, udah melanggar laranganmu." Raut muka wanita cantik itu tampak lesu, tak sanggu
"Berapa yang kau inginkan?" tanya Kevin dengan ekspresi sinis begitu memasuki ruang kerjanya. Ia melihat dengan jelas Jenni, adik iparnya, tengah meminta uang pada Zara, istrinya. Zara terlihat hendak mengambil ponselnya untuk mentransfer uang, namun Kevin segera menghentikannya. "Biar aku saja, Sayang," tolak Zara lembut, berusaha meyakinkan suaminya bahwa dia masih memiliki uang di rekeningnya. "Tidak usah, biar aku saja," jawab Kevin tegas sambil menatap Jenni dengan tatapan penuh prasangka buruk. Jenni merasa gugup dan jantungnya berdebar kencang. "Jenni butuh 5 juta dolar, Kak," ucap Jenni dengan suara gemetar. "Uang itu untuk apa? Sebanyak itu?" tanya Kevin, menambah tekanan pada Jenni. "Jenni ingin membuat usaha, Kak," jawab Jenni dengan terbata-bata, mencoba menyembunyikan niat buruknya. "Kau pikir kami di sini ngetik uang?" sindir Kevin dingin, membuat Jenni semakin ketakutan. "Tenang saja, aku akan memberikanmu 5 juta dolar dengan satu syarat," ujar Kevin sambi
“Tuan Adamson, saya bahagia bisa menjalin kerjasama dengan Anda. Saya berharap kerjasama kita ini berjalan dengan lancar," ucap salah satu klien bisnis Kevin, yang bernama Tuan Michael, ketika mereka baru saja menyelesaikan penandatanganan kontrak. Ia mengulurkan tangan ke arah Kevin dengan wajah sumringah."Terima kasih, Tuan Michael. Saya pun sangat senang bekerja sama dengan Anda. Semoga ini menjadi awal yang baik sehingga kedepannya kita bisa terus melakukan kerjasama seperti ini." jawab Kevin, membalas uluran tangan sang klien bisnis dengan penuh semangat. Lalu mereka kembali duduk, tatapan mata mereka bertemu dengan penuh kepercayaan. "Saya senang akhirnya apa yang saya nanti-nantikan selama ini terwujud juga. Mudah-mudahan kita tidak kalah bersaing dengan perusahaan yang dikendalikan oleh mereka yang berkecimpung di bisnis gelap," ucap Tuan Michael, nada suaranya penuh harap. "Iya, Tuan. Mudah-mudahan kita yang bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku tidak dipersulit dan t
Sore yang mendung, tak menyurutkan semangat Kevin dalam meresmikan pembukaan anak cabang Adamson Corporation sesuai rencana. Tak ada yang tahu, termasuk tamu undangan yang nanti akan hadir di sana, bahwa perusahaan ini sudah disiapkan oleh Kevin sebagai kejutan untuk sang asisten terbaiknya, Dimas. Dalam kesempatan istimewa ini, Dimas datang bersama istri tercinta, ibu mertuanya yang begitu penyayang, serta bibinya yang selalu dianggap seperti ibu kandung sendiri. Sementara itu, Kevin datang bersama sang istri, dua buah hatinya yang merupakan anak kembar berusia tiga tahun, serta ayah mertuanya yang nampak semakin sehat dan bugar. Anak-anak kembar tersebut menjadi pusat perhatian. Betapa adil Tuhan, wajah gadis kecil itu persis seperti Kevin, sedangkan bocah lelakinya menyerupai wajah sang istri. Sebuah keluarga yang harmonis, mencerminkan cinta yang tulus di antara mereka. Seperti biasa, Kevin diminta untuk memberikan sambutan sebagai pimpinan perusahaan. Dalam sorotan cahaya s
Tiga bulan berikutnya, Kevin sedang berbincang serius dengan istri tercintanya mengenai rencana masa depan Dimas dan Dinda. "Sayang, ada hal penting yang ingin aku bicarakan," ucap Kevin pada sang istri, membuatnya penasaran. "Apa itu, Sayang? Kok sepertinya sangat penting?" tanya sang istri dengan wajah penasaran, menambah kegugupan dalam ruangan. Kevin tersenyum, merasa bersyukur memiliki istri yang begitu mendukungnya. "Sebenarnya, ini bukan hanya penting, tapi juga menyangkut masa depan Dimas dan Dinda. Aku ingin meminta pendapat dari istriku tercinta karena apa yang aku miliki, juga menjadi milik istriku." Mendengar hal tersebut, istri Kevin tersenyum lembut dan mengecup pipi suaminya sebagai tanda cinta dan dukungan. "Apa yang ingin kamu bahas, Sayang?" Dengan nafas yang berat, Kevin mulai bercerita, "Aku berencana memberikan satu perusahaan kepada Dimas. Dia sudah bekerja sangat keras untuk kantor kita, dan aku ingin dia bersama Dinda maju serta memulai segalanya dari awal
Hari ini adalah hari terakhir Dinda dan Dimas untuk mengecap bulan madu, mereka sudah berkeliling ke berbagai tempat namun rasanya waktu itu masih kurang.Seperti pagi ini tidur mereka harus terenggut saat keduanya sudah merencanakan di hari sebelumnya untuk membeli oleh-oleh."Sayang, ayo bangun kita harus segera menuju ke tempat oleh-oleh jangan sampai nanti pulang malah tidak membawa apa-apa,“ ucap Dinda pada sang suami Dimas saat ini masih bersantai di atas ranjang setelah kelelahan selama beberapa hari ini menikmati indahnya sebagai pasangan suami istri.“Sebentar lagi Sayang aku ngantuk banget.” rasanya sangat sulit bagi Dimas untuk membuka mata dia lebih memilih untuk tetap terpejam dan berada di atas ranjang."Tapi kita harus segera pergi, Sayang. Jangan sampai kehabisan oleh-oleh," ucap Dinda dengan nada menggoda. Dinda mengeluarkan jurusnya agar sang suami mau segera bangun dari tidurnya, dirinya sudah menunggu cukup lama Namun pria ini tak juga membuka matanya hingga membua
Pesta pernikahan Dimas terus berlangsung hingga larut malam pemilihan tempat yang outdoor membuat suasana semakin Syahdu dan terkesan akrab. Semua karyawan Adamson corporation sengaja diundang oleh Dimas dan mereka tidak ada yang tidak datang Jujur semenjak ada Dinda, Dimas sudah tidak sekaku dulu lagi minimal orang kedua di kantor tempat mereka bekerja sudah lebih sering tersenyum ketimbang sebelumnya. Semakin malam pesta semakin larut hentakan musik di pinggir pantai memecah suasana malam itu mereka berpesta pora hingga akhirnya pesta pun berakhir. Setelah berbulan-bulan persiapan yang melelahkan, Dimas dan Dinda akhirnya menyelesaikan pesta pernikahan mereka dengan sukses. Dikelilingi oleh cahaya gemerlap lampu dan tumpukan karangan bunga, mereka berdua tampak kelelahan namun bahagia. Dalam pelukan satu sama lain, mereka menghela nafas lega, menikmati momen indah setelah perjalanan panjang menuju hari yang mereka nantikan. “Akhirnya semua ritual melelahkan kita berakhir,” uc
Pernikahan Dimas dan Dinda"Sayang, apa kau sudah siap?" tanya Kevin pada sang istri. Hari ini mereka akan menghadiri acara pernikahan Dimas dan Dinda, acara sakral yang dihadiri oleh keluarga besar kedua belah pihak. "Sebentar, Sayang. Dua menit lagi, tinggal memakai berlian saja kok," ucap sang istri, yang membuat Kevin tersenyum bahagia. Padahal, istrinya sudah diberikan waktu cukup lama untuk berdandan; bahkan Kevin sempat bermain bersama kedua anak kembarnya. Namun, begitu kembali, sang istri masih sibuk berkutik di depan meja rias. Sementara itu, istrinya ingin tampil sempurna agar tidak membuat sang suami malu. "Iya, sayang, berapapun waktu yang kau inginkan pasti akan kuberikan," ucap Kevin dengan lembut. Zara tertawa kecil, tak mengetahui apakah kalimat itu sarkasme atau benar-benar dari hati Kevin, sebab ia tahu suaminya telah menunggu cukup lama. "Sabar dong, Sayang. Sebentar lagi," ucap Zara dengan menggoda. Tak berselang lama, ia pun mendekati Kevin, ternyata sang
Kevin dan Dimas berdiri kokoh di tengah jalanan yang sepi dan mulai gelap, terasa begitu mencekam dan hening, matapun tertuju pada para preman bersenjata api. Jantung mereka berdegup semakin cepat; namun mereka tahu bahwa mereka harus bertindak gesit untuk melindungi diri sendiri serta orang-orang di sekitar. Keduanya lantas merancang strategi dengan mata fokus, tanpa sepatah kata pun terlontar, sekedar tatapan yang saling bercerita dan penuh tekad bersama. Siap menghadapi bahaya yang melayang di atas kepala mereka, mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Tak lama, preman-preman itu mulai mendekati dengan niat yang jelas. Kevin dan Dimas pun segera melancarkan aksi mereka. Keduanya mengandalkan keterampilan bertarung serta refleks yang telah mereka asah, bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan para penjahat tersebut. Angin meniup lantang, suara bentrokan demi bentrokan memecah kesunyian, menjadikan malam itu satu episode yang tak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang m
Malam itu, Kevin duduk di balkon kamarnya bersama istri tercinta, setelah berhasil menidurkan kedua anak kembarnya yang lucu. Rencana yang akan dibahas adalah mengenai persiapan pernikahan Dimas dan Dinda, keduanya yang telah lama diincar oleh hati Kevin untuk dipertemukan. Kebahagiaan Dimas adalah kebahagiaan bagi Kevin. Tidak hanya sebagai asisten pribadi yang sudah seperti keluarga, tetapi juga sahabat yang selalu setia menemani Kevin dalam suka duka. Diiringi malam yang tenang, ia menggenggam tangan istri dan berbicara dengan tulus dari lubuk hatinya. Kevin ingin meminta izin untuk memberikan biaya pernikahan untuk Dimas dan Dinda. Bagaimanapun, Dimas telah memberikan begitu banyak hal dalam hidup mereka dan tentunya Kevin sangat berharap sang istri tidak keberatan dengan keputusannya.Tentu saja tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi Kevin selain melihat orang-orang di sekitarnya bahagia. Karena ia tahu betul bahwa Dinda telah mencuri hati Dimas sejak pertama kali bertemu
Satu Tahun kemudianHubungan Dimas dan Dinda semakin menemukan titik kebahagiaan mereka benar-benar tak menyangka akhirnya bisa sampai di titik ini. Malam ini Dimas mengajak Dinda untuk makan malam bersama. Jujur ada desir hangat mengalir dalam darah dinda."Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ucap Dimas gugup. Demi apapun Dimas tak pernah sebelumnya merasa segugup ini."Apa itu, Dimas? Jangan membuatku gugugp deh,” jawab Dinada penuh rasa penasaran Dinda berharap Dimas menyatakan cinta padanya, sudah sejak lama Dinda menunggu ungkapan cinta dari lelaki yang terkenal dingin ini namun tak kunjung terjadi juga.“Hmmmm,” Dimas berdehem gugup. "Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Kamu membuat setiap hari menjadi lebih cerah dan berarti bagiku. Aku mencintaimu, Dinda, dengan segenap hatiku."Dinta membelalak mendengar ungkapan cinta dari pria kutub utara ini. Benarkah ini? Atau aku hanya bermimpi? ... Aku juga mencintaimu. Kamu adalah sumber kebahagiaanku,” sayangny
Sementara itu di sebuah restoran mewah Kevin sengaja meminta istrinya untuk datang ke restoran hari ini.Dia mengajak sang istri untuk makan siang bersama, senyum mengembang di bibirnya ketika melihat wanita yang ia cintai sudah tiba di hadapannya.“Wah, kau cantik sekali, Sayang," ucap Kevin dengan nada rayuan, memandangi sang istri yang berdandan cantik. Wanita itu mencebik, merasa gusar dengan cara suaminya memujinya. "Memangnya selama ini aku tidak cantik, Sayang?" tanya sang istri, menegaskan kalimatnya. Kevin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum geli. "Tentu saja cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan istriku," jawabnya dengan hati-hati. "Ayo sayang, kita makan siang dulu. Aku sudah pesan makanan kesukaanmu," ajaknya seraya menunjuk hidangan yang sudah tersaji di atas meja makan. Kevin menggenggam tangan sang istri, tatapannya lembut dan sayang. "Sesekali kita perlu menghabiskan waktu berdua saja, Sayang. Semoga di waktu yang akan datang, kita bisa leb