Alvon melirik salah satu kakaknya itu.
“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja.“Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia dan salah satunya pernah aku minum ....”“Apa?” Venya menatap Marcel dengan kening berkerut. “Kamu meminum cairan yang mana?”Marcel terdiam sambil berusaha mengingat-ingat.“Saat itu aku asal mengambil tabung dan langsung menenggaknya sampai habis,” jawab Marcel ragu-ragu. “Setelah itu aku masuk rumah sakit dan koma—kata Bik Nana.”Venya menatap Marcel dengan sorot mata tidak percaya.“Kamu sembrono sekali, Marcel. Tidak semua cairan ini aman untuk kamu konsumsi!” kata Venya gusar. “Apa sih yang kamu pikirkan?”“Mengakhiri hidup,” sahut Marcel datar. “Saat itu aku ingin sekali mengakhiri hidupku, dan aku pikir salah satu cairan ini pasti akan membinasakan nyawaku ... tapi ternyata aku selamat dan hanya koma.”Venya menatap Marcel tidak percaya.“Hanya kamu bilang?” komentarnya sambil menggelengkan kepala. “Itu keajaiban! Kamu masih bisa selamat dari tindakan bunuh diri itu, artinya kamu dikasih kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup kamu.”Marcel termenung setelah mendengar pendapat Venya. Menurut dia cewek itu benar, ini adalah kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki hidup.“Ya, aku bersyukur karena ternyata selamat dari percobaan bunuh diri itu.” Marcel menegaskan. “Karena itu aku akan melanjutkan penelitian kedua orang tuaku meski ini bukanlah bidang yang aku kuasai.”Venya menarik napas, dia merasakan emosi sesaat setelah tahu kalau Marcel pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri.“Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama,” cetus Venya, membuat Marcel terkejut. “Seandainya tidak melihat keberadaan ayahku.”Pandangan mata Venya terarah lurus ke arah pria paruh baya yang duduk bersandar dengan wajah tanpa ekspresi.“Kalau begitu kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” tegas Marcel sambil menyorongkan lengan kemejanya. “Mana yang harus aku kerjakan, kamu tinggal bilang dan aku akan melakukannya.”Venya menyisir lab yang keadaannya memperihatinkan: etalase kaca yang buram, berdebu, juga lantai yang tidak dibersihkan selama beberapa tahun lamanya.“Kamu bisa bantu aku untuk membersihkan lab ini,” jawab Venya. “Seperti yang aku bilang tadi.”“Kita dahulukan saja mana yang lebih penting supaya kita bisa segera mulai,” sahut Marcel sigap seraya mengambil kain pel dan lap.Venya ikut membantu dengan memilah tabung-tabung yang sudah rusak dan membuangnya ke tempat sampah.Sementara itu Marcel menyapu lantai, mengepelnya dan ketika masih belum betul-betul kering, tiba-tiba sekelompok orang mendadak masuk tanpa permisi.“Hei!” tegur Marcel gusar. “Apa-apaan ....”“Wah, wah, jadi ini lab yang telah merugikan ayah ibu kita?”“Ini jelas seperti gudang penyimpanan barang-barang bekas!”Marcel menyalakan lampu yang lebih terang dan terlihat siapa yang tiba-tiba menyerbu masuk.“Ini kamu sebut sebagai lab penelitian?” cemooh Ciko sambil mengulum senyum.“Ini sama sekali bukan seperti yang aku harapkan,” timpal Ronnie. “Apa yang kamu banggakan dari lab lusuh peninggalan orang tua kamu, Marcel?”Mendapat cemoohan dari Ronnie dan adiknya, Marcel hanya menarik napas.“Kalian lihat saja nanti,” ucapnya sambil memandang lantai yang kembali ternoda oleh alas kaki kakak-kakak iparnya. “Yang pasti aku tidak menjanjikan apa-apa kepada kalian.”Ciko mendengus, sementara Alvon yang katanya tidak tertarik kini justru sibuk melihat-lihat lemari kaca yang berisi tabung cairan dari berbagai warna.“Siapa dia?” tunjuk Alvon tiba-tiba.Sontak semua mata yang ada di situ menoleh ke arah yang ditunjuk Alvon.Gawat, batin Marcel dalam hatinya. Dia lupa menyembunyikan Venya dan Meru!“Kalian siapa?” tanya Ronnie kepada Venya yang merangkul ayahnya di pojok ruangan. “Jangan-jangan kalian penyusup? Atau justru perampok?”Venya menggeleng dan menyahut lirih, “Bukan ....”“Jangan bohong!” sentak Ciko sambil melangkah ke arah Venya dengan gaya mengancam.“Jangan ganggu mereka!” seru Marcel tegas melebihi keberaniannya selama ini.“Siapa kamu?” Ronnie langsung mendorong dada Marcel. “Jangan coba-coba mengatur aku dan adikku, lagipula ini adalah kawasan rumah kamu ....”“Tapi lab ini adalah peninggalan milik orang tuaku!” sergah Marcel dengan sorot mata tajam, tidak seperti biasanya saat dia hanya mampu menatap sayu di bawah tekanan Ronnie dan saudara-saudaranya.“Jadi?” tanya Ronnie dengan nada menantang.“Apa pun yang ada di dalam sini, termasuk Venya dan ayahnya adalah tanggung jawabku.” Marcel menegaskan.“Jadi namamu Venya?” Ciko menatap perempuan yang masih merangkul ayahnya itu dengan pandangan meremehkan seolah baru saja menemukan seonggok kotoran. “Dekil sekali kamu ya, seperti tempat ini yang tidak pernah dibersihkan.”“Hentikan hinaan kamu kepadanya, Kak!” ucap Marcel memperingatkan. “Venya dan Pak Meru tidak pernah tanggung kamu kan?”“Kamu bilang apa tadi, Pak Meru?” sela Alvon sambil menoleh ke arah Marcel.“Ya,” angguk Marcel singkat.“Kalau tidak salah bukankah dia adalah ilmuwan yang dulu kerja sama dengan orang tua kamu?” tanya Alvon memastikan. “Tapi sejak penelitian itu terhenti, kabarnya Pak Meru ini jadi gila.”Ciko terbahak-bahak mendengar penuturan Alvon.“Serius orang ini tidak waras?” komentarnya.Marcel mengepalkan tangan saat Ciko jelas-jelas melontarkan hinaan itu tanpa ada rasa hormat sedikitpun terhadap orang yang lebih tua.“Jaga omonganmu, Kak!” kata Marcel lagi.“Penelitian ini akan mengubah kehidupan umat manusia!” Tiba-tiba Meru berseru lantang. “ Mereka akan terpana dengan hasil yang menakjubkan!”Ronnie menoleh ke arah Meru, begitupun Ciko dan Alvon menatap heran pria itu dengan ekspresi aneh.“Sudah kuduga dia benar-benar sinting!” celetuk Ciko seraya tertawa hingga keluar air mata. “Hasil penelitian gagal total begini kok dibilang dunia akan terpana—halusinasi kalian itu memang ketinggian!’Venya tidak menanggapi, melainkan sibuk menenangkan ayahnya yang terus meracau.“Lab ini adalah satu-satunya tempat di mana aku yang berkuasa, jadi tolong kalian jangan merusaknya.” Marcel menengahi. “Kalian tidak percaya soal penelitian kami sih tidak masalah, tapi jaga sikap kalian di lab ini ....”“Banyak omong,” tukas Ronnie sambil menarik bagian depan kemeja Marcel. “Siapa kamu di sini?”“Ini lab milik orang tuaku,” tegas Marcel berani. “Ayahmu bahkan mengakui dan mengizinkan aku untuk menggunakan lab ini lagi.”Ronnie paling tidak suka ditentang. Dia mengangkat tangannya untuk membungkam mulut Marcel dan ....Bersambung—“Ini untuk mulut lancangmu itu!” seru Ronnie sambil menghantam rahang Marcel dengan kepalan tangannya. “Argh, bangsat!”Dia mengumpat ketika tangannya memukul sesuatu yang keras.“Ada apa, Kak?”“Kenapa sih?”Coki dan Alvon mengalihkan perhatian mereka ke arah Ronnie yang menggosok-gosok buku jarinya.Marcel sendiri kebingungan saat tiba-tiba kakak iparnya berteriak sedangkan dia tidak memberikan perlawanan apa-apa.“Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Coki dengan nada menyelidik. “Kok kesakitan begitu?”Ronnie tidak segera menjawab, apalagi dia masih belum tahu pasti apa yang menyebabkan tangannya seperti menghantam sebongkah besi.Padahal Ronnie yakin betul kalau dia telah memukul rahang Marcel, tapi kenapa adik iparnya itu hanya berdiri bergeming saja?“Jawab, Kak! Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Ciko mendesak.“Sudahlah, tidak usah dibahas!” jawab Ronnie tegas. “Kita tinggalkan saja tempat ini, biarkan mereka melanjutkan penelitian gagal itu ... dan kita harus mempersiap
“Apa kamu tidak bisa menceritakan kepadaku seperti apa ciri-ciri dari cairan yang kamu minum?” tanya Venya sambil mencari di antara lemari kaca. “Aku tidak ingat,” jawab Marcel segera. “Namanya juga pikiranku saat itu sedang kalut, jadi aku asal ambil cairan kimia yang ada dan menenggaknya.” Venya kemudian menghadap Marcel dan menatapnya dengan serius. “Apa kamu masih ingat tabung mana yang kamu ambil?” Dia bertanya lagi. “Tidak, aku kan sudah bilang kalau aku hanya asal ambil.” Marcel menjelaskan. “Memangnya penting bagi kita untuk mengetahui cairan apa yang aku minum? Kan yang penting aku baik-baik saja pada akhirnya.” Venya menghela napas. “Tentu saja itu penting, karena sepengetahuan aku stok formula di sini tidak ada yang aman untuk dikonsumsi.” Dia menjelaskan. “Tapi ya sudahlah ... kita akan susah mencari jejaknya karena tidak ada sisa-sisa dari cairan yang kamu minum itu.” Marcel mengangguk, dia memang tidak ingat sama sekali tentang apa yang terjadi setelah dia minum ca
Begitu Shirley melenggang pergi dan tidak terlihat lagi, Marcel segera mengangkut baju-baju kotor istrinya ke tempat cucian, dia masukkan hampir semuanya ke mesin cuci kecuali dia potong gaun berbahan tipis dan belahan dada rendah untuk dicuci secara terpisah.Sebagai laki-laki normal, Marcel tentu pernah berhasrat untuk melakukan hubungan suami istri dengan Shirley. Namun, itu sebelum dia diusir tepat pada malam setelah mereka resmi menikah.“Pergi sejauh-jauhnya dari kamarku! Jangan pernah sekali-kali kamu tidur di ruangan yang sama denganku, ngaca dulu sana!”Sejak saat itu, Marcel memupus naluri laki-lakinya dan menganggap bahwa dirinya tidak pernah menikah.“Pak Marcel, sarapan!” Nana melongok ke tempat cucian, di mana Marcel sedang duduk di depan ember dan mencuci gaun Shirley menggunakan kedua tangannya. “Makanan sisanya saya buang di mana ...?”Marcel menoleh ke arah Nana dan menyahut, “Biar aku yang urus, Bi. Anak-anak Bibi jangan lupa disuruh makan.”“Baik, Pak.” Nana
“Kamu serius?” Venya mengenakan masker dan mendekati Marcel yang sedang berbaring di atas meja praktek yang sudah dibersihkan. “Aku tidak bisa menjamin reaksinya akan bagaimana ... Kenapa kita tidak menggunakan tikus atau sejenisnya?”Marcel menatap langit-langit di atasnya sambil berpikir.Beberapa waktu yang lalu dia memang telah menawarkan dirinya kepada Venya untuk menjadi kelinci percobaan dalam uji coba mereka.“Ide bagus,” ucap Marcel. “Setiap formula yang kita hasilkan harus diuji coba ke manusia dan hewan, dari situ barulah kita tahu perbedaannya.”Venya mengangguk dan segera mengambil sebuah tabung berisi cairan berwarna hijau terang dan meminumkannya beberapa tetes ke mulut Marcel.“Bagaimana rasanya?” tanya Venya hati-hati setelah Marcel menelan cairan hijau itu. “Apa yang kamu rasakan, mual? Perasaan ingin muntah ... atau apa?”Marcel mencecap cairan itu, dia merasakan sensasi pahit selama beberapa detik. Setelahnya tidak ada yang dia rasakan selain hambar seperti a
“Ayah sama ibu akan ke luar kota selama satu minggu!”“Oh ya? Menyenangkan sekali!”“Hidupku bebas, telepon Kak Ronnie! Minta dia untuk cepat pulang ....”“Kita bisa bikin pesta selama tiga hari tiga malam!”Suasana dapur sudah riuh ketika Marcel muncul untuk membantu Nana menyiapkan makanan.“Ayah liburan sama ibu atau apa?” tanya Alvon ingin tahu.“Entahlah, siapa peduli sih? Yang penting kan kita bisa bebas ngapain saja di rumah!” jawab Ciko segera. “Pasti seru kalau kita bikin pesta ....”“Jangan ngawur, aku justru mau menggunakan momen sepi ini untuk menonton film fiksi ilmiah.” Alvon menyela. “Pesta membuat rumah ini jadi berisik dan aku tidak terlalu suka.”“Kamu bisa di kamar, kunci pintu dan nonton sepuas kamu.” Ciko menyarankan. “Aku jamin tidak akan ada yang mengganggumu!”Sementara kakak-kakaknya berdebat, Shirley lebih memilih untuk bermain ponsel dan tidak ikut serta dalam pembicaraan.“Cel, mana makanannya!” teriak Ciko tidak sabar. “Lelet sekali kamu!”“Iya,
“Aku tidak bisa memastikan,” geleng wanita itu. “Tapi yang pasti kamu tidak sama seperti aku, ayahku, dan manusia lainnya ... Darah kamu seperti tercipta dengan elemen rumit yang aku sendiri tidak terlalu paham ... Mungkin itu sebabnya, kamu mengalami reaksi berbeda ketika seharusnya kamu merasakan sakit karena tersiram air panas, atau energi kamu yang cepat terisi penuh padahal hanya makan sedikit roti ....”Marcel terdiam cukup lama mendengar penjelasan Venya tentang kejanggalan itu. “Jangan-jangan ini karena aku ... minum cairan itu?” cetus Marcel sambil berpikir keras. “Sayangnya aku tidak tahu cairan apa yang aku minum, mungkin mau bisa sekalian menelitinya kalau ada sisa ....”Venya menggeleng, dia ingat betul seperti apa suasana ketika dirinya pertama kali menyelundup ke lab bersama sang ayah.“Saat aku dan ayahku datang, seperti ada bekas pel di lantai yang penuh debu.” Venya menggambarkan. “Kamu lihat ada bekas lainnya tidak? Mungkin botol yang aku minum ... atau ada s
Malam itu suasana di kediaman keluarga Delvino begitu hingar bingar dengan suara musik, entakan orang-orang yang sedang berjoget, diiringi lampu berkedip-kedip yang membuat mata sakit. Marcel sejak tadi sudah bolak-balik mengantarkan minuman ke tengah-tengah pesta dibantu Eli dan juga Bik Nana. Tidak satupun ada yang mengenali Marcel sebagai menantu di rumah itu. “Minum sini, hei!” “Cepat, mana ini makanannya!” “Cel, jangan lelet!” “Shirley, urus pelayan satu itu!” Marcel yang masih repot membereskan gelas-gelas kosong di meja, merasakan lengannya yang ditarik kasar. Dia berbalik dan langsung berhadapan dengan istrinya sendiri. “Kamu ngapain saja dari tadi?” hardik Shirley seraya mencampakkan lengan Marcel dengan kasar. “Itu hidangannya bagaimana? Kasihan mereka sudah kelaparan gara-gara kamu!” “Aku sedang beres-beres, apa kamu tidak lihat?” balas Marcel di tengah-tengah suara bising musik yang memekakkan telinga. “Suruh teman-teman kamu menunggu sebentar!” Shirley mengerucut
“Shirley!” tegur Marcel yang merasakan seluruh darahnya mendidih, bukan karena cemburu melainkan karena statusnya sebagai suami dan menantu di rumah ini tidak pernah dianggap sama sekali.“Bung, dia istriku!” ucap Marcel lagi dengan suara yang lebih keras. “Jauhkan tanganmu darinya!”Baik Shirley maupun pria itu sama-sama menoleh ke arah Marcel.“Kamu ini kenapa?” cemooh si pria dengan wajah memerah. “Apakah aku mengganggumu, Cantik?”Shirley terkekeh.“Tidak usah kamu pedulikan suamiku, Peter!” Dia mengibaskan tangannya sambil terkikik geli. “Dia mungkin lelah karena dari tadi sibuk melayani keperluan kita.”Marcel geleng-geleng kepala saat menyaksikan dua manusia yang sama sekali tidak mempedulikan keberadaannya.“Hentikan pesta ini!” suruh Marcel kepada Shirley dengan tegas. “Ini bahkan sudah hampir pagi, kalian tidak mikir sama ketenangan orang lain?”“Siapa sih itu, berisik sekali?”“Kalian bisa menikmati suasana tidak sih?”Suara Ronnie dan Ciko saling bersahutan.“In
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris