“Ayah sama ibu akan ke luar kota selama satu minggu!”“Oh ya? Menyenangkan sekali!”“Hidupku bebas, telepon Kak Ronnie! Minta dia untuk cepat pulang ....”“Kita bisa bikin pesta selama tiga hari tiga malam!”Suasana dapur sudah riuh ketika Marcel muncul untuk membantu Nana menyiapkan makanan.“Ayah liburan sama ibu atau apa?” tanya Alvon ingin tahu.“Entahlah, siapa peduli sih? Yang penting kan kita bisa bebas ngapain saja di rumah!” jawab Ciko segera. “Pasti seru kalau kita bikin pesta ....”“Jangan ngawur, aku justru mau menggunakan momen sepi ini untuk menonton film fiksi ilmiah.” Alvon menyela. “Pesta membuat rumah ini jadi berisik dan aku tidak terlalu suka.”“Kamu bisa di kamar, kunci pintu dan nonton sepuas kamu.” Ciko menyarankan. “Aku jamin tidak akan ada yang mengganggumu!”Sementara kakak-kakaknya berdebat, Shirley lebih memilih untuk bermain ponsel dan tidak ikut serta dalam pembicaraan.“Cel, mana makanannya!” teriak Ciko tidak sabar. “Lelet sekali kamu!”“Iya,
“Aku tidak bisa memastikan,” geleng wanita itu. “Tapi yang pasti kamu tidak sama seperti aku, ayahku, dan manusia lainnya ... Darah kamu seperti tercipta dengan elemen rumit yang aku sendiri tidak terlalu paham ... Mungkin itu sebabnya, kamu mengalami reaksi berbeda ketika seharusnya kamu merasakan sakit karena tersiram air panas, atau energi kamu yang cepat terisi penuh padahal hanya makan sedikit roti ....”Marcel terdiam cukup lama mendengar penjelasan Venya tentang kejanggalan itu. “Jangan-jangan ini karena aku ... minum cairan itu?” cetus Marcel sambil berpikir keras. “Sayangnya aku tidak tahu cairan apa yang aku minum, mungkin mau bisa sekalian menelitinya kalau ada sisa ....”Venya menggeleng, dia ingat betul seperti apa suasana ketika dirinya pertama kali menyelundup ke lab bersama sang ayah.“Saat aku dan ayahku datang, seperti ada bekas pel di lantai yang penuh debu.” Venya menggambarkan. “Kamu lihat ada bekas lainnya tidak? Mungkin botol yang aku minum ... atau ada s
Malam itu suasana di kediaman keluarga Delvino begitu hingar bingar dengan suara musik, entakan orang-orang yang sedang berjoget, diiringi lampu berkedip-kedip yang membuat mata sakit. Marcel sejak tadi sudah bolak-balik mengantarkan minuman ke tengah-tengah pesta dibantu Eli dan juga Bik Nana. Tidak satupun ada yang mengenali Marcel sebagai menantu di rumah itu. “Minum sini, hei!” “Cepat, mana ini makanannya!” “Cel, jangan lelet!” “Shirley, urus pelayan satu itu!” Marcel yang masih repot membereskan gelas-gelas kosong di meja, merasakan lengannya yang ditarik kasar. Dia berbalik dan langsung berhadapan dengan istrinya sendiri. “Kamu ngapain saja dari tadi?” hardik Shirley seraya mencampakkan lengan Marcel dengan kasar. “Itu hidangannya bagaimana? Kasihan mereka sudah kelaparan gara-gara kamu!” “Aku sedang beres-beres, apa kamu tidak lihat?” balas Marcel di tengah-tengah suara bising musik yang memekakkan telinga. “Suruh teman-teman kamu menunggu sebentar!” Shirley mengerucut
“Shirley!” tegur Marcel yang merasakan seluruh darahnya mendidih, bukan karena cemburu melainkan karena statusnya sebagai suami dan menantu di rumah ini tidak pernah dianggap sama sekali.“Bung, dia istriku!” ucap Marcel lagi dengan suara yang lebih keras. “Jauhkan tanganmu darinya!”Baik Shirley maupun pria itu sama-sama menoleh ke arah Marcel.“Kamu ini kenapa?” cemooh si pria dengan wajah memerah. “Apakah aku mengganggumu, Cantik?”Shirley terkekeh.“Tidak usah kamu pedulikan suamiku, Peter!” Dia mengibaskan tangannya sambil terkikik geli. “Dia mungkin lelah karena dari tadi sibuk melayani keperluan kita.”Marcel geleng-geleng kepala saat menyaksikan dua manusia yang sama sekali tidak mempedulikan keberadaannya.“Hentikan pesta ini!” suruh Marcel kepada Shirley dengan tegas. “Ini bahkan sudah hampir pagi, kalian tidak mikir sama ketenangan orang lain?”“Siapa sih itu, berisik sekali?”“Kalian bisa menikmati suasana tidak sih?”Suara Ronnie dan Ciko saling bersahutan.“In
Namun, Ronnie memekik ketika buku-buku jarinya menghantam perut Marcel. Rasanya seperti dia menghantamkan kulitnya ke permukaan tembok yang kokoh. “Kenapa, Ron?” “Kak, kenapa Kakak yang kesakitan?” “Aku tidak kesakitan!” bantah Ronnie demi gengsi, dia melirik Marcel yang tampak bingung dengan situasi ini. “Pergi kamu!” usir Ronnie sambil mendorong Marcel. “Jangan mengganggu kesenangan kami!” Ciko dan yang lain melongo. “Kak, masa disuruh pergi begitu saja?” protes Ciko dengan kening berkerut. “Kalau kamu tidak tega menghajarnya, biar aku saja yang memberinya pelajaran!” “Jangan, tidak usah!” Ronnie mencegah, tapi Ciko tetap ingin melanjutkan keributan dengan Marcel yang tidak salah apa-apa. “Kamu ini adik ipar yang tidak tahu diri!” umpat Ciko seraya mendorong bahu Marcel hingga dia terhuyung membentur salah seorang teman di belakangnya, lalu dia didorong ke arah Ciko lagi dan didorong kembali ke arah orang-orang yang mengelilinginya. Begitu terus sampai Marcel merasa muak da
Kekacauan pesta itu akhirnya berhasil diatasi hingga matahari hampir terbit.Setelah kakak-kakak iparnya dibaringkan ke kamar masing-masing, Marcel bersama pelayan yang lain bahu membahu membereskan sampah hasil pesta dan membersihkan ruangan hingga tidak ada lagi bekas-bekas minum di sana.“Aku capek sekali!” Marcel mengeluh di depan Venya ketika dia datang ke lab lebih awal. “Ini formula yang kamu berikan, aku hanya pakai sedikit. Para pelayan bilang kalau mereka merasakan energi yang tidak biasa.”Venya menerima kembali formula itu menatap Marcel. “Kamu ikut minum?” “Aku lupa ....”“Seharusnya stamina mereka akan terus terjaga sampai beberapa jam ke depan, tapi kamu kelihatan sudah lemas ....”Marcel merebahkan dirinya di samping Meru yang sibuk mencoret-coret kertas.Venya segera membuatkan Marcel sesuatu di lab, yakni serupa ramuan modern dari campuran beberapa bahan dan diraciknya sesuai pengetahuan yang dia dapatkan selama ini.“Minumlah,” suruh Venya sambil membawakan
Marcel sedang sibuk membersihkan kebun ketika sudut matanya tanpa sengaja melihat beberapa orang yang berjalan mengendap-endap ke arah gudang.“Kak, ini kenapa justru kita yang jadi seperti pencuri ya?” komentar Ciko seraya berjalan membuntuti Ronnie yang melangkah paling depan.Namun, hanya Alvon satu-satunya orang yang bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.“Ini kan kawasan rumah kita!” ucap Ciko lagi.“Diam lah,” tukas Ronnie. “Kamu harus tahu kalau gudang itu memang bagian dari kawasan rumah kita, tapi ada hal yang kalian tidak pernah tahu ....”“Apa?” tanya Ciko. “Lab yang ada di bawahnya adalah milik orang tua Marcel,” jawab Ronnie memberi tahu.“Serius?” sahut Alvon meragukan.“Kok tidak percaya,” ketus Ronnie sambil terus melangkah.“Bagaimana ceritanya orang tua Marcel bisa membangun lab tepat di bawah gudang rumah kita?” tanya Ciko tidak percaya.“Aku tidak terlalu paham bagaimana perjanjian mereka, tapi itu yang aku dengar dari ayah.” Ronnie menjelask
Marcel menjalani kehidupannya seperti biasa, sebagai menantu, pembantu, dan juga sesekali samsak bagi kakak-kakak iparnya yang sedang kesal.Dia tidak keberatan sama sekali, justru terkadang malah menikmati sandiwaranya setiap kali Ronnie dan yang lain mengerjainya.“Sudah berapa lama kamu tidak makan hidangan sisa lagi?” tanya Ciko ketika melihat Marcel sudah berani minum terang-terangan di dapur bersama mereka.“Mungkin mulai hari ini,” jawab Marcel seraya memegang cangkirnya yang berisi teh hangat campur lemon.“Dan kamu akan makan menu baru?” tanya Ronnie memastikan.“Sepertinya begitu,” jawab Marcel terus terang. “Nanti setelah aku mencuci pakaian kalian semua.”Ciko saling pandang dengan Ronnie.“Cel, aku nitip gaun lagi!” timpal Shirley. “Jangan sampai rusak, karena aku tidak akan memaafkan kamu.”Marcel mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Kenapa suami kamu itu?” tanya Ciko heran. “Tidak seru sama sekali kalau dia menurut begitu.”“Kamu aneh, Kak.” Alvon b
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris