Adam dan Amber terbelalak ketika telinga mereka menangkap suara ketukan. Tidak ada lagi gerakan yang berani mereka lakukan. Napas pun mereka embuskan dengan sangat hati-hati. "Kau dengar itu?" bisik Amber seraya melirik ke arah pintu. Belum sempat Adam menjawab, suara ketukan kembali terulang. "Maaf, Nona Lim, apakah kalian sedang sibuk?" "Ada hal penting yang ingin kami sampaikan." Dalam sekejap, pasangan itu sama-sama melangkah mundur. Tanpa aba-aba, mereka beradu untuk membetulkan pakaian. "Kenapa gadis-gadis itu datang di saat seperti ini?" gerutu Adam sambil menutupi kekacauan di balik sweater besarnya. Sambil menahan tawa, Amber mengangkat pundak. "Entahlah. Kau tunggu di sini saja. Biar aku mengajak mereka bicara di luar." "Jangan lama-lama," pinta Adam dengan tampang memelas. Sang wanita otomatis mendengus gemas. Usai mengangguk, ia berjalan keluar, meninggalkan sang kekasih dengan tampang kusut. "Aku seharusnya menunggu lebih malam," sesal pria itu sebelum menggar
Lengkung alis Adam otomatis mendesak dahi. Napasnya tertahan sedangkan mulutnya terkatup rapat. Bagaimana mungkin ia lupa mengubah ponselnya ke mode senyap? “Sejak kapan kau membagikan kontakmu kepada orang lain? Kenapa aku tidak pernah tahu?” tanya Amber dengan nada heran. Setelah mengerjap, sang pria bergegas membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Aku juga terkejut ponselku tiba-tiba bergetar. Ini pasti salah sambung. Hanya kau dan Tuan Berg yang menyimpan kontakku,” terang Adam sebelum menolak panggilan. Sambil mengerucutkan bibir, Amber mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, ia mengubah ekspresi kembali ramah lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Freja, Ella, aku harus pulang sekarang. Kupercayakan kepada kalian untuk memilih foto mana yang terbaik. Aku yakin, kalian punya selera tinggi. Dan ingat! Jangan sebar foto-foto kami ke mana pun. Jagalah rahasia kami seperti Tuan Berg menyimpan video kami!" "Tenang saja, Amber. Kami bisa diandalkan," timpal Freja sambil menaikkan sebela
“Maafkan aku, Amber. Aku hanya tidak ingin kau terbebani oleh masalah baru,” desah Adam sambil meraih pundak di hadapannya. “Tapi kenyataannya, kau malah membuat masalah yang lebih besar!” pekik Amber seraya menepis tangan sang pria. Air mata kini mengalir deras di wajahnya. Pemandangan itu sukses memperluas luka di hati Adam. Sambil tertunduk, laki-laki itu menggenggam penyesalan. “Aku tahu. Ini salahku.” “Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Pergi menemui orang tuaku? Berlutut di hadapan mereka dan membiarkan orang-orang itu menghajarmu lagi? Atau berlutut di depan gedung badan administrasi?” sindir Amber dengan suara tersedak. Tak sanggup memikul rasa bersalah, Adam terpejam dan mendesah pasrah. “Aku tidak tahu ....” “Lakukan saja! Bukankah kau selalu gegabah? Kau selalu berpikir dari sudut pandangmu saja, tanpa memperhitungkan akibat dari sisi lain. Kenapa tidak sekalian saja kau bakar gedung itu?” “Tidak, Amber,” sanggah sang pria diiringi gelengan pelan. “Kau adalah d
“Adam!” panggil Amber sembari beranjak dari kursi. Dengan senyum semringah, ia menghampiri lalu duduk di pangkuan sang kekasih. “Lihatlah! Apakah ini bagus?” Dengan alis melengkung tinggi, sang pria memperhatikan ekspresi wanita itu. “Kau sudah menentukannya?” “Ya,” sahut Amber sebelum mengangkat buku catatannya lebih dekat ke mata sang pria. “Coba perhatikan!” Sedetik kemudian, decak kagum Adam mengudara. “Sebuah liontin?” desah pria itu dengan nada tak percaya. Sambil tersenyum simpul, sang wanita mengangguk. “Max dan Julian memiliki liontin yang berisi foto kedua orang tua mereka. Menurutku, anak-anak mereka juga harus punya. Liontin itu bisa menjadi pengingat sekaligus pemberi semangat.” “Semacam jimat?” celetuk Adam seraya memiringkan kepala. “Ya, semacam pembawa keberuntungan,” timpal Amber dengan mata berkilat semangat. “Jadi, bagaimana menurutmu?” Adam spontan mengerutkan alis, pura-pura berpikir. Setelah raut wajah sang wanita berubah was-was, barulah ia mengembangkan
"Keberhasilan apa yang kau maksud, Bas?" tanya Amber sembari menggeleng samar. "Tolonglah ... jangan berpura-pura bodoh. Langsung saja ucapkan terima kasih kepadaku dan yang lain. Kami tidak akan meminta bayaran," timpal Sebastian ringan. Tak kuat menanggung beban pertanyaan dalam benaknya, sang wanita pun mememejamkan mata rapat-rapat. "Tunggu dulu! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku dan Adam sungguh tidak tahu apa-apa. Kami baru mengaktifkan ponsel sekarang. Dan yang kami lihat sejak tadi hanyalah komentar dari para haters." Suasana mendadak hening sejenak. Sebastian tampaknya butuh waktu untuk mencerna keadaan. "Jadi, kau tidak tahu apa saja yang sudah kami lakukan?" "Ya!" sahut Amber dengan anggukan dalam. Mata bulatnya kini memancarkan ketegangan kepada Adam. "Kupikir kalian diam-diam memantau lewat komputer. Ternyata tidak?" gumam si penelepon seperti sedang bergelut dengan pikiran. "Tolong jangan bertele-tele, Tuan Evans. Ceritakan saja! Amber bisa ping
“Sebetulnya, kedatanganku kemari untuk membahas masalah itu. Suamiku marah besar dengan kelakuan kalian. Kredibilitas perusahaan menurun sejak merger dibatalkan,” aku Nyonya Lim sambil mengelus bros yang melekat di tasnya. “Apakah Tuan Lim akan tetap datang menjemput Amber?” terka Adam dengan suara yang agak direndahkan. Setelah mendesah berat, Nyonya Lim kembali mempertemukan pandangan. “Saat ini, dia masih sibuk mengurus perusahaan. Tapi begitu masalah itu selesai, dia pasti akan langsung bertindak.” Dalam keheningan, Adam membiarkan otaknya bekerja keras. Kekusutan yang harus diurainya telah bertambah runyam. “Sebenarnya, apa yang sedang dihadapi oleh Perusahaan Lim?” “Tidak ada. Hanya saja, suamiku bukanlah seseorang yang puas dengan pencapaian kecil. Dia membutuhkan jaringan dan modal besar untuk ekspansi ke negara-negara berkembang. Sekarang, obsesi tersebut malah menimbulkan masalah.” “Apakah masalah akan selesai jika dua hal itu sudah didapat?” selidik Adam seraya menaikk
"Papa?" desah Amber, tersedak oleh kengerian. Sebelum Tuan Lim bergerak, secepat mungkin ia merapatkan pintu lalu memutar kunci. "Amber, apa yang kau lakukan?" tanya sang ibu dengan nada heran. "Tidak! Aku tidak akan membiarkan Papa menyakiti Adam lagi!" seru sang putri dengan napas terengah-engah. Tangannya terentang memagari pintu, berjaga-jaga jika ada yang mendobrak masuk. Memahami ketakutan sang kekasih, Adam pun mengelus kepalanya lembut. "Tenang, Precious. Ayahmu pasti datang untuk menjemput ibumu, bukan mengajak ribut. Sekarang biarkan ibumu keluar." "Dan mengizinkan mereka masuk lalu menghajarmu hingga pingsan? Tidak!" Tiba-tiba, pintu diketuk lagi dari luar. Sedetik kemudian, suara Tuan Lim merambat melalui celah partikelnya. "Inikah caramu menghormati orang tuamu?" "Aku tidak mau menghormati orang yang tidak menghargai Adam," balas Amber dengan nada yang lebih tinggi. "Laki-laki itu mengubahmu menjadi durhaka, hm?" sindir sang ayah sebelum menggebrak pintu dengan t
"Kenapa Papa meninggalkan map itu?" desah Amber sambil berkedip-kedip menatap Adam. "Entahlah." Dengan kebingungan yang sama, sang pria mengambil map lalu meneliti berkas yang tadi tidak sempat ia baca. "Surat pengalihan aset dari Adam Smith kepada Amber Lim?" Mendengar keterangan tersebut, sang wanita sontak mendekat. Dengan mata bulat, ia memeriksa sendiri apa yang tertulis di sana. "Ini kesepakatan di antara kita? Bukan antara dirimu dengan perusahaan?" Selang satu desah cepat, Amber merebut berkas itu dan berlari keluar. "Papa!" Seketika, Tuan Lim menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Apa maksud dari semua ini? Tolong jelaskan!" seru Amber seraya mengangkat berkas di tangannya. Dengan tampang santai, sang ayah berbalik dan melipat tangan di balik pinggang. "Apa yang perlu dijelaskan? Semua sudah tertulis di dalam surat." "Papa mengalihkan kekayaan Adam kepadaku. Kenapa?" Selagi pria yang sedang dibicarakan meletakkan mantel di pundak Amber, Tuan Lim mende
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."