"Kenapa Papa meninggalkan map itu?" desah Amber sambil berkedip-kedip menatap Adam. "Entahlah." Dengan kebingungan yang sama, sang pria mengambil map lalu meneliti berkas yang tadi tidak sempat ia baca. "Surat pengalihan aset dari Adam Smith kepada Amber Lim?" Mendengar keterangan tersebut, sang wanita sontak mendekat. Dengan mata bulat, ia memeriksa sendiri apa yang tertulis di sana. "Ini kesepakatan di antara kita? Bukan antara dirimu dengan perusahaan?" Selang satu desah cepat, Amber merebut berkas itu dan berlari keluar. "Papa!" Seketika, Tuan Lim menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Apa maksud dari semua ini? Tolong jelaskan!" seru Amber seraya mengangkat berkas di tangannya. Dengan tampang santai, sang ayah berbalik dan melipat tangan di balik pinggang. "Apa yang perlu dijelaskan? Semua sudah tertulis di dalam surat." "Papa mengalihkan kekayaan Adam kepadaku. Kenapa?" Selagi pria yang sedang dibicarakan meletakkan mantel di pundak Amber, Tuan Lim mende
Melihat nama Ruby di kotak masuk, napas Adam mendadak tertahan. Kekakuan menjalar membekukan sarafnya, sementara kegelisahan merambat menyelimuti hatinya. Setelah menelan ludah, barulah ia mampu mengalahkan ketegangan. “Aku juga tidak tahu mengapa perempuan ini mengirim pesan lagi,” ucapnya datar. “Apa kau mau membacanya?” tanya Amber sembari menoleh dengan tampang ragu. Selang keheningan sesaat, Adam menggeleng dan merebut mouse. "Dia sudah tidak penting lagi." Namun, tepat ketika pria itu hendak menghapus pesan secara permanen, Amber menahan tangannya. "Tunggu, Adam ...." Sang pria seketika bergeming dan mengerjap. Ia tidak menduga bahwa sang kekasih akan menghentikan aksinya. "Ada apa, Precious?" "Menurutku, menghapus pesan tidak akan menyelesaikan masalah. Perempuan itu masih akan terus berusaha menghubungimu," tutur Amber di sela kebimbangan. "Kau ingin aku membalasnya?" simpul Adam dengan mata terbelalak maksimal. Ia seperti sedang menyaksikan keajaiban. Sambil menggeng
Sambil tersenyum lebar, seorang balita berdasi kupu-kupu melempar bunga dari keranjang kecilnya. Setelah maju satu langkah, ia mengulangi gerakan itu dan tertawa kencang. "Mamamama ..." ocehnya sambil menatap wanita cantik di tepi karpet. Telunjuknya meruncing ke arah kelopak bunga di dekat sepatu mungilnya. "Benar. Kau hebat, Pangeran Kecil. Lakukan terus seperti itu sampai ke ujung sana," ujar sang ibu sambil menunjuk ke arah Adam. Memahami perintah itu, sang balita kembali memasukkan tangan ke dalam keranjang. Setelah menggenggam lebih banyak, ia melompat dan melempar dengan sekuat tenaga. Kelopak bunga pun berjatuhan menimpa kepala dan wajahnya. "Astaga .... Mengapa Cayden Evans sangat menggemaskan? Aku ingin membungkus dan membawanya pulang," ujar Freja sembari mengepalkan kedua tangan di samping wajah. "Kita beruntung bisa menyaksikan aksi lucunya secara langsung. Bukankah terakhir, dia melempar bunga untuk pernikahan paman dan bibinya?" timpal Ella tanpa menurunkan kam
"Cemburu?" Sebastian mengerutkan sebelah alis. Selang satu dengusan, barulah ia menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku sudah move on." "Yayayayaya," oceh Cayden seraya meruncingkan telunjuk ke arah sang paman. Alisnya terangkat tinggi seolah mengejek. Merasa diragukan, mata Sebastian pun membulat. "Kau tidak percaya padaku?" Sementara sang balita menutupi tawa dengan tangan, pria itu memutar posisi duduknya. "Ayolah, Cayden. Suatu saat nanti, kau akan mengerti bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan, tetapi dipertemukan. Kita tidak perlu menyia-nyiakan tenaga untuk mengejar seorang wanita yang bukan jodoh kita." "Jadi, kau sudah mengikhlaskan Amber?" simpul Gabriella tanpa berhenti mengelus kepala putranya. Tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu lagi, Sebastian meringis kecil. Sambil melipat tangan di depan dada, ia kembali menyandarkan punggungnya. "Kalau saja aku tahu kalian akan meledekku seperti ini, aku tidak akan membiarkan Amber menceritakannya kepada ka
Merasa cemas, Adam spontan menarik pinggang Amber untuk menempel padanya. Kemudian, sambil menaikkan alis, ia mengangkat dagunya sedikit. “Apakah ada yang salah? Ini hari pernikahan kami. Wajar saja jika kami terlihat mesra.” Mendapat respon semacam itu, Sebastian mendengus. Kakinya terhenti beberapa langkah di hadapan sang pengantin. “Tanpa mengumbar kemesraan pun, semua orang di sini tahu kalian sudah menikah. Kau yakin ciuman tadi hanyalah ungkapan kasih sayang? Bukan untuk memanas-manasiku?” Merasakan ketegangan di antara kedua pria itu, semua orang sontak bergeming. Tidak ada satu pun yang berani bergerak ataupun bersuara hingga tiba-tiba, Gabriella menjewer telinga sepupu suaminya itu. “Berhentilah menimbulkan masalah, Sebastian! Jangan membuat malu keluarga Evans. Sekarang, cepat ucapkan selamat kepada Amber dan Adam!” Dalam sekejap, si pembuat onar meringis dan memegangi tangan Gabriella. Kepalanya miring dan tubuhnya melengkung mengimbangi rasa sakit. “Ampun, Gaby! Aku h
“Adam, jangan menyia-nyiakan tenagamu. Cepat turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri,” ujar Amber seraya menarik-narik mantel suaminya. Alih-alih menurut, pria itu malah terus berjalan menuju pondok. “Tidak bisa, Precious. Ini adalah hari spesial kita. Aku harus memberikan pelayanan ekstra untuk istriku tercinta.” “Kalau kau mau memberikan pelayanan ekstra, lakukan saja nanti malam. Sekarang, kau sebaiknya menghemat tenaga. Kau mengerti maksudku, bukan?” bisik Amber sebelum memasang senyum penuh arti. Mendengar nada menggoda tersebut, hati Adam pun tergelitik. Sambil tertawa samar, ia melirik dengan mata menyipit. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Aku sudah mempersiapkan banyak tenaga untuk hari ini. Sekarang, bersiaplah memasuki istana kita!” Sedetik kemudian, Adam mengangkat istrinya lebih tinggi. Tak menduga gerakan itu, Amber spontan memekik. “Adam, berhati-hatilah! Jangan lupakan bayi kita di dalam perutku!” “Tenang, Sayang. Aku tidak mungkin membiarkanmu jatuh. Sekarang
“Adam,” desah Amber sambil menegakkan punggung. Dengan mata bulat, ia berkedip-kedip tegang. “Sepertinya, seseorang sedang memata-matai kita.” Dalam sekejap, seluruh sel dalam tubuh Adam terisi oleh ketegangan. Dengan lengkung alis yang serupa, ia balas berbisik. “Kau tahu dari mana?” Lewat gerak bola mata, sang wanita menunjuk jendela di balik punggung suaminya. “Kurasa orang itu sedang merekam kita.” “Apakah sekarang juga masih?” Sang pria tidak berani menoleh ke belakang. Setelah memeriksa sekali lagi, Amber mengangguk. “Masih. Apa yang harus kita lakukan?” Tanpa terduga, Adam beranjak dan menempelkan bibirnya ke telinga sang istri. “Kau tunggu saja di sini dan berpura-puralah tidak tahu. Aku akan diam-diam menyergapnya.” Dengan raut tegang, Amber membiarkan Adam berjalan menuju dapur. Ia tahu suaminya itu pasti berencana keluar lewat jendela belakang. “Semoga itu bukan orang jahat. Semoga tidak ada bahaya yang mengancam Adam.” Bibirnya terus membisikkan doa hingga tiba-tiba
“Lihatlah, Adam! Sekarang, seluruh dunia tahu apa model lingerie terbaruku. Kenapa kau mengangkatnya setinggi itu?” gerutu Amber saat melihat foto yang viral di media-media orang dewasa. “Aku tidak tahu kalau perempuan serakah itu masih berani merekam kita,” sahut Adam tanpa dosa. Sedetik kemudian, ia merangkul wanita yang duduk menghadap komputer itu. “Sudahlah, jangan marah! Setidaknya, dia tidak menyebarkan video kita di sofa. Kau tahu kalau itu sangat panas, bukan?” Amber sontak melirik dengan alis berkerut. Sebagian kekesalannya telah tergantikan oleh kecemasan. “Menurutmu, apakah mungkin dia sedang menunggu pihak yang berani membayar mahal untuk video kita?” “Kau berpikir kalau perempuan serakah itu sungguh merekam momen itu?” tanya Adam sambil memundurkan kepala. “Aku hanya bercanda, Precious. Dia bisa terjerat kasus pornografi jika menyebarkan video kita.” “Itu mungkin saja terjadi. Dia tipikal orang yang menghalalkan segala cara demi mendapat keuntungan,” tutur Amber seray
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."