"Mas Heru, aku takut." "Ya Allah!" Heru tertegun melihat Anisa menutupi seluruh tubuhnya dengan sarung. Sementara lantai rumah Mereka sudah mulai basah karena bocor. "Sini Nak, ke rumah mas Heru saja. Tadi mbak Gita mau jemput kamu, tapi takut. Makanya Mas Heru saja yang jemput kamu. Ayo." Heru memasang punggungnya. Tapi Anisa malah mundur dan tampak segan. Heru menoleh, melihat keraguan di mata anak itu. "Ayo, nggak papa. Takut petirnya tambah banyak." Heru mendesak. Meskipun dengan ragu-ragu, Anisa pada akhirnya pasrah. Meraih dua pundak Heru. "Pegang payung kuat-kuat. kita harus lari! Hehe.." Heru berkata demikian tapi dengan sangat lembut. Heru berlari-lari di bawah hujan yang mulai deras. Orang-orang yang belum menutup pintu melihatnya. "Ya ampun, gak istrinya dan suaminya berhati mulia. Sangat baik. Tau kakaknya kerja di rumah mereka, adiknya juga dijemput karena ujan gede." "Iya. Mereka itu baik banget. Tau kalau Bu Mila nggak di rumah." Heru sudah mencapai
Timah kotor? Tentu saja yang mereka dapatkan masih Timah kotor. Masih harus ada proses pembersihan lagi, memisahkan Timah bagus dan jeleknya. Itu yang akan dilakukan Bu Mila dirumah. Karena untuk bagian yang ini Gita belum paham. Mereka baru akan berbondong bondong pulang saat Para pekerja sudah selesai juga. Kadang sampai habis magrib, tak jarang sampai jam 8 malam. "Timahnya jelek, Bu. Cuma berani lima puluh ribu ini." Tawar seorang pembeli yang biasa masuk untuk membeli timah dari mereka ketika Bu Mila menunjukan timah yang berhasil mereka kumpulkan. "Kok murah banget? Tambahin Mas." Pinta Bu Mila. "Timah anjlok harganya, Bu. Gak berani lagi." "Nggak usah lah nek, tar malam titip pakde aja. Sayang. " Bisik Gita. Merasa sangat sayang. Timah hasil mereka seminggu, mungkin hanya sekitar tiga empat kilo, dihargai lima puluh ribu sekilo? Gita menggeleng, "Nanti aja Mas." Orang itu tidak bisa memaksa, segera pergi meninggalkan Mereka. Malam harinya, Gita membawa timah
"Teh, ini mah ukuran Anisa nih!" ucap Gita dengan kening berkerut saat memeriksa nomor sepatu itu. "Ya udah ambil aja. Lumayan. Gak usah beli. Ini masih baru lho. Ada kok kotaknya. Bilang aja kalau kamu baru beli," sahut Teh Ainun sambil tersenyum, lantas mengambil kotak kardus sepatu tersebut. Gita menatap sepatu itu ragu-ragu, "Tapi Teh, sepatu ini mahal harganya. Emang nggak papa kalau untuk Anisa?" Teh Ainun menepuk bahu Gita perlahan, "Ya nggak papa. Lagian nggak ada yang makai. Nawaf sama Arsha kakinya gede-gede. Mau buat adik mereka ya entah kapan." Gita menghela nafas, bersyukur dalam hati. Sepatu itu memang masih baru dan harganya juga 200 ribuan lebih. Namun, Teh Ainun tulus memberikannya tanpa ragu meskipun harganya cukup mahal. "Taruh sini dulu, kamu ikut aja Ak Rudi ke pasar. Jual timah kamu sendiri, nanti Ak Rudi yang jualin. Biar bisa liat aja. Biar tau harga," kata Ak Rudi sambil tersenyum. Gita akhirnya mengangguk dan setuju. Meskipun sudah mendapatkan sepatu untuk A
Bu Mila menatap Gita dengan terkejut ketika mendengar gaji yang diterima anak itu. Sebagai seseorang yang masih dianggap belum cukup umur, rasanya tak seimbang jika Gita menerima upah sebesar itu, seakan tak sesuai dengan tenaga yang dia keluarkan. Namun, Gita segera menjelaskan alasan Nita memberinya gaji semampai itu. Mendengar penjelasan tersebut, ekspresi Bu Mila berubah menjadi lega dan bersyukur. Ia mengucap syukur berkali-kali, matanya berkaca-kaca. Lalu, dengan nada serius dan penuh kasih sayang, ia kembali memberi petuah dan pesan kepada Gita. "Gita,jagalah dirimu dan kepercayaan yang diberikan mbak Nita dan suaminya," ucapnya dengan lembut, menegaskan agar Gita selalu berhati-hati dalam menjalani pekerjaannya. Gita mengangguk, dia akan selalu mengingat pesan neneknya. "Nek, beli asbes ya? Untuk ganti yang pecah. Biar nggak bocor lagi rumahnya," ujar Gita, menatap mata neneknya yang penuh harap. Bu Mila mengangguk, wajahnya terpancar kebahagiaan yang mendalam. Tentu saja, se
Terkadang baik Anisa maupun Nenek mereka, sekali waktu menginap di rumah Nita karena ajakan Gita yang memang diminta oleh Nita sendiri untuk menginap."Tar malam ajak Anisa sama Nenek minep sini aja Gita. Kita mau bakar ayam, sama teh Ainun.""Hehe.. asyik. Seru-seruan kita ya?""Tentu dong. Sesekali kita seru-seruan, biar hidup gak terlalu tegang."Padahal Nita, ingin merayakan hari jadinya dengan Heru. Tanpa Pesta, hanya sekedar mengajak mereka makan-makan saja."Bikin roti bolu ya mbak? Nanti aku yang bikin sama Teh Ainun.""Oke."Mereka tanpa terasa telah menjalin Kekeluargaan dengan begitu erat dan dekat. Bercanda ria bak keluarga besar.Keluarga Gita dengan Nita dan Heru, keluarga Teh Ainun, juga Keluarga Adi. Mereka menjadi seperti Keluarga meski tanpa adanya hubungan darah.***Suatu pagi, Bude Gita mendatangi mereka. Kebetulan Gita sudah kembali dari rumah Nita."Gita, kamu udah gajian belum? Bude pinjem 300 aja untuk berobat pakde kamu. Tadi pinjem mas Har, katanya belum adq
Tak lama dari anak kecil itu berlalu, datang dua orang anak gadis sebelum Laura sempat duduk kembali."Mbak Laura. Belanja.""Eh, iya. Nona nona cantik. Mau belanja apa ini. Duh, cantik cantik Banget sih? Anak siapa lho kalian ini?" Dua gadis itu tersipu dengan pujian Laura."Hehe.. cantikan mbak Laura lah. Mana cantik, putih, mulus. Baik banget lagi." Dua gadis itu tak kalah, memuji Laura."Cantikan kalian dong. Kalian aja yang belum sadar." Jawab Laura."Di Desa ini memang gadisnya pada cantik semua ya? Mbak Laura lho sampai heran.""Perasaan mbak Laura aja kali. Kami mah, dekil begini dibilang cantik."Tiga wanita beda usia itu pun tertawa bersama."Beli lotion pemutih dong mbak? Ada kan? Biar kita putih kayak mbak Laura." Ucap satu gadis."Ada. Banyak. Ini bisa, lebih cepat untuk memutihkan, tapi harga lumayan mahal. Kalau yang ini, bagus juga. Harganya agak murah tapi ya agak lama efeknya. Ayo pilih yang mana?" Laura menunjuk satu persatu jenis lotion dari balik etalase kaca."Eh
Usia pernikahannya sudah hampir 4 bulan. Padahal dia tidak memakai KB apapun, tetapi sampai sekarang dia belum juga ada tanda-tanda hamil atau ngidam.Laura mendengus, tapi tidak merasa khawatir tentang hal ini karena Rehan sendiri sama sekali tidak menuntutnya agar cepat hamil. Katanya anak itu rezeki, harus bisa menerima kapanpun Allah akan memberi. Ditambah Bu Marni yang selalu mengatakan, tak perlu buru-buru. Penting jangan ber-KB saja. Hamil kapanpun tak apa. Kecuali kalau sudah menikah selama bertahun-tahun tapi belum hamil juga, baru boleh khawatir. Baru boleh pergi ke dokter untuk cek kesuburan. Baru tak masalah ikut program hamil.Laura tersenyum, meski dalam hati dia tidak bisa memungkiri jika ingin sekali cepat bisa hamil. Kasihan suaminya, sudah sangat dewasa usianya. Seharusnya sudah memiliki anak dua atau tiga.Sekitar jam satu siang, Rehan terlihat sudah pulang. Sampai dirumah dia langsung mencari istrinya."Laura masih di toko. Bandel istrimu tuh, ibu suruh tutup aja
Setelah menyampaikan keluhannya pada seorang resepsionis, mereka dianjurkan untuk berkonsultasi langsung pada dokter spesialis kandungan.Rehan mengangguk begitu juga dengan Laura.Tak butuh waktu lama, mereka sudah dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan khusus dokter spesialis kandungan.Namun setelah mendapatkan pemeriksaan dari sang dokter, dokter itu justru memberi surat rujukan yang mengharuskan mereka untuk mendatangi Dokter Onkologi Ginekologi. (Onkologi ginekologi adalah bidang spesialisasi kedokteran yang berfokus pada kanker saluran genital wanita. Kanker ovarium, kanker rahim, kanker vag*na, kanker serviks, dan kanker vulva adalah jenis-jenis kanker yang ditangani oleh spesialis onkologi ginekologi.)Jantung Rehan sudah mulai berdebar kala itu. Perasaannya seketika tidak enak. Tetapi dia harus kuat dan Laura memang harus mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.Rangkaian pemeriksaan kemudian dijalani oleh Laura. Dari USG sampai Inspeksi Visual Asam Asetat ( IVA ), laluPap Sme
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany