"Apa, Dokter, sa---saya ha---hamil?" aku tak mampu menutupi rasa gugupku. Ya Tuhan, ujian apa lagi ini? Arfen ditahan polisi, entah bagaimana keputusan sidangnya nanti dan aku malah hamil? Aduh, kenapa harus sekarang, sih? "Serius, Dokter?"Dokter Rahma mengangguk, tersenyum tulus. Mama tak henti-hentinya mengucapkan syukur dan Mbak Sri langsung bersujud, air matanya mengujan deras. Sungguh, tak pernah menyangka kalau kehamilan ini akan mendapatkan respon sebagus dan setulus ini dari mereka. "Ya, serius, Mbak Mirah." Dokter Rahma menunjukkan test pack dengan dua garis merah di dalamnya. Wajahnya cerah sekali seakan-akan itu hasil pregnancy test-nya sendiri. "Selamat ya, sebentar lagi Mbak Mirah akan jadi seorang Ibu. Selamat juga karena Mbak Mirah telah menjadi seorang pemenang, penerima anugerah terindah berupa Malaikat Kecil.""Makasih, Dokter. Aduh, saya bangga sekali, bahagia dan terharu karena sebentar lagi saya akan menjadi Eyang Uti." Mama, sambil terisak-isak mengungkapkan is
"Halo, Mirah!" jumawa, Mourin menyambutku di depan rumah mewah tiga lantai bercat putih melati dengan taman kecil di samping garasi mobil. Satu paket lengkap dengan air mancur buatan di tengah-tengah kolam yang berisi banyak ikan mas. "Emh, akhirnya kamu datang ke sini juga. Gimana, kamu pasti mau membujuk aku kan, biar secepatnya membebaskan Mas Arfen?"Aku tersenyum masam plus getir. Bukan hanya karena sapaan Pak dan Bu yang sesuai lenyap dalam diri Mourin. Tetapi lebih cenderung ke persoalan kendali. Mourin pasti memegang kuat kendali atas diri Mas Arfen kan, selama ini? Ah! Jadi semakin sadar, bagaimana bisa Mas Arden diam di saat Mourin menjajah smartphone-nya. Aduh, walaupun belum seratus persen yakin kalau kasus ini adalah skandal Mourin, rasanya menyesal juga pernah cemburu. Bukan hanya cemburu, tetapi curiga dua puluh empat jam penuh. Nyaris paranoid dan lebih gilanya lagi, pernah menantang Mas Arfen untuk berpisah. Memangnya Mourin ini siapa, sih? Kontribusi apa yang suda
"Aku nggak percaya, kamu punya sisi kasar, Mirah!""Semut pun akan berontak kalau tersakiti, apalagi aku?""Hemh, ck … Kasihan kamu, Mirah, seperti apa sih cara Mas Arfen mencintai kamu? Dia temperamental banget, ya?" "Hei, jaga ucapan kamu, ya?" tanpa sadar aku berteriak. "Jangan macam-macam kamu di sini! Jangan mentang-mentang masa kecil kamu di sini, oke?"Harum mencebik. "Kamu cemburu, ya? Kasihan, kasihan!""Kalau memang semua yang kamu katakan itu benar, buktikan!" kataku tanpa memperdulikan bagaimana dia menjerit-jerit memanggil Mama, meminta bantuan. Aku sudah terlanjur mencengkeram lehernya. "Lagian, kok bisa sih, kamu ngelakuin hal yang serendah dan sehina itu? Terlihat cantik dan berkelas tapi nggak punya harga diri. Percuma saja kamu cumlaude atau apalah di universitas ternama Eropa kalau menjaga kehormatan diri saja nggak becus!" Entah bagaimana tiba-tiba-tiba sesuatu yang buruk menimpaku dengan sempurna. Napasku tersengal-sengal, tubuh gemetar dan lambung. Hampir saja
"Mas Arfen kenapa, Mama?" spontan aku membalikkan pertanyaan. "Ada apa, Mama?""Ada apa, Mbak Menur?" Mommy ikut panik. Melompat turun dari tempat tidur. "Ada apa dengan Arfen?"Mama tidak langsung menjawab, sekujur tubuhnya gemetar. Bersyukur masih bisa mengacungkan smartphone, memberi isyarat kalau masih terhubung dengan seseorang. Secepat mungkin, aku mengambil alih, mencoba berbicara. "Halo!""Ya, halo. Apa benar ini dengan Mbak Mirah?""Betul."Laki-laki di seberang sana memberi kabar kalau Mas Arfen dirawat di rumah sakit karena sudah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan kaca. Pendarahan yang dialami cukup parah, sehingga memerlukan transfusi darah. Jadi, keluarganya yang berarti aku dan Mama harus segera ke rumah sakit, sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat, tentu saja. "Ba---Baik, Pak. Kami akan segera ke sana. Terima kasih.""Baik, Mbak Mirah. Sama-sama."Tanpa berkata-kata lagi, aku menubruk Mommy dan memeluknya erat-erat. Tangisku benar-benar pecah sekarang
"Kamu sih, nggak ikhlas!" Mourin baru sampai di taman bunga belakang ruang ICU dan sudah langsung memaki. "Begini kan, jadinya?"Aku diam. Untuk apa menangkap bola api? Tidak berguna sama sekali. Bisa-bisa aku yang hangus terbakar. Apa pun yang terjadi, jangan sampai diri ini semakin terluka. Aduh, bagaimana ya, membahasakannya? Bukan berarti aku menari-nari di atas kritisnya Mas Arfen."Kok, kamu diam?" bentak Mourin sambil merapatkan rahang. Memandang super tajam dan dalam. "Mirah!"Aku jelas terpancing. Dia tidak berhak bersikap seperti ini terhadapku. "Ya. Saya!""Kok kamu malah diam kayak gini, sih?" Mourin mulai menangis, lalu sambil terisak-isak memberikan penjelasan, "Ternyata salah satu unsur darahku nggak cocok sama Mas Arfen. Kita harus secepatnya nyari darah golongan AB, Mirah. Kalau nggak …?""Apa? Kalau nggak, apa?" aku sengaja menajamkan tone suara. Tidak perlu tinggi atau keras karena kami di tempat umum. "Kamu bukan Tuhan, Mourin. Jadi, nggak usah sok tahu! Hanya Tuha
"Gimana, Mirah?" Mourin semakin memojokkanku. Memain-mainkan ujung rambut panjang sebahunya yang ikal dan pirang. Memandang dengan sorot mata setajam duri bunga mawar. "Kalau kamu setuju, aku akan segera membebaskan Mas Arfen!" Negosiasi yang sempurna. Sangat sempurna. Mourin memintaku merestui pernikahannya dengan Mas Arfen. Itu kalau aku mau Mas Arfen bebas. Bagaimana caranya, Mourin mengatakan aku tak perlu tahu. Cukup menyetujui permintaannya dan beres. "Jadi benar, selama ini kalian selingkuh?" aku jelas meradang dan tak sedikit pun berusaha untuk menutupinya. Terus terang aku tak mau berpura-pura lagi. Pura-pura kuat, pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja dan semua kepura-puraan yang lain. "Tolong jelaskan, Mourin!"Prok, prok, prok!Mourin bertepuk tangan riang sekaligus sinis. "Menurut kamu? Hahahaha, Mirah, Mirah! Harus berapa kali kukatakan, Mas Arfen itu sudah jatuh cinta sama sejak pertama kali kami bertemu.""Kapan itu?" "Sehari setelah dia melamar kamu!"Ha, apa
Aku memilih duduk di bangku taman bunga samping klinik, membaca buku sambil menunggu Mama selesai terapi. Takdir memang misterius. Mama yang terlihat sekuat baja pun akhirnya tumbang juga. Memang bukan kenyataan yang manis, bukan perkara yang mudah, Mas Arfen harus mendekam di balik jeruk besi. Aku sendiri mengakuinya, kok. Ini berat sekali, pahit sekali. Tetapi jujur, rasanya tak percaya, Mama bisa menjadi selemah ini sekarang. Miss Clara menjatuhkan diagnosa depresi berat. Jadi, harus menjalani psikoterapi secara rutin supaya lekas pulih. Bersyukur, Mama menurut, tidak melakukan perlawanan yang berarti walau kadang-kadang rewel juga. "Non Mirah!" suara khas Mbak Sri menarikku keluar dari ruang pemikiran tentang Mama yang membuat pusing. "Ibu gimana, Non?"Kami sudah membuat kesepakatan tadi, Mbak Sri akan menyusul ke klinik kalau pekerjaan di rumah sudah beres. Aku sendiri sengaja datang lebih pagi ke rumah Mama, agar tidak tergesa-gesa. Maklum, perut sudah semakin berat dan tida
Aku menyambut kedatangan bestie, 4 Little Stars di teras. Serta merta keharuan menyelimuti hatiku, begitu juga dengan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Dalam rintik hujan yang cukup deras seperti ini, mereka tetap datang sesuai rencana semula. Tak seorang pun absen, bahkan masing-masing orang membawa oleh-oleh untukku. Bukan oleh-olehnya lho, yang penting tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wah, istimewa sekali! "Thanks banget, Bestie!" riang gembira aku berseru. "Serius nih, aku terharu banget." Satu per satu Bella, Brilliant dan Rafael menyalami aku lalu beriringan masuk ke ruang tamu. Suasana malam ini benar-benar hangat. "Mir, sorry banget ya, kami baru bisa datang jenguk kamu?" Rafael membuka pembicaraan. "Sorry juga, nggak bisa ikut bantu pindahan kemarin." Brilliant mengulum senyum, menimpali permintaan maaf Rafael. "Sebenarnya kami sudah berusaha sih, Mir. Tapi, yaaah, tabrakan sama jadwal kerja. As you know lah, Mir." Bella nyengir kuda poni. Memandang kami sa
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap