“A-apa? Dasar berengsek,” umpatnya. “Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu tidak menghalangiku di kolam tadi, aku sudah berhasil memberinya pelajaran.”
“Mana yang lebih baik? Memberinya pelajaran karena melecehkanmu dengan kalimat yang dia ucapkan atau memenjarakannya karena perbuatan yang dia lakukan yang bisa dibuktikan?” tanyaku. Dia berpikir sejenak. Amarahnya segera berkurang.
“A-apakah dia berhasil ….” Dia memegang bagian depan piyamanya, melindungi dirinya sendiri.
“Tidak. Mereka belum sempat melakukan apa pun kepadamu.” Aku menenangkannya. “Dokter sudah memeriksa keadaanmu.” Dia mengangguk pelan.
“Apakah dia sedang berada di penjara?”
“Iya. Bersama ketiga temannya.”
“Semoga saja mereka bisa ditahan cukup lama supaya jera dan tidak melakukan hal yang sama lagi.” Dia merapikan rambut dengan tangannya. “Jason berengsek dan suka tidur dengan perempuan mana saja, tetapi setidaknya dia tidak memaksakan kehendaknya. Pria ini gila. Aku
Kepalaku panas dengan emosi, tetapi aku tidak bisa mengonfrontasi Jason lewat telepon. Aku harus menunggu sampai kepulanganku nanti untuk bicara dengannya. Dan kami harus bicara dengan sangat serius. Keputusan bodohnya itu telah membawa Jovita, sumber masalah sebenarnya, ke dalam keluarga kami. Bukan hanya nyawanya, kini nyawaku, Celeste, dan Yosef pun ada dalam bahaya. Dan aku tidak tahu bagaimana urutan kejadiannya nanti karena segalanya telah berubah total sekarang. Bagaimana aku bisa lahir dalam keluarga yang tidak bisa aku pahami ini? Untuk membuang amarah, aku memutuskan untuk berenang. Sudah akhir pekan, jadi aku tidak terkejut saat berdesakan dengan orang banyak di elevator. Ketika pintu tiba di lantai dasar, orang-orang berebutan untuk keluar. Aku menunggu di belakang. Saat orang dari luar mulai masuk, aku terkejut melihat satu wajah yang aku kenal. Dia tidak seharusnya berada di sini. Dia tidak sendiri melainkan bersama dua orang yang tidak aku kena
Sejak kapan dia pandai bersandiwara dan bersikap tidak terjadi apa-apa selama kami makan malam? Aku pikir dia sama sekali tidak menyadari kehadiran laki-laki itu di sana. Ternyata dia melihatnya. Baiklah. Ini akan menjadi malam yang panjang bagi kami berdua. “Akan aku jelaskan.” “Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Dia mundur saat aku mencoba untuk mendekatinya. “Dia bahkan menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Aku kecewa kepadamu, Jonah.” Dia mendekati kopernya, mengambil pakaian tidurnya, dan masuk ke kamar mandi. Aku memilih untuk menonton televisi di ruang depan dan membiarkan dia sendiri di kamar. Ketika dia tidak bisa tidur karena terlalu emosi, dia akan datang sendiri dan bergabung bersamaku. Celeste tidak pernah mengecewakanku. Dia begitu mudah dibaca. Setelah beberapa menit berada di dalam kamar, berbaring di tempat tidurnya, dia keluar dan menatapku yang sedang duduk santai. Tanpa menoleh ke arahnya, aku menepuk permukaan sofa di sisi
“Dia bukan bekasmu, Jason. Karena kamu tidak pernah memiliki tubuhnya, apalagi hatinya. Yang kalian miliki sebelumnya hanya status. Kamu bahkan lebih suka menghabiskan waktu dengan perempuan lain daripada mengenal calon istrimu,” ralatku. “Dan kamu pikir dia akan memberi tubuh dan hatinya untukmu? Kamu yang bahkan tidak bisa membuat wanita bertahan bicara denganmu lebih dari lima menit?” Dia tertawa. “Lihat saja dirimu. Kamu pergi perjaka, pulang juga masih sama. Kamu gagal menidurinya selama tiga hari di Bali.” Aku tidak membalas ejekannya dan memilih untuk keluar dari ruangannya. Berdebat dengannya tidak akan menghasilkan apa pun. Lagi pula apa yang aku dan tunanganku miliki lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Dia tidak akan bisa memahami hal itu. Meskipun kami baru saja kembali pada pagi itu dari Bali, aku harus mengikuti permintaan Bunda untuk menemaninya mempersiapkan pernikahanku. Celeste juga ikut serta. Mereka memilih entah apa, aku tidak ikut camp
~Celeste~ Aku sangat lelah selama beberapa hari terakhir karena harus mempersiapkan pernikahanku dengan Jonah. Acaranya kurang dari satu bulan lagi dan masih ada banyak hal yang perlu dipersiapkan. Sejak pulang dari Bali, aku belum sempat beristirahat. Mungkin rasa lelah ini semakin terasa karena aku tidak bahagia. Bila pasangan lain tidak sabar untuk menyambut hari pernikahan mereka, aku sebaliknya. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Pada satu sisi, aku menyukai Jonah dan semua hal romantis yang dia lakukan kepadaku. Tetapi di sisi lain, aku membencinya, terutama saat dia memberi sinyal yang membingungkan. Tante datang menjemputku siang tadi dari rumah dan mengajakku makan bersama, kemudian kami menikmati perawatan di sebuah tempat praktik dermatolog, dan di sinilah aku sekarang, di sebuah salon agar tampil cantik pada sebuah acara yang akan aku hadiri bersama Jonah. Saat tunanganku tiba menjemputku, aku harus jujur mengatakan bahwa dia sangat ta
~Jonah~ Wajah Bunda sangat bahagia saat kami sarapan bersama pada Minggu pagi itu. Berita mengenai aku dan Celeste berada di halaman utama hampir semua surat kabar cetak dan daring. Bukan hanya itu, berita di televisi juga tidak henti menayangkan mengenai kabar pertunangan kami. Semua karena insiden di mana aku menyelamatkan Celeste dari kecelakaan. Tetapi foto maupun video yang viral adalah saat aku membopongnya dan menciumnya di mobil. Jovita hanya bisa cemberut dan tidak mengatakan sepatah kata pun karena perkataannya tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, orang-orang lupa bahwa Celeste pernah bersama Jason. Mereka hanya memberinya label sebagai kekasih, tunangan, atau calon istri Jonah Diandra Putra. “Celeste cantik sekali, ya, Yah. Mereka benar-benar serasi.” Bunda menunjukkan sesuatu yang ada pada layar ponselnya kepada Ayah. “Aku tidak sabar menunggu hari pernikahan mereka. Aku ingin sekali melihat dia dengan gaunnya dan Jonah dengan tuksedony
Dengan rasa bangga, aku menggandeng tangan istriku melewati meja demi meja yang telah diisi oleh para tamu. Mereka sedang menikmati makanan, tetapi tidak membiarkan kami lewat tanpa lirikan mata mereka. Tidak ada yang bisa menahan dirinya untuk tidak menatap kagum ke arah Celeste. Kini mereka bisa melihat sendiri mengapa kami memilih dia untuk masuk dalam keluarga kami. Kami ditempatkan pada meja yang sama dengan orang tua kami dan Nevan. Bunda tidak berhenti tersenyum karena Celeste akhirnya menjadi menantunya juga. Kami menerima ucapan selamat dari keluarga, kerabat, sahabat, juga rekan kerja. Tetapi yang ada dalam pikiranku adalah agar semua ini segera selesai dan aku bisa berdua saja dengan istriku. Celeste terlihat semakin gugup ketika kami tiba pada akhir acara. Kami berfoto bersama keluarga besar, lalu dipersilakan untuk meninggalkan tempat resepsi. Drama ritsleting tidak bisa dibuka masih terjadi saat melepaskan gaun pengantinnya. Aku tidak mau meliha
“Kita tidak akan melibatkan keluarga kita. Dan aku yakin bahwa mereka tidak akan tertarik kepada keluargaku. Lebih masuk akal bila mereka menjadikan kamu sebagai sasaran. Karena kamu adalah kelemahanku,” akuku jujur. Kelemahan terbesarku tetapi aku tidak akan mengatakan itu di depannya. Aku tidak mau membuat dia ketakutan atau terbebani dengan pernyataan itu. Sesuatu terjadi kepadaku pagi ini. Entah apa yang mengganggu kepalaku tetapi aku tidak bisa mengingat siapa yang telah mengakhiri hidupku sehingga aku hidup kembali pada waktu ini. Aku bisa mengingat kecelakaan maut itu. Aku ingat dengan Celeste yang melahirkan bayi kami dalam keadaan koma. Seorang bayi laki-laki yang sehat. Tetapi mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun setelah itu? Tidak bisa mengingat siapa yang menjadi musuhku adalah hal yang berbahaya. Jovita sedang berada dalam masa tenang, bukan berarti dia tidak akan melakukan hal yang buruk kepada istriku suatu hari nanti. Untuk mencegah hal bu
“Selamat datang!” sapa Bunda yang segera mendekati pintu mobil. Aku membuka pintu dan keluar, tetapi dia hanya memelukku sesaat. Bunda segera melewatiku dan membantu istriku keluar dari mobil. “Aku senang kalian akhirnya pulang juga.” Bunda memeluk Celeste dengan erat.“Terima kasih atas sambutan Bunda.” Celeste menatapku dengan bingung. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.“Ayo, kalian pasti sudah lapar. Aku meminta Endra untuk memasak makanan yang sangat enak. Semoga kamu menyukainya.” Bunda menggandeng tangan istriku dan membawanya masuk ke rumah, meninggalkan aku berdiri sendiri di sisi mobilku. Ayah hanya tertawa melihat kami.Aku adalah putra Bunda tetapi dia lebih antusias menyambut kepulangan menantunya. Dia bahkan memonopoli istriku sehingga aku tidak bisa berjalan bersamanya memasuki rumah. Untung saja aku masih bisa duduk di sampingnya di ruang makan.Jason dan Jovita juga sedang berada di rumah. Ha
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku