"Neng, Mas pamit tugas luar kota dulu, yah. Cuman tiga hari doang. Jangan kangen," goda Mas Wisnu saat aku memakaikan dia dasi.
"Hehehe, sok tahu. Mas, yang bakal kangen aku."
"Pasti kalau itu. Sehari gak bertemu saja, rasanya seperti setahun."
"Halah, lebay," kekehku.
"Makasih, Sayang." Mas Wisnu mencium keningku.
Meskipun belum ada buah hati, rumah kami selalu terasa hangat. Mas wisnu adalah tipe suami soswet sepanjang masa. Dia juga gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami.
"Jangan lupa ngabarin ya, Mas," ucapku sendu.
Mas Wisnu kerja di perusahaan BUMN yang bergerak di bidang minyak bumi. Dia simpan di perusahan pusat, Jakarta. Namun, kadang-kadang dia harus mengontrol kondisi perusahaan cabang, yang ada di luar kota.
"Siap, kamu juga semangat mengelola kafenya, Elina Sayang.""Siap Bapak Wisnu hardana yang tampan." Kami tergelak bersama.
kemudian, saling memandang. Ada yang aneh dari sorot matanya. Dia terlihat sendu meski tersenyum. Rasa takut kehilangan sangat kuat mendominasi hati. Padahal, bukan kali pertama aku ditinggalkannya tugas luar kota. Perasaan apa ini?
"Mas, jangan berpaling dari Neng, yah." Kalimat itu, seketika terlontar.
"Jangan ngomong macem-macem, Neng. Sampai kapan pun, di hati Mas, cuman ada kamu."
Sanyum merekah mendengar kata-katanya. Rasanya seperti angin segar dari surga. Semoga saja, bukan hanya manis di bibir, tapi hati juga.
"Ya sudah, sana berangkat. Nanti telat."
Tangan kananku menyodorkan Koper.
"Ngusir?" tanyanya penuh selidik.
"Ih, Mas, jangan becanda terus, buruan pergi."
"Tapi gak ngusir' kan?"
"Ya nggak dong, Mas. Mana mungkin Neng, ngusir belahan jiwa Neng," kekehku berusaha menggombal.
"Janji yah, Neng? apapun yang terjadi, Elina dan Wisnu harus terus bersama di sini, sampai ajal memisahkan."
"Sudah Mas, sana pergi. Ngomongnya agak aneh, gimana gitu."
Mas Wisnu hanya membalas dengan senyum tipis. Untuk cukup kali, dia mencium keningku.
"Babay, Sayang."
"Babay."
Mobil Mas Wisnu terus melaju menjauh. Ada rasa tidak enak saat melihatnya pergi. Segera aku tepis kemungkinan firasat buruk itu. Jangan berpikir aneh, Elina. Semua akan baik-baik saja.
Setelah kepergian Mas Wisnu, aku melanjutkan aktifitas sebagai ibu rumah tangga. Menyapu, dan cuci pakaian. Semua saya lakukan dengan kekhawatiran. Karena, setiap langkahku untuk mengurus suami adalah ibadah. Enaknya jadi Istri, hanya tersenyum pada suami saja, dapat pahala. Kata ibu, surga seorang Istri ada pada Suaminya. Perkataan itu, selalu aku ingat. Apapun yang aku lakukan, harus minta izin pada suami.
“Dompet Mas Wisnu?”
Mataku melotot ketika melihat dompet berbentuk kotak, berwarna coklat, yang terbuat dari kulit hewan, tergeletak di lantai. Mas Wisnu pasti tidak menyadari jika dompetnya jatuh di kamar.
"Kuitansi pembayaran WO Kusumadewi, Bandung?"
Keningku berkerut melihat kuitansi pembayaran sebuah wedding organizer di dalam dompetnya. Nominal yang tertera sangat fantastis. Ada kartu nama WO-nya juga. Siapa yang menikah? apa saudara Mas Wisnu , dia 'kan memang asli orang Bandung, dan semua keluarga besar tinggal di sana.
"Elina...."Suara Mas Wisnu membuatku syok. kuitansi dan kartunya langsung aku masukan ke dompet. Kemudian, melempar ke sembarang tempat, agar dia tak curiga.
"Iya, Mas."
Aku melangkah keluar kamar. Mas Wisnu terlihat sedang mencari sesuatu. Banyak pertanyaan yang ingin saya sampaikan, tetapi belum saatnya.
"Ko, balik lagi, Mas?" usaha berusaha biasa.
"Dompetku, gak kebawa, Neng. Kamu lihat gak?"
"Gak tahu, Mas, coba inget-inget, terakhir disimpen di mana?"
"Di kamar kali ya."Mas Wisnu terlihat sangat mengkhawatirkan. Dia langsung menuju kamar. Aku Hanya mengekor di belakangnya. kenapa ekspresinya sangat panik? ah, tentu dia panik, jika tidak ada uang, akan direpotkan bukan?
"Akhirnya ketemu."Dompet itu, ada di bawah ranjang. raut Mas Wisnu sangat lega saat mendapatkannya.
"Neng, belum cek-cek isi dompet, Mas 'kan?"
"Maksudnya, Mas?"
"Ah, tidak. Lupakan. Mas, pergi lagi yah. Udah telat."
Aku hanya mengangguk. Pertanyaan Mas Wisnu menambah daftar pertanyaan di hati. Apa dia menyembunyikan sesuatu. Jangan-jangan, Mas Wisnu.... Ah, tidak mungkin. Dia sangat mencintaiku. Hanya aku yang ada di dalam hati.
Sebisa mungkin, aku yakinkan diri agar tidak berpikir negatif. Walaupun, ada rasa perih yang terasa di lubuk hati.
"Aku harus cari tahu dan mendapatkan nomer admin WO Kusumadewi."
Cerobohnya aku, tidak memfoto kartu nama tadi. Bahkan, aku tidak tahu nama yang tertera pada kuintansi saking kagetnya. Tulisannya pun seperti aksara sambung. Tak sempat aku mengerti.
Meskipun demikian, aku harus tetap berusaha mendapatkan nama adminnya. Goegle atau I*******m pasti bisa membantu.
Setelah beberapa menit, akhirnya, aku menemukan nomer yang dituju.
"Halo?""Iya, hallo, kami dari WO Kusumadewi, siap mewujudkan pernikahan impian Anda. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Kenalkan, saya Elina. Sebelumnya mohon maaf, admin WO Kusumadewi, apakah WO anda membantu resepsi pernikahan klien bernama Wisnu hardana, bulan-bulan ini?"
"Maaf, Ada Apa dengan Ibu?"
"Saya saudaranya, tadi melihat kartu nama WO kusumadewi di dompet saudara saya. Ya ampun, dia sudah pergi, sebelum menjawab pertanyaan saya. Jadi, saya butuh infonya dari Kak admin."
"Maaf Bu, tidak ada nama itu."
"Tolong, dicek lagi, Kak admin. jadwal pernikahan bulan ini. Penting sekali buat saya."
Aku berusaha memaksa, rasa penasaran begitu menggebu.
"Sebentar, Bu. Coba saya cek."
"Maaf Bu, ada. Bulan ini memang ada yang menyewa jasa WO kami, tapi bukan atas nama Wisnu Hardana."
"Kalau begitu, boleh saya tahu siapa saja nama mempelai yang menyewa jasa WO Kusumadewi, bulan ini?"
"Maaf, Bu. Kami tidak boleh, memberi tahu info-info klien kepada orang yang tidak dikenal."
"Tapi ini penting, Kak admin. tolong bantu saya."
"Maaf Bu, tidak bisa. Kalau sangat penting, Ibu langsung datang saja ke sini, agar bisa izin sama pemilik WO kami."
"Baiklah, terima kasih."
"Sama-sama." Sambungan telepon pun terputus.
Rasa penasaran masih kuat di hati. Ada firasat aneh yang tidak bisa dijelaskan. Betul kata sebagian orang, bahwa perempuan adalah makhluk yang sangat peka. Bisa membaca ekspresi pasangannya, jika bertingkah tak biasa.
"Assalamualaikum, Aisyah?"
Aku langsung menelepon adikku yang kuliah di sekitar Jakarta.
"Waalaikumsalam, iya. Kenapa Mbak Elin?"
"Besok Sabtu kuliah libur 'kan?"
"Iya kenapa Mbak? Suaranya aneh gitu."
"Ikut Mbak ke Bandung, yuh, ada urusan penting."
"Hah, ke Bandung? mau ngajak aish wisata ke Tangkuban perahu, Mbak?"
"Bukan, ini lebih penting dari jalan-jalan. Cepet ke sini. Abis Asar kita Otw."
"Mau ngapain Mbak, enak banget kaya tahu bulat."
"Jangan banyak tanya Aish, ini urusan mendesak, sangat penting. Antara hidup dan mati."
"Aduh, lebaynya kumat. Baiklah, Aish packing-packing dulu ya."
"Oke."
Sambungan telepon langsung aku matikan. Bergegas menyediakan beberapa baju dan barang yang perlu dibawa.
Mas Wisnu, kita buktikan kecurigaanku. Apa benar kuitansi pembayaran itu milikmu? jika benar, pernikahan siapa yang akan dilaksanakan?
"Serius, Mbak, mau memata-matai Mas Wisnu, cuman karena Kuintansi WO?" tanya Aish memastikan keputusanku yang mendadak."Yakin 100%," jawabku mantap sambil memanaskan motor.Di rumah ini, hanya ada satu mobil. Sering dibawa Mas Wisnu bekerja. Biasanya, aku hanya menggunakan motor jika berpergian kemana-mana. Aku pernah minta dibelikan mobil, tapi Mas Wisnu menolak. Katanya, cukup satu saja. Uangnya lebih baik ditabung. Sampai saat ini, aku tidak tahu, berapa banyak tabungannya. Mas Wisnu hanya memberi jatah bulanan saja. Gaji bulanan, tidak sepenuhnya diberikan kepadaku. Bodohnya diriku, yang terlalu percaya."Tapi, Mbak, kecemburuan Mbak tidak beralasan. Masa cuman karena Kuintansi WO, langsung berpikir aneh-aneh. Bisa saja, Mas Wisnu hanya membantu temannya untuk membayarkan jasa WO.""Mustahil, Aish." Mataku menatap tajam padanya. Heran, adikku kenapa lebih membela Mas Wisnu dibandingkan aku."Gak ada yang mustahil, Mbak. Mas Wisnu itu baik, dan setia. Gak mungkin macam-macam.""Ih
"Apa Anda serius mau membantu kami, Pak Arka?" tanyaku penuh selidik."Tentu," jawab Pak Arka sambil menaikkan kedua alisnya."Baiklah, apa rencana Mas Arka?" tanya Aish antusias. "Tapi, Aish, kita jangan terlalu percaya sama dia. Kalau dia berbohong dan menutupi kebenarannya gimana?" bisikku pada Aish."Tenang saja, saya benar-benar akan membantu. Karena saya tida tega melihat istri yang dibohongi oleh suaminya," ujar Arka seakan mendengarkan ucapanku pada Aish."Mangkannya jangan suudzon," ujar Aish tepat di kupingku.Aku hanya melotot kepadanya. Dasar adik tidak sehati. Harusnya dia tidak memojokkanku. Agar aku tidak salah tingkah."Bagaimana, setuju dengan bantuan dan rencana saya?" tanya Arka sambil menyodorkan tangannya."Setuju," jawab Aish tanpa meminta persetujuan dariku.Gadis ingusan itu, malah cari perhatian kepada Arka. Dia terus tersenyum, sementara tangannya masih berjabatan."Aish." Aku senggol dia, agar melepaskan tangan Arka."Eh, hilaf Mbak." Tanpa merasa dosa, Ai
"Tenang, Mbak. Jangan ngamuk sekarang. Lebih baik kita pulang, dan persiapkan kado terindah untuk pernikahan mereka," lirih Aish."Ayok, kita keluar dari sini. Mbak butuh waktu menenangkan diri." Aish menarikku menuju kasir, dan mengajakku pergi."Ah! tega sekali Mas Wisnu menghianatiku. Apa kurangku selama ini, hah? tega sekali kamu, Mas!" teriakku.Aish sengaja mengajakku ke sebuah taman. Dia bilang, aku bebas mengekspresikan segala rasa sakit yang ada di hati pada tempat ini. Taman ini cukup luas, dengan pepohonan yang rindang. Cukup memberi ketenangan kepadaku. Untung saja, suasana tidak terlalu ramai, sehingga bebas berteriak. Meskipun, sesekali, ada beberapa orang yang menatap heran. Mungkin, dia pikir aku gila."Udah ngamuknya, Mbak?" tanya Aish enteng sambil duduk minum es teh."Ih, Aish, kamu kenapa tenang banget sih? harusnya ikut kesel dong. Mbakmu ini dikhianati, bahkan mau dipoligami. Edan, kamu malah setenang itu.""Hahaha, terus aku harus apa, Mbak? ngamuk-ngamuk di sin
"Sekarang," intruksiku. Aish langsung datang bersama gerombolan preman. Disusul tim pemadam membawa selang hydrant. Semua mata menatap tanpa berkedip. Pertunjukan spesial, akan dimulai. "Serang!" teriak Aish. "Apa-apaan, ini?" tanya Aida panik. Brak! Brak! Para preman langsung mengubrak-abrik meja, kursi dan merusak pelaminan serta hiasan pesta lainnya. Sedangkan para pemadam, menyemprotkan air berkekuatan tinggi. Menyiram para tamu undangan dan keluarga Mas Wisnu di pelaminan. Satu petugas lainnya, khusus menyiram Aida dan Mas Wisnu. "Arrgh!" Para tamu undangan berhamburan keluar tempat resepsi. "Arrgh! gila kamu Elina!" teriak Aida histeris saat terkena semprotan air. Aku sengaja menepi ke tempat yang aman dari penyemprotan. Menjauh dari mereka. Rasanya Puas melihat kericuhan ini. Ide Aish dan Arka memang luar biasa. Dibandingkan harus bersikap kriminal dengan cara mencekik atau mengancam mereka, lebih baik, mengacaukan acaranya dengan perbuatan konyol seperti ini. Tidak aka
"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan." Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai. "Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku. "Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham." "Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi. "Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya." Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit. "Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan. "Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?" "Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Keb
"Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
POV AishApa kira-kira tugas terkahir Jex sebagai mafia? sepanjang perjalanan Jakarta - Bandung aku terus berpikir keras. "Sayang, apa sebenernya yang harus diselesaikan? kamu tidak berniat membunuh seseorang 'kan?""Tidak, istriku. Ada wasiat dari Ayah. Setelah itu, hidupku akan bebas.""Apa?""Nanti aku beritahu, lebih baik kamu tidur. Kamu pasti lelah.""Baiklah."Jex bukan orang yang bisa dipaksa untuk bicara. Maka aku ikuti saja keinginannya. Yang terpenting, dia sudah tidak terobsesi lagi oleh dendam. Aku hanya ingin kami bisa hidup bahagia tanpa di bayang-bayangi kecemasan. Ternyata hidup menjadi bagian dari seorang mafia sangat tidak nyaman. Meskipun uang berserakan di mana-mana. ****Satu bulan berlalu, Perlahan Jex menyelesaikan tugas terakhirnya. Dia menyerahkan semua saham perusahaan Sagar Buana pada Denis. Dengan rasa tak percaya, Denis mau menerimanya. Jex hanya akan mengambil sedikit harta untuk membeli tanah dan modal untuk memulai hidup baru di desa emak dan bapakku
POV JexMataku membeliak kaget. Kamar berantakan. Baju-baju Aish sudah berkurang dari lemari. Aku pikir dia hanya marah biasa. Ternyata, Aish nekat pergi dari rumah ini. Hampir 5 jam aku melupakannya setelah pertengkaran yang terjadi di antara kami. Aku terlalu sibuk dengan dunia kesedihanku. Sampai tidak sadar Aish meninggalkanku."Ke mana istriku pergi?" tanyaku penuh amarah kepada penjaga."Ta-tadi nyonya naik taksi online sambil membawa koper, Tuan. Saya pikir sudah izin sama Tuan.""Bodoh!"Bugh. Aku pukuli para penjaga satu persatu. Dasar manusia berotot yang tidak bisa diandalkan. Mana mungkin aku membiarkan Aish keluar sendirian tanpa penjagaan anak buahku. Kenapa mereka begitu bodoh, sampai tidak bisa melarang kepergian istriku? Amarah aku luapakan secara brutal. Semua anak buahku menjadi pelampiasan emosi. Mereka semua babak belur. Darah mengucur di bagian bibir. Aku berubah seperti Jex yang dulu. Menjadi brutal dan ganas. Bagaikan singa hitam. Aku segera menuju rumah Mb
POV Aish "Ayah!" teriak suamiku diiringi isak tangis.Persendian lemas. Aku tersungkur di lantai. Menunduk sambil mengeluarkan air mata. Tak sanggup memandang wajah ayah yang sudah penuh darah. Sedangkan suamiku terus meraung mengeluarkan kesedihan. Dia memeluk dan mencoba membangunkan ayahnya. Namun, semua itu percuma. Ayah sudah kembali ke alam keabadian. Dia meninggal karena memilih menyelamatkanku dan cucunya. Tak gentar menghadapi ajal. Pengorbanannya untukku dan Jex begitu luar biasa. Namamu akan tersimpan baik di hatiku ayah.Maafkan aku tak bisa menyelamatkanmu. Terima kasih telah mengorbankan nyawa demi aku. Kau bagai malaikat penolongku. Jujur, sesak di dada begitu menghimpit. Oksigen seakan tak mau masuk ke rongga paru-paruku. Rumah yang penuh canda tawa dan ketenangan ini, mendadak gelap. Seiring dengan kepergianmu. "Ayah ... maafkan aku. Ayah ... bangunlah, Arrgh!"Jex mencengkram pundak ayah. Menggoyangkan tubuhnya. Mengaggap ayah hanya sedang tertidur pulas. Suamiku
POV AraavSialan. Pria tua seperti Sagara bisa memporak porandakan bisnisku dalam hitungan hari. Di tambah lagi kecerobohan Arka dan anak buahnya. Mereka memang tidak bisa diandalkan. Lengah meninggalkan jejak ketika membakar ruko. Arka juga dituduh melakukan penculikan karena bertingkah gegabah. Aku sudah bilang, jangan bertindak sembarangan. Rusak sudah rencanaku. Jex dan Sagara bersekongkol menghancurkanku. Dia membuatku masuk penjara. Semua karena penghianatan manusia busuk seperti Arka. Dia dijebloskan terlebih dahulu ke penjara, dan sengaja menyeret namaku ikut dengannya. Dasar manusia sialan. "Aku sudah bilang, kau ini bodoh. Kau pintar bercuap-cuap, tapi selalu salah bertindak," hardik Gisel.Adik sialan yang merasa paling hebat. Beruntung aku berhutang pertolongan kepadanya. Kalau bukan karena dia aku masih mendekam di penjara. Ruangan yang mirip tempat pembuangan sampah. Mimpi buruk berada di sana. Hanya dalam hitungan hari saja, membuatku trauma. Aku bersumpah akan mengh
POV Tuan Sagara"Tu-tuan, jangan emosi dong. 'Kan bukan aku yang seperti iblis."Perempuan bodoh kesayangan Jex ketakutan. Dia tak setangguh yang aku pikir. Awalnya, aku mengira dia perempuan tangguh, karena berani melawanku pada waktu itu. Namun, tetap saja seorang perempuan sesuai kodratnya. Hatinya lembut. Lebih tepatnya dinamakan lemah."Jangan cengeng. Baru seperti itu saja ketakutan. Kamu sedang mendengar aku bercerita, bukan menonton arena gulat.""Hihihi, Tuan tetep serem walaupun sedang curhat."Anak ingusan ini malah mengejekku. Kalau bukan istri dari putra angkatku, sudah aku tampar dia. Tak sopan bersikap demikian di hadapanku. Berani meledek mafia paling hebat se-Asia. Sebenernya, dia orang kedua. Maria sudah terlebih dahulu bersikap konyol begitu ketika bersamaku. "Cepat bereskan dapur ini. Jangan sampai ada debu sedikit pun. Kau terlalu lancang menyuruhku banyak bicara.""Maaf, Tuan. Aku tidak menyuruh. Hanya saja, Tuan yang bercerita duluan. Tapi, tak apa. Sebagai me
"Buburnya sudah siap, Ayah.""Hahaha, aku suka panggilan itu, Lion.""Ternyata kau membawa pujaan hatimu, hahaha. Kita tidak sedarah, tapi tingkahmu mirip denganku," sambungnya ketika menyadari kehadiranku.Sungguh aneh. Tuan Sagara yang ada di hadapanku saat ini, sangat berbeda dengan sosok Tuan Sagara saat kami pertama berjumpa. Dia kelihatan seperti orang tua pada umumnya. Dengan rambut yang beruban, dan kesehatan yang mulai memburuk. Apa memang begini kehidupan seorang mafia? mereka bisa menyesuaikan diri dengan sesuka hati. Tergantung tempat dan kepentingan. "Aish sudah membuat bubur. Silakan di makan, Ayah. Setelah itu, minumlah obat.""Berikan buburnya, jika tidak enak, istri cantikmu ini tak akan selamat, hahaha.""Ih, serem, Jex," bisikku panik. Baru saja pria tua ini aku puji, karena bersikap normal. Sekarang dia malah berani mengancamku. Padahal aku tidak melakukan kesalahan ."Tak usah takut, hanya bercanda.""Bercanda dari Hongkong. Orang mukanya serem gitu," bisikku kes
"Om, Om, mukanya ko, serem," ledek Bilqis malu-malu.Anak itu memang begitu. Meskipun kelihatan ketakutan, tapi suka jahil. Salah satunya senang berceloteh. Terlalu jujur. Aku peluk dia sambil tertawa. Sedangkan Jex tampak tak terima dikatakan demikian. "Santai dong, Om Jex tampan. Bilqis bicara seperti itu karena dia ingin PDKT sama kamu. Peka dong.""Aku tak paham caranya mendekati anak kecil," jawab Jex tanpa dosa.Dia tenang saja duduk di sampingku. Tanpa niatan ingin mengajak Bilqis bermain. Aku punya ide supaya suasana di rumah ini tidak kaku. "Iqis, suka main kuda gak?""Suka dong, Tante. Tapi ayah sedang masak. Jadi, Iqis gak bisa main kuda-kudaan.""Nah, Tante punya teman baru untuk Aish main kuda-kudaan.""Serius Tante? mana temannya.""Nih, di samping Tante.""Aku maksudnya?" tanya Jex kaget. Dia tampak tak terima dengan usulanku."Ya iyalah, suamiku sayang. Siapa lagi? kamu tega istrimu jadi kuda? hi, dasar.""Aish, jangan begitu," tegur Mbak Elina.Kakakku membawa dua
POV AishHari ini semuanya berubah. Aku bisa merasakan pancaran kebahagian. Jex begitu menikmati sarapan bersama kami, dan Mbak Elina. Benar kata kakakku, suamiku butuh perhatian. Aku harus berdamai dengan takdir dan menerima semuanya. Rido terhadap ketentuan Gusti Allah. Awal mula perubahan sikapku, karena nasihat Mbak Elina dini hari tadi. Saat aku terbangun pukul 03.00 dini hari, aku melihat Jex tertidur sambil memelukku. Dengan kondisi kepalaku yang sudah tidak mengenakan hijab. Rasa kesal sempat menghampiri. Tak terima dengan sikap Jex yang lancang. Seenaknya dia melihat rambutku. Namun, perlahan emosiku reda. Ketika mendengarnya mengigau."Jangan ... jangan ambil Aish dariku. Aku mohon ...." Tampaknya Jex bermimpi buruk. Air mata menetes begitu saja. Padahal, matanya terpejam. Dari situ, hatiku sedikit tersentuh. Bertanya-tanya dalam diri ini. Apa sebesar itu cinta Jex padaku? sampai dalam tidurnya saja, dia tak mau kehilanganku.Aku berusaha mengingat-ingat lagi, apa yang su
POV JexMalam ini aku ceritakan semuanya pada Aish. Mulai dari kisah hidupku semasa kecil. Sampai konflik yang terjadi antara Tuan Nicolas dan adiknya, Tuan Sagara. Sepengetahuanku, Tuan Nicolas yang mempunyai sifat tamak. Ingin merebut semua yang menjadi milik adiknya. Sama halnya dengan Araav. Darah haus kekuasaan mengalir kental pada anak pertama Tuan Nicolas. Aish sangat antusias mendengarkan ceritaku. Meskipun, wajahnya seketika murung saat aku memberi tahu kebusukan Arka. Istriku harus tau. Walaupun, dia tak mungkin 100% percaya padaku. Namun, setidaknya Aish bisa berhati-hati. Jika sewaktu-waktu Arka mengganggunya. Baru saja mau merebahkan tubuh di kasur, tiba-tiba ada panggilan dari orang kepercayaan yang memegang bisnis ruko. Dia mengabarkan kalau Ruko habis terbakar. Sampai merembet ke perumahan milik Sagara Buana."Jex, mau ke mana?""Ada masalah, Aish. Kemungkinan besar, Araav dan Arka sedang membuat perhitungan padaku.""Maksudnya bagaimana?" "Aku sudah mengacaukan mar