"Kenapa diam? Benarkan apa yang aku katakan?" ucap Julie lagi sambil berkacak pinggang.
Hati Austin seperti sedang disayat ribuan silet tak kasat mata saat menerima hinaan dari mertuanya. Bahkan saat Julie menghinanya Kenny tidak perduli, dan dia dengan acuh masuk ke dalam rumah. Julie yang sudah puas menghina Austin langsung masuk bersama dengan suaminya. Austin merasa bingung, ia hanya duduk di teras rumah sambil memeluk tasnya. Austin merasa tidak diterima di rumah sehingga ia tidak berani melangkah masuk.Hampir satu jam Austin duduk dan berdiam diri di teras, hingga Kenny datang dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah.“Kenapa kau tidak masuk?” tanya Kenny, tangannya terlipat di dada sambil menatap wajah suami barunya.“Aku merasa kalian tidak menerimaku, aku takut melangkah masuk dan membuat ibumu marah. Aku juga tidak tahu harus meletakkan barangku di mana.”“Ayo ikut aku."Austin menerima ajakan Kenny dan mengikutinya dari belakang. Kali ini Kenny tidak berkomentar apapun saat Austin berjalan di belakangnya, tidak seperti saat di hotel tadi. Austin tidak mempermasalahkan itu semua, yang terpenting sekarang Austin memiliki tempat berteduh dan tempat beristirahat.Kenny membawa Austin ke kamarnya, langkah mereka tidak lepas dari pandangan Julie. Julie memandang rendah pria yang baru saja mendapat gelar menantu di keluarganya."Lihatlah pria itu, beruntung sekali dia bertemu dengan Mommy," ucap Julie pada suaminya."Biarkan saja, kenapa kau selalu memusingkan hal sepele seperti itu? Karena dia kau bisa mendapatkan harta orangtuamu," balas Adward.Austin mendengar itu semua, tapi ia tidak menggubrisnya. Perkataan yang diucapkan Ibu mertuanya benar, ia memang beruntung bisa bertemu dengan Nyonya Thomson saat itu. Sepanjang langkah ia tenggelam dalam pikirannya. 'Semoga keputusan ini bukan suatu kesalahan,' batinnya.“Ini kamar kita, kamu tahu sendiri kalau kita menikah atas dasar paksaan, bukan cinta, aku tidak mau tidur satu ranjang denganmu.”"Ya, aku mengerti."“Baiklah kalau begitu, kamu bisa tidur di sofa itu, jangan pernah berani menyentuh tubuhku," ucap Kenny memperingati suaminya.Austin tidak menjawab perkataan Kenny, dia hanya menganggukkan kepalanya saja tanda menyetujui apa yang diperintahkan oleh Kenny. Austin juga sadar diri jika ia tidak boleh lancang terhadap tubuh istrinya.“Lemarimu ada di sana, besok aku sediakan semua kebutuhanmu. Ingat, jangan keluar rumah dengan pakaian lusuh, aku tidak suka ada orang yang mencemooh.”“Baik, akan aku ikuti semua peraturan yang kau buat.”“Kalau kamu mau istirahat, istirahatlah dulu, aku mau ke ruang kerja, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.”Setelah mengatakan itu Kenny langsung keluar dari kamar mereka, Austin sudah merasa lelah, ia langsung merapikan barang bawaannya di lemari yang sudah disiapkan. Tanpa menunggu lama, Austin langsung merebahkan diri di sofa.Matanya memandang sekitar, melihat ke langit-langit yang terdapat lampu gantung kristal. Ia memikirkan bagaimana cara menjalani hidup di dunia yang baru saja ia masuki? Bayang-bayang kelam terlintas di kepalanya, jeritan-jeritan memilukan pada malam naas itu terputar dalam memorinya seperti kaset yang siap diputar ulang.Sesak di dada terasa, air mata tak terasa sudah membasahi pipi, Austin berusaha mengenyahkan semua pemikirannya itu. Ia berusaha menghilangkan itu semua dengan memejamkan matanya, berharap bisa meraih mimpi yang indah.Tapi sayang, beberapa kali Austin memejamkan mata tapi tetap tidak bisa juga. Pandangannya mengitari sekitar, berharap Kenny kembali ke kamar dan mengalihkan fokusnya. Austin mengerenyitkan dahinya, ia penasaran dengan Kenny yang belum kembali ke kamarnya, padahal ini sudah larut malam.Baru juga Austin keluar dari kamar, dia bertemu dengan Ibu mertuanya yang sudah memasang wajah masam.“Mau kemana kamu?! Pasti mau mencuri makanan malam-malam seperti ini?!” bentak Julie, Ibu mertua Austin.“Tidak Mom, aku hanya ingin mengambil air minum saja,” bohong Austin, padahal ia mau mencari keberadaan istrinya.“Mom! Mom! Aku tidak sudi dipanggil seperti itu olehmu! Kalau di rumah panggil aku Nyonya!”"I-iya Nyonya," balas Auztin kaku. Ibu mertuanya selalu menatapnya dengan tatapan permusuhan, Austin sudah biasa melihat tatapan permusuhan seperti itu dari para keluarganya dulu. Austin meneguk air liurnya saat bentakan demi bentakan terlontar dari bibir Julie. 'Kenapa sikapnya sangat berbeda sekali dengan Nyonya Thomson? Padahal Nyonya Thomson wanita yang sangat lembut,' batinnya. Melihat Austin terdiam membuat Julie merasa geram. "Kenapa memandangku seperti itu?! Pasti kamu sedang memakiku di dalam hatimu 'kan?!" bentak Jenifer lagi. Austin terkejut saat wajahnya dituding oleh Ibu mertuanya. Tanpa ia sadari, kakinya mengambil langkah mudur dan tidak sengaja menjatuhkan vas bunga yang ada di belakangnya. Pecahan vas bunga mengalihkan perhatian Julie, matanya membola saat vas bunga kesayangannya dipecahkan oleh menantu yang tak diharapkan. "Vas kesayanganku! Kamu! Kamu pria pembawa sial! Kamu lihat vas ini, vas ini adalah vas kesayanganku dan kamu tidak akan bisa menggantinya seu
'Oh tidak,' batin Austin, ia mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir istrinya. Austin berusaha mengenyahkan kemarahan yang saat ini melingkupi hati. Ia memejamkan mata, berusaha mengontrol kekuatannya. Tanpa ia inginkan, senyuman Kenny saat di kediaman Nyonya Thomson terlintas dalam ingatannya, sontak ia pun tersenyum saat mengingat itu. Api yang tadi keluar sudah diserap kembali oleh telapak tangannya. Saat Austin membuka matanya, ternyata Kenny sudah ada di hadapannya. 'Semoga dia tidak melihat api tadi,' harapnya dalam hati. "Sinar apa tadi?" tanya Kenny lagi karena tidak mendapat jawaban dari Austin. "Sinar apa?" balas Austin pura-pura tidak tahu sinar apa yang dilihat istrinya. "Aku melihat sinar merah seperti cahaya api, atau aku salah melihat?" tanya Kenny bingung. "Mungkin hanya perasaanmu saja, atau kamu sedang bermimpi," balas Austin sambil tersenyum. "Aku yakin, aku tidak bermimpi, atau memang benar aku bermimpi?" gumam Kenny sambil berjalan lagi ke ranjangnya,
"Mencuci pakaian," balas Austin singkat. "Bodoh! Bukan seperti ini jika mencuci, menantu sampah yang sia-sia, mencuci saja tidak bisa!" bentak Julie. Austin merasa tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Ibu mertuanya, ia merasa sudah benar mencuci pakaian tersebut. Tapi saat pandangannya melihat ke bawah, ia terkejut saat melihat begitu banyak busa yang keluar dari sela mesin cuci. "Berapa banyak detergent yang kau tuangkan? Kalau seperti ini rusak semua pakaianku! Dasar pria tidak berguna!" maki Julie. Austin terdiam, ia memang merasa salah dan tidak berguna. Berulang kali Austin memohon maaf pada Ibu mertuanya. Ia juga berulang kali membungkukkan tubuhnya di hadapan Julie. Julie memiliki hati yang keras, dan tidak bisa menerima permohonan maaf menantunya. Justru Julie memukul-mukul kepala Austin sambil terus memakinya. "Bodoh! Dasar bodoh! Pagiku kacau karena pria bodoh sepertimu," maki Julie sambil terus memukulinya dengan botol detergent. Kehebohan yang dibuat Julie tertang
"Apa yang terjadi Mom?" tanya Kenny. Aktivitasnya terusik karena teriakan Austin. Austin berjongkok dengan memeluk erat kedua kakinya, kepalanya pun ditundukkan. "Aku mohon matikan itu! Matikan itu!" teriak Austin histeris. Kenny bingung dengan ketakutan suaminya, ia menoleh pada ibunya, mananyakan maksud Austin dengan mengangkat dagu. "Tanya saja pada pria gila itu! Dia berteriak histeris setelah aku mematik api," balas Julie. Kenny paham dengan ketakutan suaminya, dia mematikan kompor, lalu pergi begitu saja meninggalkan Austin yang sedang dilingkupi rasa ketakutan. Julie memandang hina menantunya, ia menarik tangan Austin hingga kaki berdiri dengan kokoh. "Benar-benar menantu tidak berguna, hanya api kecil saja kamu takut," gumam Julie sambil memandang Austin. Austin masih terpaku di tempatnya, matanya melihat kompor yang sudah dimatikan oleh Kenny. Ia bernapas lega, meski hanya kecil, tapi api mampu mengingatkannya pada kejadian malam naas itu. Tentu saja Julie dan Kenny tida
"Bukan urusanmu!" balas Julie. Edward mengejar langakah istrinya, ia tidak tega melihat Austin diseret paksa layaknya hewan. Sedangkan Kenny, ia hanya melihat perbuatan sang Ibu tanpa ada niat ingin membantu. "Lepaskan! Semakin lama sikapmu semakin menjadi saja," ucap Edward. "Apa perdulimu? Jangan ikut campur urusanku, cukup tahu diri saja karena kau hidup dari belas kasihku. Kau dan dia sama-sama tidak berguna," balas Julie. Kenny menggelengkan kepala melihat sikap ibunya, sedangkan Edward mengepalkan tangannya, nampak jelas kemarahan dalam dirinya. Lagi-lagi Austin menggelengkan kepala pada Ayah mertuanya untuk mencegah keributan lebih dalam lagi. Tanpa menghiraukan suaminya, Julie menarik tangan Austin dan memasukkannya ke dalam mobil. "Kita mau ke mana Nyonya?" tanya Austin. "Jalan Pak!" ucap Julie pada supir yang ada di hadapannya tanpa menjawab pertanyaan Austin. "Kita mau ke mana Nyonya?" tanya sang supir sambil melihat dari kaca spion dalam. "Tidak usah banyak tanya
"Benar, dia Tuan muda Austin, cepat alihkan mobil Tuan Robet, jangan sampai dia melihat Tuan muda Austin! Jika ia melihatnya pasti kita juga terkena hukuman," ucap pengawal Robert yang dulu membantu Austin. Robert hanya mendapat kabar dari pengawalnya jika mereka sudah berhasil membuang Austin ke jurang. Dan Robert mempercayai itu semua. Pengawal itu mengemudikan mobil mendahului kendaraan pengawal yang ada di hadapannya. Begitu sampai di samping mobil Robert, mereka memelankan laju kendaraannya, berusaha menutupi pandangan Robert agar tidak melihat Austin. Jantung kedua pengawal itu berdetak tak menentu, mereka juga takut akan kemarahan Robert yang terkenal kejam pada bawahannya. Rupanya Austin meyadari pemilik kendaraan yang melintas, lalu menyembunyikan diri di balik batang pohon. Ia tidak mau tertangkap oleh pamannya dan berakhir meregang nyawa. Kali ini ia tidak ingin mati, ia ingin menjalani kehidupan barunya meski terasa berat. "Beruntung Tuan muda Austin bersembunyi," gumam
"Untuk apa dia di sini?" gumam pria itu lagi. Pria tua itu menghampiri Austin dengan langkah pendekknya, ia berjalan dengan bantuan tongkat tua yang selalu setia menemainya di hari tua. Matanya tidak lepas memandangi cucu menantunya. Ia heran, mengapa Austin bisa ada di desa terpencil seperti ini? "Austin, mengapa kau bisa berada di sini nak?" tanya Tuan Thomson. Austin terkejut melihat sosok tua yang ia kenal, Austin pun menghela napas lega karena dipertemukan dengan Tuan Thomson. "Tadinya aku sedang mencari pekerjaan, Kek. Tapi aku tersesat dan aku senang melihat mereka semua menjaring ikan itu," balas Austin berbohong. Tuan Thomson melihat pemandangan yang baru saja Austin sebutkan, ia juga merasa senang dengan apa yang ia lihat. Kebahagiaan terukir di wajah warga desa, tidak sedikit warga yang datang untuk menjaring ikan di danau itu. "Tuhan memberkati mereka dengan rezeki yang melimpah, tidak biasanya bongkahan es di kawasan ini bisa mencair dengan tiba-tiba," ucap Tuan Tho
"Maaf Tuan, di depan ada rombongan keluarga Jacob," balas supir. "Baiklah, tunggu saja, jangan membuat masalah dengan keluarga Jacob," ucap Tuan Thomson. Austin mengerenyitkan kening saat nama keluarganya disebut, jantungnya pun berdetak tak menentu. Pandangannya mencari rombongan yang dimaksud. Ia tahu jika pamannya memiliki sifat kejam, tapi ia tidak menyangka kekejaman itu bahkan sampai ke negara luar. "Kenapa kau seperti ketakutan?" tanya Tuan Thomson. "Tidak Kek, aku hanya takjub saja melihat rombongan di depan," balas Austin berbohong. Beruntung rombongan Jacob berada di depannya hingga tidak memungkinkan Robert melihat dirinya. Kelegaan kian terasa saat rombongan yang ada di hadapannya menghilang. Begitu juga dengan Tuan Thomson. Meski keluarga Thomson menduduki peringkat pertama di negaranya, mereka tak akan bisa menandingi keluarga Jacob. Robert terkenal dengan kekejamannya saat berbisnis, hingga siapa saja pasti akan tunduk pada perintahnya. Berbeda dengan sang kakek,