“Kalau iya, Kenapa?” tanya Nugraha, membuat Margareth dan Radit sekilas membelalakkan mata. Namun, beberapa detik kemudian Margareth dan Radit tertawa karena menganggap Nugraha sedang bercanda.“Haha, akkhir-akhir ini selera humor Kakek lagi meningkat,” ucap Radit sembari menahan tawa. “orang seperti Raja mah bisanya cuma jadi ob.”“Ob sih mendingan, lah sekarang dia malah keluyuran nggak jelas … oh atau suamimu lagi ngerampok ya? Lumayan, bisa beli kalung seharga 1,1 triliun lagi,” sindir Margareth.Mendengar itu, Nugraha kembali teringat dengan cerita Raja dan Ayyara kemarin. Dia masih penasaran, lebih ke arah curiga pada menantunya itu.Karena ingin memastikan, Nugraha berujung bertanya, “Apa maksudmu? Jangan ngawor kamu, Raja tidak mungkin ngerampok.” dia membela menantunya, sekaligus memancing Margareth untuk bercerita lebih.“Gini loh, Pa. Raja punya kalung seharga 1,1 triliun. Katanya sih dapat dari klien-nya karena kerjanya bagus,” jelas Margaret sembari sesekali menatap sini
Security itu terkesiap karena Urip justru menyambut ramah kedatangan seorang maling. Raja senang dengan sikap Urip, “Aku Ra …” dia tidak meneruskan ucapannya, karena tiba-tiba Urip menarik tangannya saat hendak dijabat. Bahkan sikap sopan yang barusan Urip tunjukkan, mendadak berganti dengan tatapan sinis, “Menantu keluarga Nugraha, 'kan? … Begitu nggak bergunanya kamu sampai-sampai mau maling di sini. Aku akan melaporkan kelakuanmu biar mereka tahu pekerjaan kamu di luar rumah.” Urip adalah teman Bahri, dan mengetahui banyak hal mengenai menantu keluarga Nugraha itu. Raja pikir Urip adalah orang baik, tetapi sikapnya sama saja dengan security itu yang menghina dan menuduhnya seorang maling. Security itu terkekeh mendengarnya, “Dia tadi memaksa saya untuk bertemu dengan Bapak,” ucapnya sembari menatap Raja dengan tatapan mengejek. “katanya sih mau beli satu rumah.” “Nggak tahu diri kamu! Tapi lumayan juga trik yang kamu pakai. Berapa lama kamu berlatih untuk menjadi seorang malin
Urip dan 3 security yang masih menahan sakit di bawah sana terkejut bukan main. Mulut mereka menganga. “Apa maksud, Bapak? Saya tahu betul Orang ini … dia hanyalah pria miskin. dia hanya numpang hidup di keluarga Nugraha.” Urip berusaha meyakinkan Jamal. Wajah Jamal justru semakin merah padam. Tanpa permisi, dia langsung menghadiahi pukulan keras ke wajah Urip. “Berani kamu menghina Pak Raja! Pak Raja bukanlah orang miskin, kamu harus tahu itu!” murka Urip. Di detik berikutnya dia mengatur napas untuk menghilang emosinya. Dia lalu menghampiri Raja dan membungkuk penuh hormat. “Apa Pak Raja baik-baik saja? Maaf saya datang terlambat. Maafkan kesalahan saya, kedatangan Bapak ke sini justru di sambut tidak baik oleh mereka.” Urip dan tiga security itu semakin dibuat terkejut mendapati Jamal memperlakukan Raja dengan begitu hormat. Bahkan kepanikan mulai tampak di raut wajah ketiga security itu, karena sepertinya mereka berurusan dengan orang yang salah. Sementara, Raja masih belum m
Raja mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapannya itu, tetapi wajah pria seumuran Banara itu masih tampak asing. Kalau dilihat-lihat lebih mendalam, pria itu bukan asli Nusantara.“Tidak. Siapa anda? Aku tidak mengingatnya.” akhirnya Raja bertanya kembali.“Wajar Pak Raja tidak mengingat saya. Kita terakhir kali bertemu saat Pak Raja masih berumur 10 tahun,” tanggap Jamal.Saat umur 10 tahun? Itu artinya Jamal juga berasal dari Negara Capitol.“Apakah anda mengenal Ayah saya?” tanya Raja memastikan.“Bukan hanya mengenal, saya dan Pak Banara adalah sahabat,” balas Jamal dengan senyuman lebar. “Kami masih saling berkomunikasi hingga saat ini. Tiga hari yang lalu Pak Banara memberi tahu saya kalau Pak Raja ada di Indonesia. Sungguh saya sangat senang bisa bertemu kembali dengan Pak Raja.”Setelah Jamal mengatakan itu, perlahan Senyumannya berubah menjadi kesedihan, “Saya turut prihatin dengan kesehatan Pak Banara yang semakin menurun … Pak Banara sangat menyesali perbuatannya di m
“Tapi kalau dilihat dari ekspresi wajah Bapak, sepertinya Bapak Takut. Benar, begitu?” Walau ucapannya begitu santai, pancingan Raja sudah cukup membuat Agung panas hati. “Baiklah kalau begitu, tantangan sepertinya dibatalkan.”Raja tahu ujung-ujungnya Agung pasti menerima tantangannya. Dia melakukan hal demikian karena ingin memberikan pelajaran pada mantan manajernya itu dan para pelayan kurang ajar yang suka menghina orang lain.“Berani juga nyalimu, Raja,” kata Agung tersenyum sinis. “Kamu nggak selevel denganku karena kamu ibaratnya seperti tumpukan sampah yang menjijikkan!”Raja kembali memanas-manasi Agung, “Itu artinya Bapak takut dengan tantanganku?”“Bajingan, kamu!” Agung menunjuk Raja dengan raut wajah tampak benar-benar murka.Namun, kemarahan Agung mendadak nerubah menjadi senyuman seringai. Dia baru sadar kalau Raja sedari tadi pasti berbicara melantur. Bukankah itu justru kabar bagus untuknya? Tantangan Raja sangatlah menarik, memiliki karyawan yang tidak perlu digaji
Agung yang mendengarnya tampak menahan amarahnya. “Maafkan ketidaknyamanan ini, saya akan mengusir pria itu,” ucapnya sopan.Agung tak akan membiarkan Raja mengacaukan suasana yang mungkin saja bisa membuat Anton meninggalkan kafe miliknya. Lantas dia menghampiri suami Ayyara itu dengan wajah penuh amarah.“Pergi dari sini!” bentak Agung sembari sebelah tangannya menunjuk ke arah pintu keluar. “Dasar nggak tahu malu! Attitude-mu nol besar!”Raja justru menanggapinya dengan santai, “Bapak mengusir saya? Itu artinya Bapak mengakui kekalahan Bapak dan siap menerima hukuman yang telah disepakati? Benar begitu, Pak?”“Kamu!” Agung tampak benar-benar murka. Namun, otak Agung langsung berpikir cepat. Kalau dia mengusir Raja, itu sama saja dia menerima kekalahan dalam tantangan ini. Tentu dia akan malu membiarkan pria rendahan itu menang darinya, juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjadikan Raja sebagai pelayannya seumur hidup tanpa digaji. Di sisi lain, Agung tidak ingin suami Ayya
“Bersiap-siaplah, Pak!” seru Raja dengan penuh penekanan. “” Jelas keringat dingin semakin bercucuran di kening Agung, sebab kalimat Raja yang penuh penekanan mengingatkan dirinya soal tantangan. Agung mencoba bersikap tidak panik. Dia menatap tajam pada Raja dan berkata, “Kamu pasti menipuku! Ngaku, sisanya pasti uang mainan, 'kan?!” “Baiklah, silahkan cek lagi sedetail mungkin. Kalau perlu panggil pelayan Bapak,” balas Raja dengan santai. Dia lalu menoleh pada Anton. “Bapak juga boleh membantu mengeceknya.” Anton bersikap netral, seolah-olah dia tidak mengenal Raja, “Baiklah, aku bersedia mengecek keaslian uangnya,” katanya sembari berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah meja makan Raja. Semua orang ikut mengecek, bahkan Agung mengacak lembaran demi lembaran uang dengan harapan dia menemukan lembaran palsu. Dengan sikap penuh berwibawa, Anton berkata, “Semuanya asli, tidak ada satu pun yang palsu.” dia tersenyum puas melihat wajah Agung yang tampak semakin gelisah.
Gertakan Raja berhasil membuat nyali Agung semakin menciut, apalagi dia sama sekali tidak terlihat sedang bercanda.Melihat Agung masih belum melaksanakan perintahnya, Raja mengambil sejumlah uang di kantong kresek hitam dan melemparkannya pada pria itu.“Aku tambah 500 ribu asal Bapak menampar wajah semua karyawan Bapak sampai merah lebam,” seru Raja dengan begitu serius.Justru Agung tampak bersemangat, dia pun menoleh dan memanggil semua karyawannya, “Cepat ke sini kalau kalian nggak mau dipecat!”Awalnya semua karyawan mengelengkan kepala pertanda menolak, tetapi mendengar kata pemecatan, mereka terpaksa mendekat dan harus merelakan wajahnya menjadi santapan sang Bos.PLAK! PLAK! PLAK!Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Agung mulai menampar karyawannya satu per satu hingga wajahnya merah lebam.Melihat Agung semakin membabi buta menampar semua pelayan itu, Raja menghentikannya, “Cukup!”Namun, Agung justru tak menghentikannya karena berharap dia mendapat uang tambahan lagi da