[Saudara aku ada yang mau kenalan? Mau nggak?] chat Mbak Juwariah ke Lika. [Cewek apa cowok?] balas Lika. Kulihat jam balasan tak berselang lama. Cepat juga Lika membalasnya.[Cowok dong, namanya Tirta] balas Mbak Juwariah lagi, sama-sama cepat mereka balasnya. Mungkin memang lagi santai.[kok, nggak di balas? Mau nggak? Dia fans beratmu] Mbak Juwariah chat lagi. karena Lika agak lama membalasnya.[Ganteng nggak?] akhirnya Lika menanggapi. Aku tersenyum membaca chat dari Lika ini. Masih mikir juga dia masalah wajah.[Ganteng, Dong! Lebih ganteng dari Toni malah] jawab Mbak Ria. Astaga memang benar-benar promosiin Tirta.[Ok lah, hitung-hitung tambah teman] balas Lika. Di balas emotikon suka dan love dari Mbak Juwariah bheserta nomor kontak hape Tirta.Percakapan satu waktu berhenti sampai di sini. Seperti itulah awal mula Mbak Juwariah mengenalkan Tirta ke Lika. Memperkenalkan yang baik, tapi Lika bisa masuk ke perangkap yang sudah di persiapkan.Ku letakkan gawai ke meja. Menyudahi
“Kamu yakin kalau Lika beneran hamil?” tanya Mas Riko langsung ke arah itu. Aku beranjak dari duduk dan menuju ke dapur. Membuatkan Toni kopi.“Ragu,” hanya itu jawaban yang aku dengar dari mulut Toni. Aku masih terus membuatkan dia kopi. Tak membuat waktu lama, untuk membuatkan dia kopi.“Di bawa Lika periksa ke dokter kandungan, kamu yang pilih dokternya,” sahutku seraya menaruh segelas kopi di meja dekat Toni duduk.“Kalaupun beneran hamil, aku juga ragu itu anak siapa?” balas Toni. Menyandarkan badannya. Aku terdiam saling beradu pandang dengan Mas Riko.“Setidaknya kita cek dulu aja, beneran hamil atau tidak,” saran Mas Riko. Aku mengangguk.“Di saat seperti ini, aku tak mengharapkan kehamilan dia. Kalaupun itu benar-benar anakku, aku tak sanggup bersatu lagi dengan Lika. Karena dia sudah tidur dengan laki-laki lain,” balas Toni, seraya mengambil kopi, meniupnya pelan-pelan, lalu menyeruputnya.“Ini yang bikin nagih ke sini, kopi buatan Mbak Rasti memang lezat,” ucap Toni lagi, s
“Yang bener, Mbak?” tanya Toni sedikit berteriak saat mendengar aku menyampaikan tentang gosip Tirta. Aku beradu pandang dengan Mas Riko. Terasa susah menelan ludah sendiri.“Semoga cuma gosip ya, Ton,” jawabku ragu-ragu. Kasihan sekali, dia terlihat tak percaya mendengar ucapanku.“Aku masih belum percaya kalau Tirta itu ....” Toni menahan nafasnya sesaat dan menghembuskannya pelan. Mencoba mengotrol emosinya. Mengatur nafasnya yang naik turun tak terkendali.“Iya, Mas juga nggak percaya, kalau Tirta itu ternyata mantannya Lika,” ucap Mas Riko. Aku mengangguk, juga seakan tak percaya.“Selama ini Lika tertutup untuk masa lalu, karena baginya nggak penting,” ucap Toni.“Aku selama masih sama Juwariah juga nggak tahu kalau Tirta lagi dekat sama Lika. Aku aja kenal Lika karena udah nikah sama kamu, Ton,” sahut Mas Riko seakan mengingat kenangan masalalu bersama Mbak Juwaria.“Ehem, yang ingat mantan,” sindirku. Mas Riko terlihat nyengir seraya menggaruk kepalanya. Kulihat masih melipatk
“Kamu aja, Dek, yang nyampein,” Ucap Mas Riko mengarah padaku. Aku mengangguk.“Ada apa sih sebenarnya, percaya deh, aku nggak apa-apa, lagian kan Lika sudah aku talak, sudah bukan urusanku lagi,” ucap Toni seakan gemes-gemes geram melihat tingkah kami. Atau mungkin meyakinkan kami untuk tetap biasa saja menyampaikan hal buruk sekalipun.“Selain Mantannya Lika, ternyata Tirta itu juga buronan,” akhirnya terlontar juga ucapan itu. Kulihat Toni. Dia terdiam sejenak, menyandar pelan ke sofa. Kemudian beranjak lagi, mengambil segelas kopi yang aku buatkan tadi.“Kalau Lika beneran hamil, iya kalau anakmu? Kalau anak Tirta? Dan sekarang Tirta lagi buronan, belum pasti juga masalahnya apa. Tapi, cepat atau lambat pasti akan masuk sel dia, bagaimana nanti nasib Lika? Betapa malunya keluarga Pak Samsul,” ucapku meluapkan isi hati dan pikiran. Walau Lika selalu ngeselin, tapi mendengar gosip ini, jujur aku benar-benar kasihan dengan Lika. Meniinggalkan Toni, lelaki yang baik, demi lelaki buron
Kami masih saling beradu pandang. Toni masih memeluk mertuanya dengan tatapan mengarah pada kami bergantian. Aku anggukkan kepala saat Toni memandangku. Dia seakan mengerti maksudku. Di lepaskannya pelukan itu. Kulihat Bu Santi tangisnya sudah agak mereda.“Ada apa, Ma?” tanya Toni, setelah Bu Santi mengusap air matanya. Masih mengatur nafasnya yang memburu.“Toni, Mama tahu Lika keterlaluan, tapi maafkan Lika, rujuklah sama Lika, Mama mohon,” sahut Bu Santi mennyampaikan niatnya. Sudah ku duga, seorang ibu pasti akan melakukan apapun demi anaknya. Walau senakal-nakalnya si anak. Kulihat Toni, dia terdiam seraya memegang dagunya. Seakan bingung mau membalas ucapan mertuanya.“Ma, maafkan Toni juga,” dengan suara berat Toni membalas ucapan mertuanya. Bu Santi terdiam, air matanya jatuh lagi. “Maaf, apa Lika beneran hamil, Bu?” tanyaku memberanikan diri. Karena terasa nggak sopan, tapi penasaran. Bu Santi memandangku. Dengan tatapan layu.“Iya, Rasti,” balas Bu Santi seraya mengangguk
“Tapi masalhnya kami tidak yakin kalau itu anak Toni, Bu,” tandas Mas Riko mulai sedikit naik nada ngomongnya. Ku pegang tangan Mas Riko, agar tak semakin terpancing emosinya.“Toni, kamu yakinkan kalau anak yang Lika kandung itu anakmu?” tanya Ibu seraya memegang tangan Toni. Toni melihat ke arah saat tangan itu menyentuhnya. Kemudian memandang wajah perempuan paruh baya itu. “Sekali lagi maaf, Ma. Toni sendiri juga ragu, bahkan kehamilan Lika saja sampai detik ini, Toni juga masih ragu,” jawab Toni lembut berusaha masih menjaga sopan santunnya.“Apa maksudmum, Ton?” tanya Bu Santi seraya menyipikan matanya. Mungkin faham maksud Toni, tapi lebih untuk menguatkan.“Di saat seperti ini, baru dia ngomong hamil, jadi kami meragukan kehamilan Lika,” celetuk Mas Riko yang langsung jleb ke hati. Bu Santi reflek memandang Mas Riko. Tatapan mata, seakan tak terima.“Ibu ini sudah merendahkan harga diri datang ke sini, untuk meminta maaf pada kalian, tapi kalian malah ngomong seperti itu,” su
“Masuk dulu, Bu!!!” ucapku mempersilahkan mertua masuk. Hatiku benar-benar bedebar tak menentu, apa yang akan terjadi, jika dua ibu ini bersatu. Ah, semoga tak terjadi hal-hal yang tak di inginkan.Tanpa menjawab ibu masuk seraya duduk di sofa dekatku. Begitu juga dengan perempuan yang memakai masker itu. Kuperhatikan semua mata mengarah padanya. Dari sorotan mata, aku tak bisa mengenalinya. Siapa dia?“Bu Santi, dulu saya memang sangat mempercayai kata demi kata yang Lika sampaikan. Bahkan saya sampai di butakan, hingga masuk perangkapnya agar saya membenci Rasti. Tapi tidak untuk kali ini,” ucap Ibu memulai ucapannya. Kami semua terdiam, kulirik Bu Santi, raut wajahnya masih memerah.“Maafkan saya, tadi saya keceplosan, saya reflek saja ngomong seperti itu,” jawabnya gelagapan. Hatiku masih berdenyut, juga tak percaya kalau Bu Santi bisa ngomong seperti itu.“Masalah maaf itu gampang, Bu. Tapi saya tetap tidak rela kalau Toni rujuk dengan Lika,” tandas Ibu lantang. Bu Santi tertundu
“Sekali lagi maafkan Toni, Ma. Hati ini sudah tertutup rapat, semenjak memergoki Lika bersama lelaki lain di penginapan,” ucapan Toni semakin membuat Bu Santi melongo. Seakan tak ada harapan lagi, kalau cucunya akan terlahir tanpa ayah.“Ma, setelah lahiran kita test DNA, kalau postif anak Toni, Toni akan sepenuhnya tanggung jawab. Bahkan akan Toni tempuh untuk hak asuhnya,” ucap Toni lagi. “Tak perlu test DNA! Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, semoga kamu tak menyesal Toni memperlakukan anak saya seperti ini,” sungut Bu Santi dengan nada kekecewaan yang sangat mendalam.“Apa maksud Mama?” tanya Toni lagi seakan bingung dengan perkataan mertuanya.“Ingat Toni, kalau ini memang menjadi keputusanmu, sampai kapanpun kamu tak akan pernah ketemu dengan anak dalam kandungan Lika sekarang, tapi Mama tetap yakin kalau itu anakmu, jadi sampai kapanpun kamu tak akan bisa bertemu dengan anakmu,” tegas Bu Santi terdengar lantang. Kemarin waktu di rumah Mbak Juwariah, Bu Santi terlihat sangat
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu