Matahari hampir saja terbenam ketika Kevin baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kantor Johanes Group. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi keras menandakan ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dia kenal. "Siapa ini? Mengapa meneleponku pada saat seperti ini?" gumam Kevin sambil merasa penasaran dan sedikit kesal. Dia baru saja berniat untuk pulang dan menenangkan pikiran setelah seharian bekerja keras untuk perusahaannya dan perusahaan sang kakek.Namun tampaknya masih ada hal yang harus dihadapinya. Sejenak, Kevin terdiam memikirkan apakah harus mengangkat telepon itu atau tidak. Tetapi, rasa ingin tahunya akhirnya mengalahkan keengganannya, dan dia pun memutuskan untuk mengangkatnya. "Siapa tahu ini adalah sesuatu yang penting atau bahkan mendesak yang harus aku tangani," gumamnya dalam hati. Kevin tidak menyadari bahwa panggilan tersebut akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.Kevin teringat akan istrinya, yang baru saja berpamitan untuk pergi berbelanja di swalaya
Di tempat yang berbeda, Dimas tengah berusaha keras untuk membantu Kevin agar segera menemukan bukti pembunuhan kedua orang tuanya. Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul, apakah nanti akan berhasil mengungkap kebenaran? Apakah orang-orang yang bersembunyi di balik kejahatan ini akan segera tertangkap?Namun, saat itu, orang suruhan Dimas datang ke kantor Adamson Corporation dengan wajah pucat pasi. Raut wajahnya seolah membawa pesan buruk, yang membuat hati Dimas berdesir. Dalam hati Dimas, pertanyaan yang muncul adalah, ‘Apa yang sudah terjadi? Apakah mereka harus menghadapi kesulitan lebih besar lagi?’ Orang suruhan itu langsung menyampaikan berita buruk pada Dimas, bahwa saksi kunci yang hampir mereka dapatkan tiba-tiba membatalkan perjanjian. Mendengar kabar itu, hati Dimas sontak bergetar hebat.Mungkinkah saksi kunci itu telah diancam atau bahkan sengaja disingkirkan oleh Tuan Baron? Lalu, apa yang harus mereka lakukan sekarang?Dimas merasa kehilangan arah, seo
"Apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Baron?" tanya Kevin, suara angkuh dan menantang masih terasa di setiap kata-kata yang terucap. Ia berusaha untuk tampak tegar, kendati ia sangat tahu bahwa saat ini istrinya, Zara, sedang menjadi sandera sang mafia. Hatinya meronta-ronta, mencoba mencari cara terbaik untuk menyelamatkan nyawa Zara tanpa harus kehilangan segalanya. "Tak banyak. Kalau kau mau istrimu Zara selamat, serahkan semua perusahaanmu padaku, termasuk perusahaan Johanes Group yang baru kau akuisisi!" seru Tuan Baron tegas. Kevin merasakan api amarah dan kebencian membakar di dadanya.Kedua tangannya mengepal erat saat mendengarkan tuntutan sang mafia. ‘Apa haknya dia untuk mengambil semuanya dariku? Dan bagaimana bisa ia mengancamku dengan nyawa Zara sebagai tebusan?’ gumam Kevin dalam hati, perasaan hampa mulai merasuki pikirannya. Kevin menatap dingin ke arah luar jendela hotel sambil berkomunikasi melalui sambungan telepon dengan sang mafia, dia menyimpan amarah ya
Setelah menghabiskan dua hari di Kota West Country, Kevin akhirnya mendapat telepon yang mengubah segalanya. “Siapkan semua yang saya inginkan Tuan Adamson. Sebentar lagi kita akan bertemu,” ucap Tuan Baron di balik sambungan telepon.Suara di ujung telepon itu mengatakan bahwa dirinya harus membawa jaminan seluruh aset yang Kevin miliki untuk Tuan Baron jika kamu ingin istrinya tercinta, Zara, selamat.Hati sang presdir berdegup kencang saat itu juga. Mereka menculik Zara untuk menekan Kevin. ‘Mereka pasti sudah tahu bahwa Nona Zara adalah segalanya bagi Tuan muda,’ gumam Dimas di dalam hati. Saat ini dirinya dan Pedro ikut mendengarkan telepon dari Tuan Baron.Tanpa berpikir dua kali, Kevin langsung menyetujui permintaan sang mafia itu.“Tenang saja Tuan, saya akan membawa semua yang anda minta. Asal ingat jangan berani menyakiti istri saya.” Tak peduli apakah nantinya dia akan kehilangan semua yang dia miliki, asal Zara bisa kembali dengan selamat, itulah yang terpenting.Kevin
"Sial, kenapa harus ditunda terus?" gumam Kevin saat membaca pesan singkat dari Tuan Baron, sang mafia, yang berisi perintah keras."Jangan bergerak sebelum saya memberi perintah pada Anda."Keresahan dan rasa penasaran yang muncul di wajah Kevin membuat Dimas terdiam sejenak dan bertanya pada sang atasan.“Kenapa, Tuan?" tanya Dimas.Kevin menatap Dimas dengan ekspresi yang berat dan penuh tekanan."Sepertinya mereka punya niat yang tidak baik. Mereka mungkin berusaha mengulur waktu sebisanya, mungkin saja mereka sudah tahu rencana kita." Dia menggenggam erat tangan dan merasa kehilangan pilihan dalam situasi yang mencekam ini. Dimas mengangguk setuju, "Betul sekali, Tuan. Saya yakin mereka sengaja bermain dengan kita agar bisa menyudutkan kita nantinya. Kita harus berhati-hati dan bersiap untuk melancarkan serangan jika situasi semakin memburuk." Dimas tak bisa menyembunyikan rasa panik yang meluap-luap di dalam pikirannya, ‘Aku dan tim harus bisa menyelamatkan Nona Zara, nyonya
"Pak Dimas, Anda dan Tuan Muda Kevin bisa masuk lewat ekor Pak. Di dalam sana ada banyak sekali kawat yang dialiri aliran penyengat untuk memastikan tak ada orang yang bisa melewatinya. Tapi, Anda dan Tuan Muda tak perlu khawatir, karena saat ini saya dan tim sudah berhasil mematikan aliran penyengat itu," ujar pimpinan tim di ujung alat komunikasi tersebut, menenangkan hati Dimas dan Kevin yang terusik dengan kabar tersebut. Dimas menarik nafas lega. ‘Syukurlah, setidaknya kami tak perlu khawatir tentang bahaya tersebut lagi,' pikirnya dalam hati. Sejenak dia merasa geram kepada siapapun yang telah memasang aliran penyengat itu. 'Apa yang ada di dalam sini sehingga harus dijaga seketat ini?' tanyanya dalam hati. Dia mulai merasa was-was, namun tetap melangkah maju bersama Kevin. Di sisi lain, Kevin juga merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya ada di balik kawat-kawat tersebut. 'Seandainya saja keamanan di tempat ini tidak seketat ini, mungkin aku bisa menggali lebih dalam i
“Tuan Baron sudah berada di lantai enam, tangga menuju kesana agak terjal, mohon berhati-hati Tuan, Pak Dimas.”Suara peringatan kembali terdengar saat Kevin hendak naik ke lantai 6.“Terima kasih,” jawabnya. Keduanya kembali fokus melumpuhkan anak buat Tuan Baron yang menjaga keamanan tempat itu."Pak Dimas, Pak Pedro sudah mulai menaiki tangga, dia bersama anak buah Tuan Baron. Saya tak tahu apa yang mereka lakukan tadi di ruangan lantai 1, karena suasana gelap," bisik suara di earphone mereka. Dimas mengepalkan tinju, rasa tidak tenang dan gelisah menyelimuti pikirannya."Tolong pantau terus ya pergerakannya, sekecil apapun itu sangat berarti untuk saya dan Tuan muda!”" perintahnya dengan suara serak sambil melirik anak buah Baron yang merintih karena kesakitan akibat ulah Dimas.“Baik Pak,” jawab ketua tim itu.Sementara itu, Kevin berada di sisi kanan sang asisten, matanya juga tetap fokus pada anak buahnya yang lain. Mereka tampak mulai kewalahan menghadapi anak buah Tuan Baron.
"Doooor Doooor Doooor!" kembali terdengar suara tembakan yang terdengar dari lantai bawah membuat Tuan Baron, langsung waspada.Pikirannya mulai berputar mencari langkah selanjutnya, ‘Apakah ini serangan dari anak ingusan itu? Siapa yang berani melawanku seperti ini? Apa dia mau nyumbang nyawa?’ Tuan Baron merasa cemas bercampur marah dan dia harus berhati-hati, sebab sepertinya lawannya kali ini bukan orang sembarangan. Begitu cepat, perhatiannya seketika teralihkan. Pria tua itu menatap ngeri ke arah pintu karena suara tembakan itu kian mendekat. ‘Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus melarikan diri? Mungkinkah pintu rahasia bisa mengantarku ke tempat yang lebih aman?’ Pikiran ini terus berkecamuk dalam kepala sang mafia yang nyalinya tak sehebat dulu karena tergerus usia, dia berusaha mencari cara terbaik untuk menyelamatkan diri dari bahaya yang semakin mengancam.Petang itu terasa seperti hari yang paling menegangkan sepanjang hidup Tuan Baron. Dalam hati, sang mafia