“Ini makanan sisa untukmu, cepat habiskan!”
Marcel melirik piring-piring yang berisi ceceran nasi yang tidak utuh, tulang-belulang ayam yang masih melekat dagingnya sedikit, dan juga sayur sop yang tinggal kuahnya saja.“Makan di lantai, seperti biasa.”Marcel menunduk dan menatap istrinya, Shirley.“Kamu tega suruh aku menghabiskan makanan sisa dari saudara-saudaramu?” tanya Marcel dengan nada protes, sementara wajahnya mengernyit enggan ke arah piring-piring itu.“Memangnya kenapa?” balas Shirley dengan alis terangkat sebelah. “Kemarin-kemarin juga begitu kan? Makan saja, daripada kamu mati—itu akan lebih merepotkan dibandingkan ayah ibu kamu yang lari tanpa tanggung jawab.”Marcel mengepalkan tangannya. Ingin sekali dia melawan, tapi tidak bisa. Karena orang tuanya yang gagal dalam penelitian, Marcel terjebak dalam ikatan pernikahan dengan Shirley harus menebus seluruh kerugian yang diderita keluarga Delvino dengan mengabdikan seluruh hidupnya.“Aku tidak mau makan hidangan sisa kakak-kakakmu,” kata Marcel datar, lebih baik dia mati kelaparan daripada mati keracunan karena menyantap makanan sisa itu lagi.“Ini masih enak, dan ini makanan baru!” hardik Shirley sambil membanting salah satu piring di atas meja, membuat bunyi gebrakan yang menyakitkan telinga.Juga sekaligus menggores harga diri Marcel sebagai seorang suami.“Sisa makanan baru maksud kamu?” tanya Marcel memperjelas. “Tetap saja aku tidak akan makan.”Shirley melotot dengan mata terarah kepada Marcel.“Sejak kapan kamu boleh bantah aku?” balas Shirley. “Kamu di sini itu untuk menebus kerugian yang sudah ditimbulkan kedua orang tua kamu! Kalau bukan karena mereka, ayah ibu aku tidak akan kehilangan banyak uang gara-gara penelitian bodoh kalian!”Marcel hanya bisa diam karena memang dia sudah dijadikan penebus kesalahan yang dilakukan orang tuanya. Dia ia dilarang melawan apa pun yang menjadi kehendak keluarga Delvino, termasuk anak-anak mereka yang kelakuannya tidak memiliki adab.“Kamu harus makan karena aku tidak mau kamu sakit,” tegas Shirley lagi. “Kalau kamu sakit apalagi mati, maka kami akan menderita kerugian lebih besar lagi.”Belum sempat Marcel menanggapi, beberapa orang laki-laki memasuki dapur dengan langkah-langkah cepat.“Apa ini?”“Kenapa meja makan masih berantakan?”Shirley menoleh ke arah keempat kakak laki-lakinya.“Oh, ternyata si bodoh itu belum makan juga dari tadi ....”“Tunggu dulu, Kak!” cegah Shirley ketika salah satu kakaknya, Ronnie, akan melempar Marcel dengan segayung kuah sop yang penuh lemak. “Aku sedang berusaha membujuknya!”Marcel berdiri membeku ketika Ronnie dan adik-adiknya yang lain maju mendekati titik di mana dirinya berada bersama Shirley.“Makan ini!” perintah Ronnie tegas tanpa bisa dibantah.“Aku tidak mau,” geleng Marcel lirih.“Berani kamu menolak?” tanya Ronnie dengan seringai bengis. “Kami tidak mau kalau kamu sampai sakit! Jadi cepat makan, setelah itu kerja!”Marcel tetap berdiri bergeming.“Kamu itu sudah miskin, ditinggal orang tua, masih bisa-bisanya sombong dan tidak tahu diri!” sembur kakak Shirley yang lain, Ciko. “Ingat kalau kamu harus membayar semua kerugian yang ditimbulkan ayah ibu kamu!”Marcel merasakan telinganya memanas, tapi dia tidak memiliki daya untuk melawan sikap semena-mena saudara iparnya.“Sudah, pegangi saja dia!” suruh Ronnie sambil menoleh ke arah adik-adiknya.“Kak, jangan dikeroyok!” cegah Shirley dengan wajah tegang.“Kamu ngapain bela suami kamu ini? Mulai jatuh hati sama dia, ya?” ejek Ciko yang lebih dulu maju untuk membelenggu Marcel.“Mau apa kalian?” tanya Marcel saat keempat kakak laki-laki Shirley mendekat padanya.“Kan sudah aku bilang tadi, kamu makan saja!” sergah Shirley. Bukan dia mengkhawatirkan kondisi suaminya kalau sampai dikeroyok, tapi lebih kepada risiko yang akan didapatkan mereka semua kalau Marcel sampai kenapa-napa.“Kalian keterlaluan ...!” Marcel belum selesai berucap, tapi Ronnie sudah keburu menempeleng kepalanya dengan keras. “Ciko, ambil sisa nasi di piring itu! Yang lain pegangi dia!” perintah Ronnie.Suasana di dapur milik keluarga Delvino seketika berubah riuh, apalagi ketika Marcel yang berontak dan sukses diredam oleh cengkeraman kakak-kakak iparnya.Ronnie yang merupakan anak tertua segera menyodorkan sesendok nasi ke dekat bibir Marcel yang terkatup rapat.“Makan!” gertak Ronnie dengan nada perintah yang mengintimidasi.“Aku tidak mau, aku tidak lapar!” sahut Marcel menolak.“Ini makanan banyak yang sisa lho, kamu jangan menyia-nyiakan rejeki!” cemooh Ciko sambil mencengkeram rahang Marvel dan memaksanya untuk membuka mulut.“Kak, hentikan itu!” cegah Shirley berulang-ulang. “Aku masih bisa memaksanya dengan caraku sendiri seperti biasanya! Kalau dia lapar, dia pasti akan makan mau tidak mau!”“Ck, berisi kamu!” Ronnie berdecak kepada adik bungsunya. “Kasih dia duduk di kursi.”Ciko dan dua orang lainnya segera menyeret Marcel dan mendudukkannya dengan paksa di salah satu kursi yang ada.Ronnie langsung membanting piring hingga beberapa nasinya terpercik ke permukaan meja. Kali ini tanpa menggunakan sendok, dia berniat memaksa Marvel untuk memakan habis semua sisa hidangan yang tadi disantap keluarganya.“Makan!” Ronnie dengan tega meraup sekepal nasi menggunakan tangannya dan menjejalkan nasi itu ke mulut Marcel yang dipaksa untuk terbuka.“Telan!” suruh Ciko sambil mencengkeram rahang Marcel semakin erat.“Kak, sudah! Nanti dia bisa mati tersedak!” cicit Shirley yang tidak sampai hati melihat suaminya dikerjai kakak-kakaknya sedemikian rupa.“Jangan ikut campur kamu!” gertak Ronnie. “Dia harus dikasih makan, biar ada tenaga untuk kerja!”“Tapi ... ayah sama ibu juga tidak akan setuju dengan perbuatan kalian!” seru Shirley gusar.Marcel harus susah payah menahan napas sementara rongga dadanya mulai terasa sesak.Kalaupun harus mati, dia rela mati sekarang daripada harus menebus utang-utang yang ditinggalkan orang tuanya dengan cara seperti ini.Setelah memastikan Marcel tak berdaya, Ronnie menyodorkan tulang belulang ayam yang masih menempel sedikit dagingnya dan meraupkannya ke mulut adik ipar.“Kak, sudah!” seru Shirley sambil mengentakkan kakinya, sementara Ronnie dan yang lain tertawa menyaksikan Marcel kesulitan menelan semua makanan sisa itu.Di tengah kekacauan itu, Shirley hanya bisa berdiri pasrah karena tidak mampu menghentikan kegilaan kakak-kakaknya.Setelah puas menyiksa Marcel, Ronnie segera meminta adik-adiknya yang lain untuk meninggalkan dapur.“Lain kali suruh suami kamu jangan bertingkah lagi,” kata Ronnie dengan wajah puas.“Minta dia untuk tahu diri sedikit, makan tidur masih numpang saja banyak gaya!” Ciko menimpali.Shirley memajukan bibirnya tapi tidak berkata apa-apa ketika satu per satu kakaknya pergi meninggalkan dapur.“Apa aku bilang?” cecar Shirley ketika Marcel merangkak terbungkuk-bungkuk sambil menahan perasaan ingin muntah. “Makanya kalau disuruh makan itu makan, bandel amat kalau dikasih tahu!”Tanpa belas kasihan dan rasa hormat sedikitpun terhadap suaminya, Shirley memercikkan sisa air teh ke punggung Marcel. Setelah itu dia pergi meninggalkan dapur yang kondisinya sudah tidak keruan.Marcel merasakan perutnya bergolak, piring-piring yang berserakan di atas meja menjadi saksi bisu saat dia muntah di tempat sampah yang terbuka.Bersambung—Marcel mengusap bibirnya dengan air yang mengalir dari wastafel dapur. Bukannya kenyang, yang ada dia malah mual. Tadi itu memang bukan pertama kalinya Marcel dipaksa untuk menghabiskan makanan sisa keluarga istrinya, tapi tetap saja lama-kelamaan dia muak dengan semua ini. Kalau bukan karena beban yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang memilih pergi tanpa tanggung jawab, dia tidak akan sudi menjalani hidup seperti sekarang. “Saya bantu, Pak?” Suara seorang perempuan terdengar lirih mencapai telinga Marcel dan membuatnya menoleh. Kepala pelayan yang bernama Nana langsung menyuruh beberapa orang untuk menyingkirkan piring-piring kotor dari atas meja dan menaruhnya ke dalam gak cucian. Satu lagi diimbau untuk membuang sisa nasi dan tulang yang berceceran di lantai. “Tidak usah, Bi. Nanti kalian bisa kena hukum ...” sahut Marcel tidak kalah lirih karena lemas. “Sebagian anggota keluarga sudah kembali ke kamarnya masing-masing, sebagian lagi pergi menggunakan mobil.” Anak dari Nan
Marcel mendengar cerita lengkapnya dari Eli. Ternyata pagi itu Marcel ditemukan dalam keadaan pingsan oleh penjaga rumah, dan langsung dibawa ke rumah sakit karena tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan dalam nadinya. “Semua orang sudah berpikir yang tidak-tidak,” ucap Eli dengan wajah tegang, seakan kejadian itu baru saja terjadi kemarin hari. “Pak Marcel sama sekali tidak bergerak, pucat, dengan mata terpejam rapat ....” Marcel bergidik, kenapa ceritanya terlihat lebih mengerikan dari kacamata orang lain? “Tapi syukurlah Pak Marcel bisa sembuh dengan sangat cepat,” sambung Eli dengan wajah luar biasa lega. “Bahkan bisa beraktivitas seperti biasanya.” Marcel yang baru saja membantu tukang kebun membabat alang-alang, mengangguk samar sambil beristirahat sejenak. Eli menuang dua cangkir teh hangat untuknya dan tukang kebun yang masih bekerja. “Pak Marcel masih kuat?” tanya Mail, tukang kebun yang bekerja sedari pagi dengan Marcel. “Masih, Pak!” angguk Marcel sambil tersenyum. “Ja
Marcel menyusuri halaman rumah di tengah dinginnya udara malam. Dia membuka pintu gudang dan menuruni tangga untuk masuk ke dalam lab.Lampu remang-remang menyala ketika Marcel masuk, udara pengap menusuk hidung dan membuatnya menahan perasaan bersin.Marcel tidak heran udara di dalam lab tidak begitu bagus karena memang tidak ada seorangpun yang membersihkannya sejak ditinggalkan cukup lama.Yang pertama kali Marcel lakukan adalah membereskan lab, karena banyak sekali meja dan peralatan yang terbengkalai, bahkan sebagian tabung-tabung dari berbagai ukuran ada yang rusak karena lama tidak dipergunakan kembali.“Aku tidak yakin apa aku bisa,” dengus Marcel sambil menghela napas berat, dia mengedarkan pandangannya dan mentalnya semakin jatuh saat mendapati kebuntuan yang menyerangnya di segala penjuru.Dengan siapa dia akan membangun kembali lab ini? Sedangkan dirinya adalah lulusan bisnis yang tidak ada hubungannya dengan sains.Marcel termenung cukup lama setelah membuang tabung
Marcel mengerutkan keningnya ketika melihat Venya membimbing Meru ke arah lemari kaca yang berisi tabung-tabung kecil. “Apa yang pernah ayah lakukan di sini?” tanya Venya dengan nada lembut sambil memandang Meru. “Ayah tahu tabung-tabung itu buat apa saja?” Marcel terdiam sambil ikut mengamati gerak-gerik Meru yang mendadak diam dan tidak seaktif tadi. “Aku ... putriku dulu menemaniku!” cetus Meru sambil mengangguk-angguk. “Ini aku putri Ayah,” ujar Venya sabar dan penuh belas kasih. “Dulu kita bersama-sama melakukan penelitian di sini, ada Pak Fabi juga ....” “Tidak! Putriku masih kecil, dia belum mengerti apa-apa!” bantah Meru. Marcel terus mengamati interaksi yang terjalin antara Venya dan Meru, biar bagaimanapun mereka berdua adalah harapan satu-satunya untuk melepaskan diri dari situasi yang membelitnya saat ini. “Ayahku jadi seperti ini sejak Pak Fabi dan Bu Lana pergi,” tutur Venya lambat-lambat. “Mungkin dengan kita melanjutkan kembali penelitian ini, siapa tahu Ayah aku
Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya. “Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan
Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi. Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul. “Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?” “Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....” Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa. “Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu. “Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan. “Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?” Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat sete
Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”Ciko mendengus.“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”Ma
Alvon melirik salah satu kakaknya itu.“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja. “Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris