Alexandra hanya terdiam dengan mengalihkan pandangan sembari mengangguk pelan. Anggukan kepalanya yang pelan membuat Hans tersenyum miring, tetapi ia menghargai kekhawatirannya itu.“Tenang saja, uang itu hasil dari pemilik yang mengutusku untuk bekerja.”Alexandra mengelus dada sambil memejamkan matanya sekilas.Hans melirik dia yang ternyata diluar perkiraannya. Dia tidak terlihat agresif malah terlihat penakut dan tidak ingin dekat dengannya.“Terima kasih, Pak Lee.”“Panggil nama saja, jangan Pak Lee,” protes Hans dengan tatapan yang fokus pada jalanan.“Ba-baik.”“Berapa usiamu?”“Kenapa kamu tanya usiaku?”“Jika pekerjaanmu tidak baik untukmu maka keluarlah dari sana dan cari pekerjaan yang jauh lebih baik.”“Bagaimana kamu tahu?”“Temanku yang bekerja sebagai pengawal keluarga Pak Cody yang mengatakan kepadaku.”“Ah, Ari.”“Bukalah usaha dengan uang itu.”“Iya, aku usahakan.”Beberapa menit berlalu, Hans tiba di depan sebuah gang rumah yang sangat sempit dan tampak padat pendud
Hans membuka kartu identitas Sandria dari handphone lalu memperhatikan nomor identitas yang tertera di website itu.“Nomor identitas itu bukanlah milik Sandria. Nomor identitas Sandria berakhir triple nol dua depan nomor empat pada baris keempat.”“Sungguh? Kamu punya data dia?”“Aku punya data dia karena ... aku pernah bekerja sebagai pelayanan di bagian loket di kereta api.”“Jika itu bukan punya dia artinya ada seseorang yang bisa mengendalikan ini. Dia juga merupakan seorang yang mungkin mahir dan memahami bahasa pemrograman sehingga bisa diganti kode bahasa pemrograman itu.”Hans membisu kembali dengan memutar otak untuk mencari tahu sosok yang bisa mengendalikan ini. Hitungan detik, sebuah nama muncul di kepalanya, nama Ryan yang menjadi sasaran utama di balik pengendalian website. Namun, praduga itu membuatnya sedikit menyingkirkan nama Ryan karena dia hanya bisa melacak IP.“Apakah kamu tidak bisa melacak seseorang yang mengendalikan website ini?” tanya Hans dengan intonasi p
Jam tangan yang berbahan stainless steel dengan lingkar emas di sekitar kaca sebagai hiasan tampak tak asing baginya. Ia pernah melihat jam tangan yang dikenakan oleh pria itu.“Aku tak ingat siapa yang memakai jam tangan itu.”Pria yang berdiri di depan rumah dengan mengenakan topi dan jaket yang memiliki satu brand ternama adalah Adnan. Pengawal ibunya tidak mengetahui sosok pria yang berdiri di depan rumahnya. Dia berdiri di sana untuk memastikan bahwa CEO perusahaan pangan terkenal, ternama dan terbesar di negeri ini sedang berada di luar negeri atau berada dalam negeri. Hans mematikan handphone lalu merebahkan badan dan mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya yang seharian tidak ada istirahat sama sekali.Beberapa jam berlalu, hari telah berganti. Tepat pukul enam pagi, Hans terbangun lalu bersiap untuk berangkat ke kantor. Ia hendak memasuki mobil sekitar pukul tujuh pagi untuk berangkat ke kantor, tiba-tiba nada dering panjang berbunyi keras dan berulang kali. Nama Pak Tono
“Dua hal yang masuk akal,” kata Komar sambil menjetikkan kedua jarinya.“Apakah Ibu Abigail memiliki musuh atau pernah memaki karyawan yang sangat keterlaluan sampai uang perusahaan digelapkan?”“Kita fokus ke pelaku sekarang,” kata Hans tegas sembari menatap kedua layar handphone berisi pesan teror.“Baik, Pak Lee.”“Aku heran sama Pak Lee,” ucap Komar.“Kenapa?” tanya Hans bingung.“Pak Lee merupakan karyawan baru, tetapi keahlian yang dimiliki bukan seperti karyawan baru, melainkan karyawan yang sudah memiliki pengalaman dua puluh tahun bekerja di bidang keuangan atau bisa dikatakan sebagai detektif.”“Ada-ada saja, Pak. Saya belum memiliki pengalaman apa pun dan masih belajar dari kalian semua.” Hans membalas dengan rendah sambil tersenyum.Salah satu rekan Hans mengagumi keahlian yang dimilikinya karena ia merupakan karyawan baru, tetapi seperti memiliki pengalaman kerja selama puluhan tahun. Kerja keras, analisis dan pemikiran yang jarang bisa dilakukan oleh orang lain, tetapi
“Manajer Keuangan!” teriak Naufal sambil menoleh ke arahnya dan mencengkeram kerah bajunya.Hans membisu dengan menatap yang tidak percaya bahwa Naufal memiliki trauma yang besar kepada Adnan. Dia sampai mengatakan berbahaya berulang kali.Jika seseorang yang dekat dengan orang lain dalam kurun waktu yang lama maka perkataannya bisa dipercaya bahwa dia sangat berbahaya. Bahkan, dia pernah bekerja sama dengan Adnan sampai dipercaya untuk mengelola keuangan dan laporan bahan baku masuk dan keluar sampai produksi.Hans melepas cengkeraman tangan Naufal yang erat secara perlahan sambil mendudukkannya kembali dan menggenggam tangannya.“Pak, jika Bapak takut dengannya maka ceritakanlah kepada saya maka saya akan membantu dan menjamin hidup Bapak dan keluarga aman dari mereka yang ingin berbuat jahat kepadanya.”“Sungguh?”Hans mengangguk pelan. “Iya, tapi Bapak harus bekerja sama dengan saya dan tim untuk menangkap pelaku. Bisa bekerja sama dengan saya?”Naufal mengangguk cepat sambil sam
Hans memposisikan tubuh Ryan dengan berdiri sembari mencengkeram kerah bajunya dan melayangkan kepalan tangan kepadanya. Sontak, Ryan menghindari pukulan di wajahnya dengan mengernyitkan dahi dan menggerakan sisi siku tangan kanannya.“Ampun.” Ryan merengek untuk menyerah dan tidak dipukul wajahnya.“Kenapa kamu menculik istri dari Pak Cody Ruth?” tanya Hans dengan intonasi penekanan sembari menguatkan cengkeram tangannya di kerah baju.Ryan sedikit mengerang karena kuku jemari Hans mengenai lehernya. “A-aku hanya mendapat perintah saja.” Ryan menjawab terbata-bata.“Siapa yang memerintahmu untuk menculik Ibu Abigail? Hah?” tanya Hans menekan dengan tangan yang masih berada di dekat wajahnya.“Ja-jangan memukulku. Aku mohon.” Ryan memohon sambil mengusap kedua tangan dan sedikit membungkukkan badan kepadanya. “Cepat katakan!”“Di-dia adalah ....”“Siapa? Jika kamu tidak mengatakan yang sebenarnya maka tamat riwayatmu!” Hans mengancam Ryan dengan menekan.“Di-dia adalah Misternot!” Ry
“Sayang, aku pulang.”“Jangan masuk. Aku masih ganti pakaian!”Hans tersenyum saat mendengar istrinya yang meminta untuk tidak masuk kamar terlebih dahulu dengan memperhatikan waktu yang melingkar di pergelangan tangannya.Hans terbiasa masuk kamar terlebih dahulu setelah pulang kerja yang seharian berada di jalan. Walaupun sang istri tidak menyukainya.“Duh!”Hans mendekatkan telinga ke pintu dengan mengernyitkan dahi saat mendengar keluhan suara pria seperti anggota tubuhnya terbentur benda di kamar.“Masih lama? Kamu baru selesai mandi?” tanya Hans sambil mengetuk pintu dan memandangi pintu kokoh berwarna cokelat tua.Wanita yang rambutnya diikat penuh berpakaian piyama berwarna ungu terlihat bentuk tubuhnya yang sempurna membuka pintu kamar dan berbalik meninggalkan pria berpakaian kusut dan aroma badan yang tidak pernah wangi saat pulang kerja.“Kenapa kamu lama sekali membuka pintunya?”“Aku lagi mandi tadi.”“Mandi? Kalau kamu mandi bukannya kamu pakai baju hand—”“Apa salahnya
Dasar Menantu Tidak Tahu Diri!“Kemampuanku hanya sebatas itu.”Hans memang membeli buah, barang dan makanan yang murah di pinggir jalan saat memenuhi keinginan dan kebutuhan Sandria. Ia hanya mampu membeli dengan harga yang murah.Pendapatan tiap bulan tidak sampai minimal pendapatan kota.Harga menjadi tolak ukur bagi wanita kaya, seperti Sandria.Usaha untuk membahagiakan dan menyenangkannya selama ini tidak ada artinya karena harga yang murah. Ia juga curiga kepadanya bahwa semua itu dibuang saat tidak ada dirinya.“Kalau kemampuanmu hanya sebatas itu dan keahlianmu hanya mengirim barang, lebih baik tidak perlu ikut campur urusanku karena kapasitas otakmu takkan mampu menganalisis. Jadi, berhentilah bertanya, seperti detektif, polisi dan jaksa!” hina Sandria sampai terlihat otot lehernya.Hans tertegun sambil mengepalkan tangannya dengan erat.“Baiklah.”“Kamu tidur di ruang tamu malam ini dan seterusnya!” sungut Sandria sambil mengusirnya dan menutup pintu kamar dengan keras.Hina