"Maaf Tuan, di depan ada rombongan keluarga Jacob," balas supir. "Baiklah, tunggu saja, jangan membuat masalah dengan keluarga Jacob," ucap Tuan Thomson. Austin mengerenyitkan kening saat nama keluarganya disebut, jantungnya pun berdetak tak menentu. Pandangannya mencari rombongan yang dimaksud. Ia tahu jika pamannya memiliki sifat kejam, tapi ia tidak menyangka kekejaman itu bahkan sampai ke negara luar. "Kenapa kau seperti ketakutan?" tanya Tuan Thomson. "Tidak Kek, aku hanya takjub saja melihat rombongan di depan," balas Austin berbohong. Beruntung rombongan Jacob berada di depannya hingga tidak memungkinkan Robert melihat dirinya. Kelegaan kian terasa saat rombongan yang ada di hadapannya menghilang. Begitu juga dengan Tuan Thomson. Meski keluarga Thomson menduduki peringkat pertama di negaranya, mereka tak akan bisa menandingi keluarga Jacob. Robert terkenal dengan kekejamannya saat berbisnis, hingga siapa saja pasti akan tunduk pada perintahnya. Berbeda dengan sang kakek,
"Pemuda siapa yang kau maksud?" "Wilson, putra Robert Jacob," balas Nyonya Thomson. Austin membeku di tempat saat mendengar nama sepupunya disebut, ia tidak menyangka Wilson berkunjung ke kediaman keluarga Thomson. 'Apakah Wilson sudah mengetahui keberadaanku?' batin Austin. Bukan hanya Austin yang membeku mendengar kabar kedatangan Wilson Jacob. Tuan Thomson juga sama terkejutnya saat mendengar nama keluarga yang sangat ia hindari berkunjung langsung ke kediamannya. "Apa yang ia katakan?" tanya Tuan Thomson. "Seperti biasa, mereka menginginkan Kenny," balas Nyonya Thomson. Tanpa Austin ketahui, selama ini Wilson sudah mengincar Kenny untuk dijadikan istrinya. Tapi Kenny terus menolak keinginan Wilson, beruntungnya, Wilson benar-benar mencintainya, hingga Wilson tak ada niat sedikit pun untuk menyakiti Kenny dan keluarganya. Austin terkejut saat mendegar perkataan Nyonya Thomson, ia memikirkan bagaimana cara menjauhkan diri dari keluarganya? Meski ia memiliki kekuatan untuk mel
"Tentu saja aku memperlakukannya dengan baik, bukankah begitu Austin?" Julie masuk ke dalam rumah, ia langsung menjawab pertanyaan Tuan Thomson sebelum Austin membuka suara. Ia takut Austin mengatakan apa yang ia perbuat pagi tadi. Julie tidak mau membuat orangtuanya marah dan menarik kembali harta yang sudah diberikan. "Benarkah begitu, Nak?" tanya Nyonya Thomson tak percaya pada perkataan putrinya, ia sangat paham bagaimana watak Julie selama ini. Julie duduk di samping Austin, ia menatap Austin dengan tatapan tajam, tapi tatapan itu tersamarkan dengan senyum yang ia berikan. Julie mendekati tubuh menantunya, lalu mencubit pinggang Austin untuk memperingatinya. "T-tentu Nek, Momy sangat baik dan perhatian padaku," balas Austin sambil menggeser tubuhnya menjauh dari Julie. "Bagus jika memang seperti itu, aku harap kau memperlakukan menantumu dengan baik, jangan sampai kau menyesali perbuatanmu nanti," ucap Nyonya Thomson memperingati putrinya, "Tentu saja Mom," balas Julie samb
"Buka saja," balas Tuan Thomson sambil tersnyum. Austin membuka kotak hitam kecil pemberian Tuan Thomson. Rasa penasaran Julie membuatnya memajukan wajah melihat isi kotak hitam itu. Seketika matanya membola saat melihat kunci mobil yang sangat ia ketahui. Tapi tidak dengan Austin, ia tak paham kunci apa yang ada di dalam kotak itu. "Kunci, kunci apa ini, Kek?" tanya Austin. "Ya itu kunci, ayo kita ke garasi. Kamu bisa lihat kunci apa itu," ajak Tuan Thomson. Mereka mengikuti langkah Tuan Thomson, tapi Julie tak tahan jalan berlama-lama dengan ayahnya hingga ia jalan terlebih dalu meninggalkan mereka di belakang. Julie sudah tak sabar melihat hadiah yang ada di garasi. Tuan dan Nyonya Thomson menggelengkan kepala melihat langkah Julie yang memburu. "Lihatlah anakmu, Austin yang mendapat hadiah, tapi dia yang sangat penasaran," ucap Nyonya Thomson pada suaminya. "Biarkan saja, bukankah sudah biasa melihatnya seperti itu?" "Benar juga, aku heran mengapa Julie memiliki sikap seper
"Bagaimana ini?" Austin panik. Kakinya sontak menginjak pedal rem karena kehadiran anak berusia lima tahun mengejutkannya. Mobil terhenti tepat di hadapan anak kecil itu, orangtuanya berlari lalu memeluk sang anak dengan perasaan cemas. Rasa khawatir membuat diri menghampiri anak dan Ibu yang ada di hadapannya. Austin berusaha meminta maaf, meski kesalahan tak sepenuhnya ia lakukan. "Maaf Nyonya," ucap Austin pada wanita di hadapannya. "Tidak Tuan, anakku yang salah berlari begitu saja. Aku yang berterima kasih karena Tuan bisa menghentikan laju mobil sebelum mengenai anakku," balas wanita itu. Austin memandang lekat gadis kecil di pelukan ibunya, terlihat ketakutan di wajah gadis itu. Gadis kecil dengan mata berwarna biru serta bibir merah. Austin memberikan senyuman pada gadis kecil itu. 'Gadis kecil yang cantik, semoga nanti Tuhan memberkatiku gadis mungil sepertinya.' batin Austin. "Apakah kau baik-baik saja Cantik?" tanya Austin sambil berjongkok di hadapan anak menggemask
"Aku mau bercerai, tapi sayang, Kenny pasti akan memarahiku." Bekali-kali Julie melayangkan permintaan cerai, tapi hanyaa kemarahan Kenyy dan juga kedua orangtuanya yang ia terima. "Kau pikir aku mau hidup bersama wanita penggila harta sepertimu? Jika bukan karena kebaikan Tuan Thomson pada keluargaku, aku juga tak mau hidup bersama dengan wanita sepertimu," balas Edward dengan segala kekesalannya. "Itu semua karena kau bodoh! Andai saja dulu kau terima tawaran Daddy untuk mengelola perusahaan, pasti aku bersikap lembut padamu. Dan sekarang aku bertambah kesal saat Kenny menikahi sampah sepertinya," ucap julie dengan menuding wajah Austin. Austin terdiam di tempat memandang pertengkaran mertua, ia tak kuasa melawan amarah Julie. Edward pergi dari hadapan Julie tanpa memperpanjang masalah. Hinaan dan bentakkan sudah biasa ia terima. "Untuk apa kau masih di sini?! Pergi kau, buatku muak saja," ucap Julie mengusir Austin. Austin pergi meninggalkan Julie dengan segala kekesalannya. I
"Apa yang kau lihat?" tanya Julie sambil melihat apa yang dilihat Austin. Julie menyunggingkan senyum hina pada Austin. "Cemburu melihat putriku tertawa seperti itu? Jangan bermimpi bisa mendapatkan tawa itu." Austin terdiam, wajahnya tertunduk. Ia merasa tak pantas memiliki rasa cemburu, pernikahan tak berdasarkan cinta, mana mungkin ia bisa mengharapkan tawa itu hadir untuknya. "Mau apa kau keluar di jam segini? Pasti kau mau mencuri di rumah ini, iya 'kan?" tuduh Julie. "Tidak Nyonya, aku hanya ingin mengambil air minum, tidak ada niat untuk mencuri," balas Austi cepat. "Bohong! Aku tahu kau tak memiliki uang, pasti kau berusaha mencari barang berharga di rumah ini lalu menjualnya," tuduh Julie lagi. Austin menggelengkan kepala mendengar tuduhan yang dilayangkan Julie terhadapnya. Tidak ada sedikit pun niat untuk mencuri di rumah istrinya. "Tidak Nyonya, sungguh. Meski tak memiliki uang, aku tak akan bersikap rendahan seperti itu. Aku akan mencari uang dengan kerja kerasku s
"Bukan Tuan, mungkin hanya mirip saja, aku permisi dulu Tuan, ada hal mendesak," balas Austin cepat. Ia berlari meninggalkan Wilson tanpa mendengar jawaban, langkahnya memburu tanpa menoleh ke belakang. Ia bergegas menuju motor bututnya lalu pergi meninggalkan gedung tadi. "Semoga ia tidak curiga," gumamnya. Ia terus melajukan motor dengan kecepatan penuh, ia terus menarik gas tanpa tahu arah jalan, menghilang jauh dari pandangan Wilson. Tiba-tiba motor hilang keseimbangan lalu terhenti begitu saja, Austin merasa bingung harus berbuat apa. Ia membuka tengki motor dan ternyata bensin sudah habis. "Bagaimana ini? Aku tak memiliki uang untuk mengisi bensin," gumamnya bingung, "Kenapa kau anak muda? Sepertinya sedang kesulitan," ucap pria paruh baya sambil menepuk pundaknya. Austin terkejut, ia menolehkan wajah melihat pria yang menepuk pundaknya. Pria paruh baya dengan pakaian lusuh, kotor terkena semen, bahkan wajahnya penuh dengan keringat. "Motorku habis bensin Tuan, dan aku t
"Semoga dia sudah tiada, aku ingin hidup dengan damai bersamamu dan juga putra kita," ucap Kenny penuh harap. Kenny membiarkan suaminya untuk beristirahat, sedangkan ia menunggu dengan tenang di dalam ruangan itu. Edward mulai membantu para pengawal untuk merapikan kota. Begitu juga dengan Tuan Arthur dan Peter. Meski kerusakan terlalu parah di Madripoor city, tapi mereka bisa mengendalikannya. Belum lagi kekayaan Nick yang sudah terendus oleh Tuan Arthur dan juga Peter. Keduanya mengambil alih semua perusahaan juga aset, lalu menjualnya atas persetujuan pemerintah setempat. Selama ini Nick dan juga putranya bersembunyi di perbatasan kota dengan penyamaran. Bahkan perusahaan besar atas nama Palmer bisa berdiri dengan megah tanpa terendus oleh Tuan Arthur dan pengawalnya. Keduanya menjadikan kekayaan Nick untuk memperbaiki kota, memberikan santunan pada para keluarga yang terluka juga berduka. Membangun kembali tata kota yang telah dihancurkan oleh Nick Perneco. "Pantas saja dia bi
"Tenanglah sayang, suamimu pasti akan selamat. Tuhan pasti akan membantunya," ucap Julie. Julie meraih tubuh anaknya dan menuntunnya ke bangku panjang di depan ruang tindakan. Kenny masih saja menangis dan terisak di dalam dekapan sang Ibu. Membuat Tuan Edward pun merasakan kesedihannya. Hingga tak berselang waktu lama Nyonya Aldrik keluar dengan tersenyum. Ia menghampiri Kenny dan memeluknya. "Tenanglah sayang, suamimu baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena energinya terkuras habis. Lebih baik kita bawa suamimu ke ruang rawat sekarang," ucap Nyonya Aldrik menenangkan Kenny. "Benarkah Nyonya?" tanya Kenny sambil menghapus air matanya. "Untuk apa aku berbohong, sekarang para perawat sedang bersiap untuk membawa suamimu ke ruang rawat. Mintalah para pengawalmu untuk mengambil pakaian ganti," balas Nyonya Aldrik yang membuat hati Kenny, Julie juga Tuan Edward merasa lega. "Syukurlah, tidak ada yang harus kita cemaskan. Aku sudah panik saat melihatnya mengeluarkan banyak darah. Ak
"Sudah saatnya kau menyusul putramu," ucap Austin. "Kau membunuh putraku?! Berengsek!" maki Nick dengan tatapan penuh amarah. "Mungkin sekarang dia sudah merengang nyawa karena kekejaman pasukanku," ucap Austin sambil menyeringai. "Berengsek! Kau yang harus mati lebih dulu!" Nick langsung berdiri, memusatkan perhatiannya pada Austin lalu mengeluarkan tembakan api yang sangat luar biasa. Austin yang sudah memokuskan kekuatan juga pikirannya melompat tinggi ke udara untuk menghindari serangan Nick. Tanpa menunggu lama Austin langsung menggerakkan tongkat naga di tangannya. Serangannya tepat sasaran, kekuatan yang ia keluarkan membuat Nick tak berkutik. Belenggu darah yang ia keluarkan sama deperti Palmer saat ia menangkapnya. "Berengsek! Kekuatan apa ini?" tanya Nick terkejut dan terus berusaha melepas belenggu benang darah yang melilit tubuhnya. "Bergeraklah terus dan kau akan menyusul kematian putramu," balas Austin terkekeh. "Tapi tenang saja, aku tak akan memberimu kematian y
"Bersiaga!" perintah Austin saat melihat rombongan Perneco mulai memasuki hutan. Tuan Edwar memberikan keamanan CCTV di dekat markasnya. Semua itu untuk berjaga jika ada penyusup datang, bahkan alarm pendeteksi pun telah ia pasang untuk memberikan peringatan pada pasaukannya untuk bersiap. "Terima kasih karena kau telah mengantar nyawamu sendiri ke sini," gumam Austin sambil melihat layar yang ada di hadapannya. Pria tampan nan gagah itu turun dan menunggu Nick di gerbang markas. Ia tak akan membiarkan Nick dan pasukannya memasuki markas, apalagi menghancurkannya. Niatnya hanya menggiring Nick ke padang gersang dan membunuhnya tanpa menumbulkan kekacauan lebih. "Dad, lebih baik siagakan pasukan di depan markas. Sisakan untuk berjaga di dalam. Aku akan memastikan untuk menggiring Nick ke padang gersang," pinta Austin. "Kau tenang saja, pasukanku akan menahan mereka di sini. Kau fokus saja dengan misimu, habisi pria berengsek itu agar tak menjadi racun di kehidupan Max nanti," bala
"Apa maksudmu?" tanya Palmer takut.Ia menatap ngeri pada Austin yang kini sudah ada di hadapannya. Austin menyeringai puas melihat ketakutan Palmer, ia menjulurkan tangannya hendak meraih wajah Palmer. Tapi pria itu lebih dulu meludahi wajah Austin, hingga tanpa sadar Austin mencekik dan membuat kekuatannya keluar begitu saja."Aaa!...." erangan kesakitan terdengar di pendengaran yang lain. Hingga Austin melepaskan tangannya, karena kekesalannya itu leher Palmer terbakar. Pria itu tak kuasa menahan rasa sakitnya, bahkan tangan tak sanggup bergerak untuk menyentuh area leher."Berengsek!" maki Palmer di tengah erangannya.Austin menatap Palmer dengan penuh kebencian, ia keluar dan membasuh wajahnya yang terkena air liur pria di dalam sana. "Siksa dia semau kalian! Bersenang-senanglah dengan tubuhnya," perintah Austin pada anak buah Tuan Edward. "Baik Tuan," balas mereka."Ingat, jangan berikan kematian yang mudah padanya. Buat dia memohon kehidupannya," ucap Austin lagi memperingati
"Cepat masuk! Jangan banyak bicara!" bentak penjaga penjara. Pria bertubuh kekar itu mendorong tubuh Plamer dengan senjata laras panjang di tangannya. Austin menyeringai saat tubuh Palmer dipenjarakan di penjara khusus. "Sejak kapan Daddy memiliki penjara khusus seperti itu?" tanya Austin melihat oenjara yang hampir sama seperti penjara buatan Robert dulu. "Sudah lama, biasanya penjara itu dipakai untuk penjahat kelas tinggi. Semua itu untuk menghalaunya mencapatkan signal dan meminta bantuan dari kerabatnya," balas Tuan Edward. "Apakah penjara itu juga tahan api?" tanya Austin lagi. "Sepertinya begitu, aku membuatnya khusus menggunakan besi tebal. Agar mereka tak bisa menghancurkannya. Bahkan lantainya pun terbuat dari besi yang sama agar mereka tak bisa mengelabui kami," balas Tuan Edward. "Kau sungguh luar biasa Dad," puji Austin."Ayo kita ke lantai atas. Lebih baik kita bersantai di sana sejenak sebelum kembali ke kota," ajak Tuan Edward. Austin dan Tuan Arthur menganggukk
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.