"Apa yang kau lihat?" tanya Julie sambil melihat apa yang dilihat Austin. Julie menyunggingkan senyum hina pada Austin. "Cemburu melihat putriku tertawa seperti itu? Jangan bermimpi bisa mendapatkan tawa itu." Austin terdiam, wajahnya tertunduk. Ia merasa tak pantas memiliki rasa cemburu, pernikahan tak berdasarkan cinta, mana mungkin ia bisa mengharapkan tawa itu hadir untuknya. "Mau apa kau keluar di jam segini? Pasti kau mau mencuri di rumah ini, iya 'kan?" tuduh Julie. "Tidak Nyonya, aku hanya ingin mengambil air minum, tidak ada niat untuk mencuri," balas Austi cepat. "Bohong! Aku tahu kau tak memiliki uang, pasti kau berusaha mencari barang berharga di rumah ini lalu menjualnya," tuduh Julie lagi. Austin menggelengkan kepala mendengar tuduhan yang dilayangkan Julie terhadapnya. Tidak ada sedikit pun niat untuk mencuri di rumah istrinya. "Tidak Nyonya, sungguh. Meski tak memiliki uang, aku tak akan bersikap rendahan seperti itu. Aku akan mencari uang dengan kerja kerasku s
"Bukan Tuan, mungkin hanya mirip saja, aku permisi dulu Tuan, ada hal mendesak," balas Austin cepat. Ia berlari meninggalkan Wilson tanpa mendengar jawaban, langkahnya memburu tanpa menoleh ke belakang. Ia bergegas menuju motor bututnya lalu pergi meninggalkan gedung tadi. "Semoga ia tidak curiga," gumamnya. Ia terus melajukan motor dengan kecepatan penuh, ia terus menarik gas tanpa tahu arah jalan, menghilang jauh dari pandangan Wilson. Tiba-tiba motor hilang keseimbangan lalu terhenti begitu saja, Austin merasa bingung harus berbuat apa. Ia membuka tengki motor dan ternyata bensin sudah habis. "Bagaimana ini? Aku tak memiliki uang untuk mengisi bensin," gumamnya bingung, "Kenapa kau anak muda? Sepertinya sedang kesulitan," ucap pria paruh baya sambil menepuk pundaknya. Austin terkejut, ia menolehkan wajah melihat pria yang menepuk pundaknya. Pria paruh baya dengan pakaian lusuh, kotor terkena semen, bahkan wajahnya penuh dengan keringat. "Motorku habis bensin Tuan, dan aku t
"Berhenti memukulnya." Austin mendorong pria yang memukuli Peter. Peter mendorong tubuh Austin saat para pekerja ingin memukulnya, hingga ia terkena hantam senjata yang ada di tangan mereka. Austin tak menyangka jika Peter akan memasang badan untuknya, sontak Austin mendorong tubuh mereka, hingga mereka terpental jauh ke belakang. 'Apa yang aku lakukan?' ucapnya dalam hati sambil memandang kedua tangannya. Kekuatannya membuat para pekerja terhempas ke belakang, dorongan angin keluar begitu saja. Austin menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuh, ia tak mau mereka menyadari kekuatannya dan menganggapnya monster. Peter tercengang, ia menatap Austin tak percaya. "M-mereka, a-apa yang kau lakukan?" tanya Peter. "Tidak, aku tak sengaja melakukannya, aku tak sengaja," balas Austin. Peter tersenyum, justru ia tertawa melihat kecemasan di wajah Austin. Austin terdiam, terpaku dalam pandangannya. Austin merasa bingung, mengapa Peter tertawa? "Kenapa kau tertawa?' tanya Austin heran.
"Tahu mendapatkan menantu seperti dia mending kau nikahkan saja Kenny dengan putraku," ucap salah satu Tamu. Austin terdiam, ia memandang lekat wajah para tamu yang baru pertama kali dilihat. Hinaan demi hinaan terlontar begitu saja, tapi ia mencoba bersikap biasa dengan penghinaan itu. "Dari mana saja kau? Pakaian kotor dan tampang lusuh, membuatku malu saja!" bentak Julie. "Aku habis bekerja," balas Austin. "Kau memang pantas mendapatkan pekerjaan rendahan seperti itu. Cepat masuk dan bersihkan rumah," perintah Julie di hadapan teman-temannya. Kumpulan sosialita tertawa mendengar hinaan itu, tak ada rasa kasihan dalam hati mereka. Austin tertunduk menahan malu dan sedih, kaki melangkah maju. Salah satu tamu memainkan kakinya dengan sengaja, menghalangi langkah Austin. Sontak Austin terjatuh dan menjadi bahan tawa bagi mereka. "Maaf... aku sengaja...." salah satu tamu meminta maaf dengan nada mengejek. Austin bangkit, melanjutkan langkah yang tertunda. Ia tak membalas perkataa
"Kenapa kau bodoh? Apakah kau tak bisa melihat dengan mata kepalamu jika pria ini sangat bodoh? Bahkan pria ini tak berpendidikan," ucap Julie sambil tertawa mengejek. "Bagaimana, apakah kau mau?" ucap wanita itu, mengabaikan ucapan Julie. "Ya, aku mau jika Nyonya mengizinkan," balas Austin cepat. Wanita itu tersenyum senang, tapi tidak dengan Julie. Julie memandang kesal pada teman dan menantunya. "Terserah kalian saja, aku hanya bisa tertawa saat melihat kehancuran perusahaanmu nanti," ucap Julie sambil mengibaskan tangan, lalu meninggalkan mereka. "Oh iya, perkenalkan, aku Lea," ucap Lea memperkenalkan diri. "Aku Austin Nyonya," balas Austin. "Jangan panggil Nyonya, mungkin kita hanya selisih beberapa tahun saja," ucap Lea lagi. Lea wanita muda berusia tiga puluh tahun, hanya selisih tiga tahun saja dari usia Austin. Suaminya menginggal karena kecelakaan, hingga ia bertanggung jawab penuh pada perusahaan yang ditinggalkan. "Baiklah Nona," balas Austin. "Bisa aku pinta nomor
"Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Kenny ternyata masuk ke dalam kamar tanpa sepengetahuan Austin. Ia memandang lekat penampilan suaminya, nampak rapi layaknya pengusaha muda. Kenny menggelengkan kepala melihat penampilan Austin. "Tidak, hanya saja pakaian itu tak pantas untuk pekerja buruh sepertimu," balas Kenny. "Aku tak bekerja di sana lagi, Nona Lea menawarkanku pekerjaan di perusahaannya," ucap Austin, matanya terus memandang wajah istrinya. "Benakah? Kerja sebagai apa? Perusahaannya sedang di ambang kehancuran, aku yakin, sebentar lagi juga ia tak bisa membayar upah para pekerja." "Entahlah, aku tak tahu ia memberiku pekerjaan apa, apapun itu akan aku terima." "Kau sangat bodoh." Kenny menggelengkan kepala lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Austin, ia bergegas mengambil motor lalu pergi menemui Jack untuk mengundurkan diri terlebih dahulu. Mau bagaimana pun, Jack dan Peter adalah pria baik yang mau menolongnya. Jasa Jack dan Peter akan selalu ia ingat.
"Maafkan aku Nyonya," balas Austin. Austin terkejut, ia langsung menegakkan tubuh, merasa gugup akan kemarahan Lea. Austin sadar jika yang ia lakukan itu adalah salah, ia sudah lancang karena tak meminta izin pada sang pemilik. Lea melihat kertas yang sudah dicoret oleh Austin, matanya membola manahan amarah. Tatapan tajam serta kekecewaan terlukis di wajahnya, bahkan Austin tak kuasa menatap wajah itu. "Keluar sekarang juga! Aku menyesal tak mendengarkan perkataan Julie!" Lea mengusir Austin tanpa hormat, bahkan kelembutan yang ia tampakkan tadi hilang tertelan amarah. Austin keluar dengan langkah pasti, ia tak membalas perkataan Lea. 'Harusnya kau berterima kasih padaku, aku menemukan banyak kecurangan dalam laporan itu. Kau wanita bodoh, mudah diperdaya bawahanmu,' batin Austin. Bibirnya tersenyum sinis, kedua tangan tersimpan di dalam saku celana. Austin keluar dengan wajah penuh wibawa hingga para karyawan terpesona dengan ketampanannya. Ia tak menyesali perbuatannya, justr
"Maaf, aku menolak." Lea terkejut saat mendengar penolakan Austin, ia tak menyangka Austin mampu menolak jabatan tinggi di perusahaannya. Seketika Lea merasa cemas, ia takut Austin tak mau membantu mengembangkan perusahaannya. "Kenapa kau menolak jabatan itu? Maafkan aku jika kau tersinggung atas sikap kasarku tadi." Lea memohon sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Lea sungguh menyesali perbuatan kasarnya tadi. Ia berpikir Austin masih menaruh kesal pada sikapnya tadi. Rasa cemas melingkupi hatinya, wajah penuh permohonan pun terlukis jelas di wajahnya. "Aku akan tetap membantumu, tapi aku tak menginginkan posisi itu. Kau saja yang memegang jabatan itu," balas Austin sambil menurunkan tangan Lea. Lea terheran menatap tak percaya pada pria di hadapannya. "Kenapa seperti itu? Bukankah jika kau memiliki jabatan tinggi Julie tak akan menghinamu lagi?" Austin menggeleng, ia tersenyum menatap wajah bingung Lea. "Aku hanya ingin menjadi orang biasa, kau bisa memberiku peke
"Semoga dia sudah tiada, aku ingin hidup dengan damai bersamamu dan juga putra kita," ucap Kenny penuh harap. Kenny membiarkan suaminya untuk beristirahat, sedangkan ia menunggu dengan tenang di dalam ruangan itu. Edward mulai membantu para pengawal untuk merapikan kota. Begitu juga dengan Tuan Arthur dan Peter. Meski kerusakan terlalu parah di Madripoor city, tapi mereka bisa mengendalikannya. Belum lagi kekayaan Nick yang sudah terendus oleh Tuan Arthur dan juga Peter. Keduanya mengambil alih semua perusahaan juga aset, lalu menjualnya atas persetujuan pemerintah setempat. Selama ini Nick dan juga putranya bersembunyi di perbatasan kota dengan penyamaran. Bahkan perusahaan besar atas nama Palmer bisa berdiri dengan megah tanpa terendus oleh Tuan Arthur dan pengawalnya. Keduanya menjadikan kekayaan Nick untuk memperbaiki kota, memberikan santunan pada para keluarga yang terluka juga berduka. Membangun kembali tata kota yang telah dihancurkan oleh Nick Perneco. "Pantas saja dia bi
"Tenanglah sayang, suamimu pasti akan selamat. Tuhan pasti akan membantunya," ucap Julie. Julie meraih tubuh anaknya dan menuntunnya ke bangku panjang di depan ruang tindakan. Kenny masih saja menangis dan terisak di dalam dekapan sang Ibu. Membuat Tuan Edward pun merasakan kesedihannya. Hingga tak berselang waktu lama Nyonya Aldrik keluar dengan tersenyum. Ia menghampiri Kenny dan memeluknya. "Tenanglah sayang, suamimu baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena energinya terkuras habis. Lebih baik kita bawa suamimu ke ruang rawat sekarang," ucap Nyonya Aldrik menenangkan Kenny. "Benarkah Nyonya?" tanya Kenny sambil menghapus air matanya. "Untuk apa aku berbohong, sekarang para perawat sedang bersiap untuk membawa suamimu ke ruang rawat. Mintalah para pengawalmu untuk mengambil pakaian ganti," balas Nyonya Aldrik yang membuat hati Kenny, Julie juga Tuan Edward merasa lega. "Syukurlah, tidak ada yang harus kita cemaskan. Aku sudah panik saat melihatnya mengeluarkan banyak darah. Ak
"Sudah saatnya kau menyusul putramu," ucap Austin. "Kau membunuh putraku?! Berengsek!" maki Nick dengan tatapan penuh amarah. "Mungkin sekarang dia sudah merengang nyawa karena kekejaman pasukanku," ucap Austin sambil menyeringai. "Berengsek! Kau yang harus mati lebih dulu!" Nick langsung berdiri, memusatkan perhatiannya pada Austin lalu mengeluarkan tembakan api yang sangat luar biasa. Austin yang sudah memokuskan kekuatan juga pikirannya melompat tinggi ke udara untuk menghindari serangan Nick. Tanpa menunggu lama Austin langsung menggerakkan tongkat naga di tangannya. Serangannya tepat sasaran, kekuatan yang ia keluarkan membuat Nick tak berkutik. Belenggu darah yang ia keluarkan sama deperti Palmer saat ia menangkapnya. "Berengsek! Kekuatan apa ini?" tanya Nick terkejut dan terus berusaha melepas belenggu benang darah yang melilit tubuhnya. "Bergeraklah terus dan kau akan menyusul kematian putramu," balas Austin terkekeh. "Tapi tenang saja, aku tak akan memberimu kematian y
"Bersiaga!" perintah Austin saat melihat rombongan Perneco mulai memasuki hutan. Tuan Edwar memberikan keamanan CCTV di dekat markasnya. Semua itu untuk berjaga jika ada penyusup datang, bahkan alarm pendeteksi pun telah ia pasang untuk memberikan peringatan pada pasaukannya untuk bersiap. "Terima kasih karena kau telah mengantar nyawamu sendiri ke sini," gumam Austin sambil melihat layar yang ada di hadapannya. Pria tampan nan gagah itu turun dan menunggu Nick di gerbang markas. Ia tak akan membiarkan Nick dan pasukannya memasuki markas, apalagi menghancurkannya. Niatnya hanya menggiring Nick ke padang gersang dan membunuhnya tanpa menumbulkan kekacauan lebih. "Dad, lebih baik siagakan pasukan di depan markas. Sisakan untuk berjaga di dalam. Aku akan memastikan untuk menggiring Nick ke padang gersang," pinta Austin. "Kau tenang saja, pasukanku akan menahan mereka di sini. Kau fokus saja dengan misimu, habisi pria berengsek itu agar tak menjadi racun di kehidupan Max nanti," bala
"Apa maksudmu?" tanya Palmer takut.Ia menatap ngeri pada Austin yang kini sudah ada di hadapannya. Austin menyeringai puas melihat ketakutan Palmer, ia menjulurkan tangannya hendak meraih wajah Palmer. Tapi pria itu lebih dulu meludahi wajah Austin, hingga tanpa sadar Austin mencekik dan membuat kekuatannya keluar begitu saja."Aaa!...." erangan kesakitan terdengar di pendengaran yang lain. Hingga Austin melepaskan tangannya, karena kekesalannya itu leher Palmer terbakar. Pria itu tak kuasa menahan rasa sakitnya, bahkan tangan tak sanggup bergerak untuk menyentuh area leher."Berengsek!" maki Palmer di tengah erangannya.Austin menatap Palmer dengan penuh kebencian, ia keluar dan membasuh wajahnya yang terkena air liur pria di dalam sana. "Siksa dia semau kalian! Bersenang-senanglah dengan tubuhnya," perintah Austin pada anak buah Tuan Edward. "Baik Tuan," balas mereka."Ingat, jangan berikan kematian yang mudah padanya. Buat dia memohon kehidupannya," ucap Austin lagi memperingati
"Cepat masuk! Jangan banyak bicara!" bentak penjaga penjara. Pria bertubuh kekar itu mendorong tubuh Plamer dengan senjata laras panjang di tangannya. Austin menyeringai saat tubuh Palmer dipenjarakan di penjara khusus. "Sejak kapan Daddy memiliki penjara khusus seperti itu?" tanya Austin melihat oenjara yang hampir sama seperti penjara buatan Robert dulu. "Sudah lama, biasanya penjara itu dipakai untuk penjahat kelas tinggi. Semua itu untuk menghalaunya mencapatkan signal dan meminta bantuan dari kerabatnya," balas Tuan Edward. "Apakah penjara itu juga tahan api?" tanya Austin lagi. "Sepertinya begitu, aku membuatnya khusus menggunakan besi tebal. Agar mereka tak bisa menghancurkannya. Bahkan lantainya pun terbuat dari besi yang sama agar mereka tak bisa mengelabui kami," balas Tuan Edward. "Kau sungguh luar biasa Dad," puji Austin."Ayo kita ke lantai atas. Lebih baik kita bersantai di sana sejenak sebelum kembali ke kota," ajak Tuan Edward. Austin dan Tuan Arthur menganggukk
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.