Marcel menyusuri halaman rumah di tengah dinginnya udara malam. Dia membuka pintu gudang dan menuruni tangga untuk masuk ke dalam lab.
Lampu remang-remang menyala ketika Marcel masuk, udara pengap menusuk hidung dan membuatnya menahan perasaan bersin.Marcel tidak heran udara di dalam lab tidak begitu bagus karena memang tidak ada seorangpun yang membersihkannya sejak ditinggalkan cukup lama.Yang pertama kali Marcel lakukan adalah membereskan lab, karena banyak sekali meja dan peralatan yang terbengkalai, bahkan sebagian tabung-tabung dari berbagai ukuran ada yang rusak karena lama tidak dipergunakan kembali.“Aku tidak yakin apa aku bisa,” dengus Marcel sambil menghela napas berat, dia mengedarkan pandangannya dan mentalnya semakin jatuh saat mendapati kebuntuan yang menyerangnya di segala penjuru.Dengan siapa dia akan membangun kembali lab ini? Sedangkan dirinya adalah lulusan bisnis yang tidak ada hubungannya dengan sains.Marcel termenung cukup lama setelah membuang tabung-tabung yang rusak. Malam itu terasa begitu sunyi, sehingga suara sekecil apa pun akan terdengar oleh telinganya.Ketika itu indera pendengaran Marcel menangkap suara kertas diremas-remas.“Siapa itu?” seru Marcel sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Namun, tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara seperti kertas yang dirobek-robek binatang pengerat.“Siapa di sana?” tanya Marcel sambil berjalan dan menyalakan lampu di beberapa sudut ruangan lab hingga terang benderang.“... wow, itu siapa ...!”“Shhh, jangan berisik, Ayah!”Marcel menajamkan pendengarannya setelah mendengar ada suara orang lain di dalam lab.“... ramuan belum selesai ....”“Ayah, jangan bicara dulu ...!”“Formula itu, kamu tidak mengerti, putriku!”Marcel melirik ke sana kemari untuk mencari arah sumber suara yang tepat. Dia yakin ada penyusup yang nekat masuk ke dalam lab warisan orang tuanya tanpa izin.Sehari-harinya, lab itu memang hanya ditutup biasa dan tidak ada sistem pengamanan sejak berhenti beroperasi.“Siapa di sana?” seru Marcel sambil membuka satu per satu ruangan bersekat yang ada di depannya, bahkan lemari-lemari yang entah apa isinya itu tidak luput dari penyelidikan nya.“... aku harus mencoba lagi ....”“Ayah, kembali!”Marcel terjengkang ketika tiba-tiba ada yang muncul dari salah satu ruang bertirai dan menabraknya dengan keras.“Ayah!”Marcel mendongak dan melihat seorang wanita muda berambut pendek sebahu dan wajah tirus memandangnya kaget.“Siapa kalian?” tanya Marcel sambil berdiri. “Apa yang kalian lakukan di lab ini?”Wanita itu menunjukkan gestur minta maaf sambil membantu pria berlabel ayah itu kembali ke sisinya.“Aku tanya kalian siapa, ucap Marcel mengulang pertanyaannya.“Namaku ... Ve—Venya,” jawab wanita itu terbata. “Dan ini adalah ayahku, maaf—kami terpaksa menyelinap ke sini karena rumah kami diterbangkan angin.”“Apa?” cetus Marcel dengan kening berkerut. “Memangnya rumah kalian terbuat dari apa, bisa-bisanya terbang ditiup angin?”Marcel ingat betul bahwa cuaca malam ini tidak terlalu berangin, hanya sekedar hawa dingin yang terkadang menusuk hingga ke tulang.“Rumah kami dari anyaman bambu, kamu tidak akan mengerti apalagi membayangkannya.” Venya menjelaskan.“Baiklah, jadi kamu dan ayah kamu menumpang di sini? Sejak kapan?” tanya Marcel karena dia baru bertemu dengan venya dan ayahnya malam itu untuk pertama kali.“Kadang-kadang kalau rumah kami porak poranda,” jawab Venya jujur. “Setahu aku, gudang ini seperti tidak terurus dan tidak digunakan lagi. Karena itulah aku masuk ke sini untuk melindungi diri ... Kebetulan juga ayahku tidak mau ke tempat lain kecuali di sini.”Marcel mendengar penjelasan Venya tanpa ingin mengajukan pertanyaan lagi Karena wanita itu ternyata cukup banyak bicara.“Sekarang kamu sudah tahu kan kalau lab ini ada pemiliknya?” tanya Marcel lambat-lambat.“Iya, kami minta maaf.” Venya mengangguk.Marcel menghela napas, dia terlambat menyadari bahwa Venya adalah salah satu warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.“Aku harus membuat ramuan lagi ....”“Tidak lagi, Ayah!” Venya menggeleng sambil menatap pria di sampingnya.“Sebentar!” cetus Marcel beberapa detik kemudian. “Tadi kamu bilang kalau namamu adalah Venya kan?”“Betul, Pak.” Venya mengangguk heran. “Memangnya ada apa?”Pandangan Marcel tertumbuk kepada pria yang masih meracau soal percobaan.“Apakah ayahmu bernama Meru?” tanya Marcel memastikan.Venya mengangguk dan berkata, “Ini ayahku, Profesor Meru. Tapi sayangnya dia sudah tidak—bukan profesor lagi.”Marcel termenung, dia teringat dengan surat yang ditulis orang tuanya tentang ilmuwan itu. Juga ucapan Herman yang mengatakan kalau ilmuwan yang pernah bekerja dengan orang tua Marcel sudah menjadi gila.“Kalau begitu perkenalkan, namaku Marcel. Aku adalah anak dari Lana dan Fabi, mereka yang pernah bekerja sama dengan ayah kamu.” Marcel menjelaskan. “Ikut aku sebentar, aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian!”Venya segera menarik lengan ayahnya untuk mengikuti Marcel.“Aku baru saja menemukan surat dari orang tuaku,” kata Marcel seraya menunjukkan berkas yang berdebu.“Jadi kamu betul-betul anak Bu Lana dan Pak Fabi?” tanya Venya memastikan.“Tentu saja, silakan kamu baca ini baik-baik.” Marcel mengangguk dan mengulurkan surat itu ke tangan Venya.“Mana formula rahasia yang aku buat dulu?” Meru melepaskan diri dari putrinya dan mulai berkeliling lab.“Ayah, aku sedang baca ini!” Sahut Venya mengingatkan. “Jangan lari-lari dulu ....”“Biar aku yang mengawasi ayah kamu,” kata Marcel tegas.“Baik!” Venya melanjutkan untuk membaca keseluruhan surat yang ditinggalkan oleh orang tua Marcel dengan saksama.“Jadi bagaimana, apa kamu sudah paham?” tanya Marcel setelah Venya mengembalikan surat itu kepadanya.“Apa itu artinya ... Orang tua kamu ingin penelitian mereka dilanjutkan kembali?” tanya Venya balik. “Atau aku yang salah menafsirkan isi surat itu?”“Sependapat,” angguk Marcel sambil mendekati Meru. “Dan kelihatannya ayah kamu juga begitu bersemangat ingin melanjutkan penelitian itu.”Venya menarik napas.“Tapi kondisi ayah aku sekarang ini ...” ucapnya meragu. “Dia sudah tidak begitu bagus, kamu bisa melihatnya sendiri.”Marcel mengamati Meru dan berpikir bahwa rencananya ini tidak bisa dibilang mudah dan justru memiliki banyak risiko seperti yang dibilang Herman kepadanya.“Selain itu kita juga membutuhkan dana yang tidak sedikit,” sambung Venya. “Memangnya kamu memiliki dana untuk melanjutkan penelitian ini?”Marcel sontak diam. Jangankan uang, pekerjaan pun dia tidak punya. Apa pun yang dia lakukan di keluarga Delvino tidak dihargai sepeserpun dan dianggap sebagai cicilan untuk membayar utang orang tuanya.“Mungkin kita bisa cari sponsor?” usul Marcel, hanya itu satu-satunya pikiran logis yang terlintas saat ini.“Masuk akal, tapi ....” Venya mempertimbangkan. “Kamu tidak lupa dengan kondisi ayah aku kan? Banyak yang menganggap dia gila, hilang ingatan ....”“Tapi dia ingat dengan penelitian itu,” sela Marcel dengan kening berkerut. “Bagaimana mungkin ada orang gila yang bisa mengingat sesuatu yang dilakukannya saat dia waras?”Venya tertegun dan menyahut, “Kita bisa mengujinya sebentar!”“Hei tunggu, apa yang akan kamu lakukan?”Bersambung—Marcel mengerutkan keningnya ketika melihat Venya membimbing Meru ke arah lemari kaca yang berisi tabung-tabung kecil. “Apa yang pernah ayah lakukan di sini?” tanya Venya dengan nada lembut sambil memandang Meru. “Ayah tahu tabung-tabung itu buat apa saja?” Marcel terdiam sambil ikut mengamati gerak-gerik Meru yang mendadak diam dan tidak seaktif tadi. “Aku ... putriku dulu menemaniku!” cetus Meru sambil mengangguk-angguk. “Ini aku putri Ayah,” ujar Venya sabar dan penuh belas kasih. “Dulu kita bersama-sama melakukan penelitian di sini, ada Pak Fabi juga ....” “Tidak! Putriku masih kecil, dia belum mengerti apa-apa!” bantah Meru. Marcel terus mengamati interaksi yang terjalin antara Venya dan Meru, biar bagaimanapun mereka berdua adalah harapan satu-satunya untuk melepaskan diri dari situasi yang membelitnya saat ini. “Ayahku jadi seperti ini sejak Pak Fabi dan Bu Lana pergi,” tutur Venya lambat-lambat. “Mungkin dengan kita melanjutkan kembali penelitian ini, siapa tahu Ayah aku
Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya. “Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan
Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi. Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul. “Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?” “Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....” Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa. “Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu. “Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan. “Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?” Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat sete
Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”Ciko mendengus.“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”Ma
Alvon melirik salah satu kakaknya itu.“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja. “Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia
“Ini untuk mulut lancangmu itu!” seru Ronnie sambil menghantam rahang Marcel dengan kepalan tangannya. “Argh, bangsat!”Dia mengumpat ketika tangannya memukul sesuatu yang keras.“Ada apa, Kak?”“Kenapa sih?”Coki dan Alvon mengalihkan perhatian mereka ke arah Ronnie yang menggosok-gosok buku jarinya.Marcel sendiri kebingungan saat tiba-tiba kakak iparnya berteriak sedangkan dia tidak memberikan perlawanan apa-apa.“Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Coki dengan nada menyelidik. “Kok kesakitan begitu?”Ronnie tidak segera menjawab, apalagi dia masih belum tahu pasti apa yang menyebabkan tangannya seperti menghantam sebongkah besi.Padahal Ronnie yakin betul kalau dia telah memukul rahang Marcel, tapi kenapa adik iparnya itu hanya berdiri bergeming saja?“Jawab, Kak! Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Ciko mendesak.“Sudahlah, tidak usah dibahas!” jawab Ronnie tegas. “Kita tinggalkan saja tempat ini, biarkan mereka melanjutkan penelitian gagal itu ... dan kita harus mempersiap
“Apa kamu tidak bisa menceritakan kepadaku seperti apa ciri-ciri dari cairan yang kamu minum?” tanya Venya sambil mencari di antara lemari kaca. “Aku tidak ingat,” jawab Marcel segera. “Namanya juga pikiranku saat itu sedang kalut, jadi aku asal ambil cairan kimia yang ada dan menenggaknya.” Venya kemudian menghadap Marcel dan menatapnya dengan serius. “Apa kamu masih ingat tabung mana yang kamu ambil?” Dia bertanya lagi. “Tidak, aku kan sudah bilang kalau aku hanya asal ambil.” Marcel menjelaskan. “Memangnya penting bagi kita untuk mengetahui cairan apa yang aku minum? Kan yang penting aku baik-baik saja pada akhirnya.” Venya menghela napas. “Tentu saja itu penting, karena sepengetahuan aku stok formula di sini tidak ada yang aman untuk dikonsumsi.” Dia menjelaskan. “Tapi ya sudahlah ... kita akan susah mencari jejaknya karena tidak ada sisa-sisa dari cairan yang kamu minum itu.” Marcel mengangguk, dia memang tidak ingat sama sekali tentang apa yang terjadi setelah dia minum ca
Begitu Shirley melenggang pergi dan tidak terlihat lagi, Marcel segera mengangkut baju-baju kotor istrinya ke tempat cucian, dia masukkan hampir semuanya ke mesin cuci kecuali dia potong gaun berbahan tipis dan belahan dada rendah untuk dicuci secara terpisah.Sebagai laki-laki normal, Marcel tentu pernah berhasrat untuk melakukan hubungan suami istri dengan Shirley. Namun, itu sebelum dia diusir tepat pada malam setelah mereka resmi menikah.“Pergi sejauh-jauhnya dari kamarku! Jangan pernah sekali-kali kamu tidur di ruangan yang sama denganku, ngaca dulu sana!”Sejak saat itu, Marcel memupus naluri laki-lakinya dan menganggap bahwa dirinya tidak pernah menikah.“Pak Marcel, sarapan!” Nana melongok ke tempat cucian, di mana Marcel sedang duduk di depan ember dan mencuci gaun Shirley menggunakan kedua tangannya. “Makanan sisanya saya buang di mana ...?”Marcel menoleh ke arah Nana dan menyahut, “Biar aku yang urus, Bi. Anak-anak Bibi jangan lupa disuruh makan.”“Baik, Pak.” Nana
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris