Tanpa melepas pagutan, Tuan Smith mendorong Amber sedikit demi sedikit menuju kamar. Ketika ia merebahkan sang murid ke atas kasur, barulah wanita itu tersentak. “Adam ....” Belum sempat Amber bicara, pria itu kembali membungkam mulutnya. Tabuhan drum dalam dada sontak bertambah kencang. “Gawat,” pikir wanita yang tidak berdaya itu. “Ini tidak boleh dibiarkan. Sadarlah, Amber. Beruang Gila ini tidak mencintaimu. Dia hanya pria yang kesepian dan saat ini kau adalah pelampiasannya.” Dengan sekuat tenaga, Nona Lim melawan kehendak hati. “Adam—“ Tuan Smith tidak membiarkannya lepas. Tangan pria itu malah bergerak ke arah selatan. Sebelum si Beruang Gila sampai ke tujuan, Amber mendongak membebaskan mulutnya. “Adam, hentikan!” Pria itu seketika membuka mata. Napasnya yang terengah-engah terasa membara di leher sang wanita. Setelah beberapa kali mengerjap, ia akhirnya mengangkat wajah. Begitu menangkap sorot mata Amber yang nyaris putus asa, ia bergegas bangkit dan mencengkeram kepala.
Amber terbangun oleh kehangatan yang menggelitik lehernya. Sesekali, kelembutan itu berpindah ke pundak, membuatnya terbuai dan enggan membuka mata. Pijatan di dekat jantung pun menambah kenyamanan, membuatnya betah memperpanjang tidur. Ketika sesuatu memasuki bagian selatan, barulah perempuan itu membuka mata. Erangannya sendiri telah membangkitkan kesadaran. “Selamat pagi, Tukang Tidur,” sapa Adam tanpa memindahkan jari. Dengan lembut, dikecupnya pipi merah Amber. “Kita melakukannya lagi?” tanya wanita itu dengan suara serak. “Ya. Kau mau memarahiku lagi?” Sang pria mengangkat sebelah alis dan memperhalus gerakan. Akan tetapi, sang wanita malah kembali terpejam dan mendesah. “Apa gunanya aku marah? Semua sudah terjadi,” bisik Amber sebelum memutar badan dan menatap Adam lebih lekat. “Sihir apa yang kau gunakan kepadaku?” Sembari tersenyum miring, si Beruang Gila menggelitik telinga Nona Lim dengan napasnya. “Kaulah yang menyihirku. Aku tidak bisa melepasmu dari benakku.” Mend
“Ck, laki-laki itu lagi,” gerutu Adam sebelum mendengus cepat. “Siapa?” tanya wanita yang melongok dari balik punggung kekarnya. “Tunanganmu,” jawab Tuan Dingin ketus. Mendeteksi kekesalan sang pria, Amber sontak mengulum senyum. “Berhentilah menyebut Sebastian tunanganku. Kami hanya bersahabat,” tegasnya seraya memiringkan kepala, memeriksa raut wajah Adam dari sudut pandang yang lebih jelas. “Jadi, apakah boleh aku mengangkat telepon darinya?” “Kenapa kau meminta izin dariku? Memangnya, aku suamimu?” celetuk Tuan Dingin, terdengar agak kekanakan. Tawa kecil spontan terlepas dari mulut sang wanita. “Kau adalah guruku dan sekarang, kita sedang dalam pembelajaran. Karena itu aku meminta izin darimu. Jadi, boleh atau tidak?” “Angkat saja,” jawab Tuan Smith sambil menegakkan badan. Pria itu tahu, posisinya menyulitkan Amber untuk meraih ponsel. Dalam hati, ia berharap nada dering berakhir sebelum sang wanita sempat menerimanya. “Aku tidak akan lama,” bisik Amber sembari menepuk-n
“Kita mau ke mana? Bukankah aku harus menyelesaikan tugas?” tanya Amber dengan nada yang cenderung datar. "Amber, apakah kau percaya kepadaku?" Mendapat balasan semacam itu, alis sang wanita terangkat lebih tinggi. "Kenapa bertanya begitu?" "Jawab saja. Kau percaya kepadaku atau tidak?" desak Adam dengan kepala yang agak dimajukan. Ia ingin ketulusannya terlihat. Namun, sekalipun jarak pandang mereka terpangkas, Nona Lim tetap menaruh curiga. Ia tidak bisa menerka apa yang direncanakan oleh Tuan Smith. "Ya," sahutnya setengah hati. Sedetik kemudian, sang pria menyodorkan sebuah penutup mata. "Kalau begitu, pakai ini." Melihat benda yang terbuat dari kain hitam tersebut, Amber sontak mengernyit. "Dari mana kau mendapatkan ini?" "Tenang saja. Ini bersih dan wangi. Pakailah!" Adam menyerahkan penutup mata itu ke tangan sang murid. Namun, bukannya menurut, Amber malah memicingkan mata. "Kau tidak berencana membawaku ke danau lalu mendorongku ke dalam kolam, bukan? Ingat! Aku in
“Kau yakin akan melakukan apa saja untukku?” Amber menaikkan sebelah alis, melukiskan keraguan. “Ya. Percayalah padaku.” Adam memegangi kedua pundak sang wanita dan menyejajarkan pandangan. “Aku akan menjadikanmu seorang ratu,” ucapnya penuh penekanan. “Bisakah kau membuktikannya kepadaku? Aku ingin kau mengalami apa yang kurasakan saat kau menindasku dulu,” tutur Amber santai. Ia merasa berada di atas angin. “Tidak masalah. Aku memang pantas mendapat balasan. Silakan lakukan semaumu,” sahut Tuan Dingin sembari merentangkan tangan. Ia seperti sudah pasrah menerima segala jenis perlakuan. “Kalau begitu,” desah sang wanita sebelum tersenyum miring, “terima ini!” Dengan sekuat tenaga, Amber mendorong pundak Adam. Namun, bukannya melihat pria itu jatuh, dirinya malah terpental mundur dan mendarat di tumpukan salju. “Akh!” Menyaksikan kekonyolan perempuan itu, Tuan Smith nyaris memuncratkan tawa. “Hei, apakah kau baik-baik saja?” Dengan wajah cemberut, Amber berusaha bangkit. “Kenapa
Seketika, paru-paru Adam bergetar hebat dan wajahnya memucat. Keringat dingin perlahan-lahan mendesak keluar. Masa lalu telah berseliweran dalam benaknya. Nyaris tidak ada tempat untuk Amber bertahta. “Kenapa baru sekarang dia menghubungiku?” gumam pria itu sebelum terpejam menahan air mata. Retakan dalam hati yang dikiranya telah sirna kini menganga lebar. Rasa sakitnya menjalar seakan meremukkan badan. Tiba-tiba, Amber mendorong pintu dan melangkah masuk. Adam pun tersentak dan membuka mata. Dengan kesadaran utuh, tangannya dapat kembali digerakkan. Secepat kilat, pria itu menghapus pesan yang tidak lagi diharapkan. “Bukankah aku tepat waktu? Kami hanya mengobrol selama dua setengah menit,” tutur Amber santai. Tanpa membuang waktu, Adam mengeringkan bukti kesedihan. Setelah mengisi paru-paru dengan udara yang lebih segar, ia beranjak dari kursi dan langsung merengkuh kekasih barunya. “Aku mencintaimu, Amber. Aku sangat mencintaimu,” bisiknya terdengar sangat putus asa. Mendapa
Napas Adam kini bergemuruh. Rasa panas dalam dada tidak mampu lagi diredam. Kenangan yang terputar dalam otaknya sukses mencungkil luka. Dengan mata merah, ia menatap nama perempuan di layar komputernya. “Kenapa kau kembali di saat aku sudah berhasil melupakanmu?” batin pria itu sembari mencengkeram mouse lebih erat. “Tidak bisakah kau melepasku dari bayang-bayangmu?” Setelah menarik napas berat, Adam mulai menggeser kursor. Namun, bukannya menekan tombol hapus, ia malah membuka pesan itu. “Dear Adam, Kenapa kau tidak membalas pesanku? Apakah kau sudah menghapusku dari ingatanmu? Atau menempatkan perempuan baru di hatimu? Sudah bisakah kau mengganti arah cahayamu? Aku tahu kau kecewa padaku. Tapi, aku selalu berharap kau sudah memaafkanku. Belakangan ini, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku menyesali keputusanku dulu. Hari-hari setelah kepergianmu menjadi sangat redup. Salahkah jika aku mengharapkan kau kembali kepadaku? Aku sangat bodoh telah membuang jimatku.” Setetes a
Selangkah demi selangkah, Amber mendekati pintu. Hatinya berdebar dan tangannya gatal. Kegugupan telah menajamkan sel-sel sarafnya. “Adam pasti menyembunyikan sesuatu di sini,” batinnya yakin. Beberapa saat kemudian, ia telah duduk di depan komputer dan menekan tombol ON. Tanpa membuang waktu, wanita itu memeriksa email. Hanya itu cara Adam berkomunikasi dengan dunia luar. Namun anehnya, tidak ada pesan mencurigakan di kotak masuk. “Apakah Adam menghapusnya?” gumamnya seraya memeriksa tempat sampah. Detik berikutnya, perhatian Amber tersedot oleh sebuah nama. “Ruby?” Dalam sekejap, ingatan tentang foto yang dibakar oleh Adam terlintas dalam benaknya. “Apakah perempuan anggun berambut merah itu ... wanita ini? Mantan istri Tuan Smith?” Sambil menahan napas, ia membuka pesan. Begitu mulai membaca, matanya langsung berkaca-kaca. Dadanya sesak seakan terimpit oleh beban berat. “Salahkah jika aku mengharapkan kau kembali kepadaku?” Berulang kali Amber membaca kalimat ini. Semakin seri
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."