Walaupun tidak terlalu keras, Shinta sangat terkejut mendapatkan tamparan dari sahabatnya sendiri.“Ayya? Kenapa kamu menamparku? Apa salahku?” Shinta menatap lurus ke wajah Ayyara.Ayyara menggeleng singkat melihat Shinta belum menyadari kesalahannya“Pantaskah kamu menatap suami sahabatmu sendiri dengan tatapan seperti itu?” Ayyara menjawab dengan melemparkan sebuah sindiran. “pantaskah kamu mengajak suamiku untuk makan berduaan? Apa kamu tidak memikirkan perasaanku?”“Aneh, kamu. Berlebihan, aku cuma ingin mentraktir suamimu sebagai bentuk rasa terima kasihku. Itu aja, nggak lebih,” sangkal Shinta.“Oh, ya? Kalau memang itu tujuanmu, kenapa kamu tidak mengajakku juga? Bukankah itu lebih baik?” tanya Ayyara.Pertanyaan Ayyara membuat Shinta tampak gelisah, seolah-olah sedang berpikir mencari alasan yang tepat.“Apaan sih, kamu. Apa salahnya aku cuma ngajak suamimu? Lagian dulu kita sudah sering makan bersama,” jawab Shinta.Ayyara menggeleng tak percaya. Dia merasa Shinta bukanlah s
“Haruskah aku mempertegasnya lagi?” tanya Raja–dingin. Shinta malah menunjukkan senyum manisnya, walau sebenarnya dia mulai kesal. “Jangan berpikiran buruk tentangku. Aku cuma ingin membalas kebaikanmu. Hanya satu malam saja,” bujuk Shinta. “Tidak!” Raja menjawab dengan tegas. “Jika kamu ingin berterima kasih, bersikaplah seperti biasanya.” “Aku nggak berubah kok. Aku hanya merasa nggak tenang kalau aku belum memenuhi hajatku buat mentraktir kamu,” balas Shinta. Shinta sengaja mengulur waktu untuk lebih lama dekat-dekat dengan Raja, karena tujuan sebenarnya agar dilihat oleh sebagian karyawan yang ujung-ujungnya akan menjadi buah bibir di lingkungan perusahaan. Raja memalingkan wajah ke arah lain, menatap seorang security yang kebetulan lewat di tempat itu. “Pak,” panggil Raja, dan seketika security itu menghentikan langkahnya. Security itu menoleh ke arah Raja, “Bapak memanggil saya?” tanyanya memastikan. Raja mengangguk, “Benar, Pak. Kami butuh bantuan Bapak.” Security itu
Melihat Ayyara masih terdiam, Bambang semakin merasa berdosa. Namun, dia tidak punya pilihan lain. “Sebagai gantinya, aku janji akan membantu mencarikan perusahaan besar yang mau berkerja sama dengan Jaya Kosmetik,” ucap Bambang kemudian. Ayyara mengatur napas sambil memejamkan mata sejenak, mencoba bersikap profesional walaupun masih sulit menerima kabar buruk ini. “Segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya. Saya minta penjelasan dari Bapak, dengan begitu saya akan menerima keputusan Bapak,” kata Ayyara dengan wajah seriusnya. Masalahnya Bambang tidak bisa berterus terang. Semakin dia sering berhubungan dengan Ayyara, bayang-bayang kejadian 20 tahun silam langsung muncul di hadapannya. Apalagi saat Anton mengintrogasinya kemarin, dia terus kepikiran. “Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang, Bu Ayya. Saya menerima jika Bu Ayya ingin menuntut masalah ini melalui jalur hukum,” balas Bambang. Mendengar jawaban itu, alis Ayyara berkedut. Dia justru curiga Bambang terpaksa m
Ayyara senang melihat Bambang datang menemuinya lagi. Dia pikir pria itu sudah mau terbuka dengan masalah yang sedang dihadapi. “Ada apa, Pak?” tanya Ayyara basa-basi. Bambang melangkah mendekat, “Maaf, ponselku ketinggalan,” jawabnya sambil mengambil benda pipih itu di kursi. Bambang langsung berbalik pergi setelah berpamitan kepada pasangan suami istri itu. “Sepertinya Pak Bambang masih was-was,” ucap Ayyara lalu menoleh ke arah sang suami yang berdiri di sampingnya. “menurut Mas kira-kira siapa yang mengancam Pak Bambang?” Raja hanya mengedikkan bahu. Dia sebenarnya merasa kasihan kepada Ayyara yang masih salah persepsi. “Yang jelas orang itu memanfaatkan Pak Bambang untuk balas dendam sama kita,” kata Ayyara. “siapapun orangnya, kita harus membantu Pak Bambang.” “Ara tidak perlu memikirkan masalah ini. Serahkan semuanya padaku,” tanggap Raja sambil mengusap lembut rambut Ayyara. Ayyara menyunggingkan senyuman. Dia percaya Raja bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah. “
[Keputusanku sudah bulat. Saya ingin mengakhiri kerja sama dengan Jaya Kosmetik,] tulis Bambang. Raja yang melihat Ayyara tampak muram, lantas dia pun menyentuh pundak istrinya dan bertanya, “Ada apa, Ara?” Ayyara memberikan ponsel miliknya kepada Raja. “Kita harus segera menemukan siapa yang mengancam Pak Bambang, Mas. Aku yakin dia sedang tertekan dan nggak bisa melawan. Bukan karena Ara nggak ingin kontrak kerja sama ini batal, tapi Ara benar-benar ingin membantu Pak Bambang,” ucap Ayyara. Raja mengerti dengan niat tulus Ayyara, tetapi masalahnya istrinya itu masih belum menyadari bahwa perubahan sikap Bambang disebabkan masalah lain yang lebih rumit. Namun, Raja berujung mengangguk, “Aku janji akan menyelesaikan hari ini juga.” “Makasih ya, Mas,” ucap Ayyara sambil menerima ponsel dari Raja. “Mas, aku mau ganti baju dulu,” imbuhnya kemudian. Raja membalasnya dengan anggukan kecil, “Aku tunggu di sini. Aku mau menghubungi Anton untuk meminta bantuannya.” “Iya, Mas.” Ayyara m
“Jangan banyak alasan. Bukannya kamu tadi–” sindir Ema. “Maaf, saya tadi tidak fokus.” Shinta menyela cepat. “saya janji tidak mengulangi kesalahan yang sama.” Ayyara curiga, kentara jelas kalau Shinta berusaha menutupi sesuatu yang diketahui oleh Ema. Saat Ema hendak berbicara, lagi-lagi suara Shinta keluar terlebih dahulu, “Jika saya mengulangi kesalahan yang sama, saya siap menerima hukuman dari perusahaan.” Ayyara justru semakin curiga. Karena itu, dia pun bertanya kepada Ema, “Apa yang dilakukan Shinta?” “Tadi–” Baru satu kata terucap dari bibir Ema, lagi-lagi Shinta menyelanya. “Aku mengaku salah.” Shinta benar-benar tidak memberi kesempatan untuk Ema berbicara. Dia takut kalau wanita itu benar-benar melihat isi pesan di ponsel miliknya dan membocorkannya kepada Ayyara. “Coba kalau orang bicara jangan dipotong terus.” Ema mulai kesal. “tidak tahu sopan santun sama sekali.” Shinta menundukkan kepala dan menampilkan ekspresi bersalah, “Maaf, Bu. Saya janji kedepannya akan b
Nugraha mengusap kasar wajahnya. Dia memang masih membayar seseorang untuk mencari identitas Raja, tetapi saat ini bukan waktunya untuk memikirkan sang menantu, karena asalah warisan keluarga jauh lebih penting. Dia harus meyakinkan Ayyara untuk menerima warisan tersebut. Dengan begitu dia bisa sedikit menebus dosa-dosanya.***Saat jam istirahat kerja, Raja dan Ayyara memutuskan untuk pergi ke restoran Chinese. Namun, di sebuah lobi mereka berpapasan dengan Shinta.“Ayya? Raja?” sapa Shinta dengan senyum kecil. “Kalian mau ke mana?”“Aku dan Mas Raja mau makan di restoran Chinese,” jawab Ayyara.“Oh gitu. Boleh ikut nggak?” tanya Shinta.Ayyara tak langsung menjawab. Dia hanya ingin makan berdua dengan suaminya, tetapi juga tidak enak hati untuk menolak Shinta.“Boleh,” kata Ayyara akhirnya. Shinta menyengir lebar, “Ngggak, nggak, aku bercanda. Aku nggak mau jadi nyamuk, hehe.” Shinta berpura-pura menunjukkan sisi baiknya, berusaha membodohi Ayyara agar percaya kalau dirinya sudah
‘Jadi kamu yang bermain-main denganku?’ ucap Raja dalam batinnya.Raja melihat sebuah mobil hitam yang biasa dipakai anak buah Bagas sedang terparkir di pinggir jalan. ‘Baiklah, jika itu yang kamu mau!’Raja sebenarnya sangat murka karena insiden rem blong barusan hampir saja mencelakai Ayyara. Dalam benaknya, dia berjanji akan memberi pelajaran kepada Bagas atau siapapun yang telah berniat mencelakai istrinya.***Bagas dan seorang pria tengah berada di sebuah taman di rumah yang cukup luas.Di titik ini juga ada seorang pria bertato datang mendekat. Tentu saja Bagas yang sudah menanti kedatangan pria itu langsung mengulas senyuman seringai di bibir.“Bagaimana? Apakah televisi sudah menayangkan peristiwa kecelakan Ayyara dan suaminya?”“Maaf, Bos. Mereka saat ini bahkan sedang makan di rumah makan,” lapor pria bertato.“Apa?!” Bagas spontan berdiri dengan mata terbelalak sempurna. “Jangan bercanda kamu!”“Maaf, Bos. Tapi itulah kenyataannya.”“Apa?!” Bagas sekali lagi terkejut buk