Beranda / Romansa / Mempelai yang Tak Diharapkan / Ternyata masih peduli.

Share

Ternyata masih peduli.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Setelah pembicaraan kemarin Satya jadi murung. Dia mulai tak yakin bisa kembali bersama Tari. Perasaan bersalahnya makin membesar setelah tahu Tari sempat tak menginginkan kehadiran Sabia. Dan itu pasti karena kebencian Tari kepada dirinya.

Seharian Satya melamun, memikirkan langkah apa yang seharusnya dia ambil. Bolehkan egois dan memaksa untuk bersama? Atau hatuskah berbesar hati mengikhlaskan Tari bahagia dengan kehidupannya sendiri?

Semalaman dia tak bisa tidur, bayangan kehilangan Sabia dan Tari menghantuinya setiap kali menutup mata. Jadilah sampai adzan shubuh dia tak sekalipun tertidur. Dan pagi ini dia melamun lagi di teras.

Panggilan Bik Tutik yang sudah ketiga kalinya pun tak membuat pria itu tersadar dari lamunannya.

"Mas Satya," panggil Bibi sekali lagi sambil menepuk pundak Satya. Sontak membuat pria itu terkesiap. "Sarapannya sudah siap,"

"Oh iya Bik," jawab Satya, bangun dari duduknya lalu melangkah masuk mengikuti Bik Tutik.

Di meja makan sudah ada Sa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
tuh kan dari awal juga aku kurang suka Tari dgn Rendra, selain dia dulunya teman Satya bisa jadi dia deketin Tari buat balas dendam ke Satya. kyaknya si Rendra ini licik deh orangnya... kalo menurutku mending hadirkan cowok baru aja deh jgn Rendra yg jadi saingan Satya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ternyata wanita itu

    Dengan sangat terpaksa Satya mempersilahkan dua orang itu ikut masuk ke ruangannya. Duduk di sofa ruang kerjanya. Sedangkan Tari disuruhnya duduk di kursi kerjanya dan dia sendiri berdiri di samping Tari seperti bodyguard. Satya memang sengaja meminta Tari untuk duduk di kursi kerjanya agar tidak berdekatan dengan Rendra. Meski sudah mengetahui Rendra tunangan Erika namun tetap saja, ada rasa kesal jika melihat Tari berdekatan dengan pria yang sudah terang-terangan mengakui akan merebut ibu dari putrinya itu. Apalagi Erika sendiri pernah bercerita jika dirinya tidak mencintai calon suaminya dan ingin mengakhiri pertunangan yang diatur oleh orang tuanya. "Jadi, apa ada yang bisa menjelaskan?" ucap Erika setelah mereka saling diam. "Jujur, aku sangat penasaran." Erika menatap Satya, Tari dan Rendra bergantian. Tapi ketiga orang itu kompak diam. "Baiklah aku mulai dulu. Aku dan Rendra dijodohkan tapi kami sama-sama menolak. Jadi hubungan kami. hanya sebatas teman saja," ungkap Er

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Jangan pernah maafkan aku,"

    Di dalam mobil suasana menjadi hening, baik Satya atau Tari sama-sama diam. Sampai mobil memasuki tol dua orang itu masih diam. Sesekali Tari melirik Satya yang memangku Sabia. Pria itu tersenyum sambil memandangi wajah Sabia yang tertidur pulas. Pipi bayi itu terus jadi sasaran kegemasannya, ditoel dan dielusnya. "Emm..." Tari ingin bicara tapi bingung merangkai kata jadinya kembali diam. Wajahnya dibuang ke arah jendela. Menyadari itu, Satya pun membuka mulutnya. "Kenapa ada yang mau ditanyakan?" Satya menoleh. "Katakan saja, jangan selalu menyimpan perasaanmu yang akhirnya menjadikan kita salah faham." Tari mendengus kasar. "Ternyata wanita itu tunangan Pak Rendra. Aku pikir dia..." Tari menggantung kaliamatnya. Pelan dia menoleh, menatap Satya yang juga menatapnya. "Apa kamu menyukai Rendra?" tanya Satya yang membuat Tari tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali karena bingung, sampai akhir dia menyadari kesalahannya. "Bukan-bukan... Bukan begitu maksudnya. Ak

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Luapkan kemarahan dan kebencianmu,"

    "Maaf.... aku ti..." Kalimat Tari terputus. Satya memegang tangannya erat "Tidak, aku tidak mau mendengar kata maaf. Bukankah aku bilang jangan memaafkan aku. Hukum aku Tari, hukum sesukamu tapi jangan memintaku menjauh." Satya tak sanggup mendengar penolakan dari wanita itu. Dengan ragu-ragu Satya mengakat tangan hendak menyentuh pipi Tari. Namun wanita cantik terlihat langsung memejamkan matanya dengan kerutan di keninganya, seperti ketakutan.Traumanya ternyata masih ada dan itu membuat hati Satya seperti teriris, perih sekali. Meski tak yakin Satya melanjutkan niatnya untuk menyentuh wajah cantik di depannya. Perlahan Tari membuka matanya. "Kamu takut?" ucapnya dengan air mata yang berderai. Sakit sekali hatinya menyadari orang yang dicintai takut pada dirinya. Entah kerasukan setan apa sampai Satya tega memukul wanita baik-baik seperti Tari. Dulu Hatinya pasti buta sampai menuduh gadis lugu dan suci itu jala*n dan pelakor. Melihat tangis Satya Tari pun ikut menangis.

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Cemburu

    Sebelum melanjutkan perjalanan Tari meminta untuk mampir ke apotik sebentar. Saat Satya ingin ikut turun Tari melarang. "Cuma sebentar, tunggu di mobil saja sama Sabia." Satya menurut, meski begitu dari dalam mobil matanya terus mengawasi setiap gerakan Tari di dalam toko yang bagian depannya bertembok kaca. Hanya beberapa menit dan Tari sudah kembali dan mobil kembali melaju di jalanan. Tari mencuri pandang ke Satya terus menerus sampai membuat Satya bingung. "Ada apa?" tanya Satya. "Aku obatin," katanya ragu-ragu sambil menunjukkan obat yang tadi dibelinya. Sebuah senyum langsung menghiasi.wajah Satya. "Iya," jawabnya lalu memajukan wajahnya. Dengan pelan Tari mengoleskan salep ke wajah Satya yang terdapat luka goresan memanjang bekas kukunya. Tak hanya satu, ada tiga goresan. Satu di atas hidung dan dua di pipi kanan. Lalu pipi kiri Satya terlihat merah agak kebiruan, jika diperhatikan seperti bentuk jari tangan. Beruntung bentuknya tidak terlalu jelas karena

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Sikap bucin Abisatya.

    "Nanti kalau ketemu Jihan kamu pura-pura kita lagi marahan. Kamu kesal sama aku," ucap Satya. Saat ini, Satya, Tari dan Ganendra berada dalam satu mobil yang melaju menuju rumah Jihan. "Kenapa?" tanya Tari sambil memegangi putrinya yang asyik melihat keluar jendela. "Ya supaya kita punya alasan untuk menginap di rumah Jihan," jawab Satya dari bangku depan. Tangannya sibuk diatas layar ponselnya. Dery, sang asisten mengirimkan banyak email tentang pekerjaan yang harus dia periksa. "Tanpa berbohong aku bisa menginap di rumah Jihan." "Terus aku sama Ganendra bagaimana?" tanya Satya menoleh sebentar. "Hanya ini caranya sapaya aku punya alasan untuk meminta izin menginap." Dari balik kemudi Genendra hanya menyimak saja penting dua orang itu. Dia sudah kehabisan cara jadi kali ini akan coba mengikuti rencana Satya. "Nggak, aku nggak mau berbohong sama Jihan." Tari menolak, dia tak mau ikut campur rencana yang dibuat kakanya dengan Satya. "Kok gitu?" Satya menengok

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Isi hati Bestari yang sebenarnya.

    Bersama ayahnya Jihan, Satya dan Ganendra sholat berjamaah di mushola ujung gang. Setelah berbagai rayuan dan bujukan akhirnya Satya bisa mendapatkan izin untuk menginap di ruanh Jihan. Awalnya Jihan hanya mengizinkan Satya yang menginap tapi dengan alasan Ganendra tidak enak badan Jihan pun luluh. "Sejak di perjalanan Ganendra muntah terus. Mungkin asam lambungnya naik, dia juga mengeluh ulu hatiny sakit." Satya berbohong. "Tolonglah, aku tidak mungkin membiarkannya balik ke Jakarta sedirian. Kalau sampai kecelakaan atau bahkan me...." "Ok... silahkan menginap," kata Jihan terpaksa. Seperti yang dikatakan Tari, kakaknya dna Satya adalah dua orang yang memiliki kepribadian hampir sama, sombong dan menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginannya. "Kita ngobrol di sini dulu, sambil nunggu makan malam disiapkan." Ayah Jihan mengajak dua pria itu susuk di teras rumah. Menikmati langit yang dipenuhi bintang sambil berbincang-bincang. Membahas banyak hal, tentang duni

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perkelahian.

    "Astaghfirullah...." pekik Tari saat sampai di teras rumah. Di halaman nampak Ganendra dipegangi ayah Jihan dan Satya berdiri dengan tangan mengepal, sedang di tanah seorang pria tersungkur dengan wajah lebam dan dan darah di bagian mulutnya. "Ya Alloh....," Jihan ikut menjerit lalu segera menarik lengan Ganendra yang sedang dipegangi oleh ayahnya. "Kak Satya sama Kak Ganendra ngapain?" tanya Tari dengan mata melotot. "Tari," panggil Sandra melangkah mendekati Rendra. "Mereka berdua mengeroyok Pak Rendra sampai babak belur," adunya sambil menuding Satya dan Ganendra. "Astagfirulloh...." Karea kasihan Tari melangkah mendekati Sandra yang sedang membantu Rendra. Namun saat melewati Satya lengannya langsung ditahan. "Jangan kesana!"ucap Setya tegas. Tak mau membantah, Tari pun menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang tubuh Satya. "Sandra, buka matamu. Bajing*n itu hanya ingin manfaatkan kamu saja. Jadi, jangan tertipu dengan mulut manisnya," ucap Ganendra

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keras kepala Sandra.

    "Lihat apa yang sudah kamu lakukan?" ujar Alfa menatap mata tajam Sandra yang hanya menunduk. "Hampir saja kamu membuat aku dan Satya berkelahi." Bagaimana tidak, saking inginnya kabur menyusul Rendra yang dibawa ke klinik Sandra membuat Tari jatuh dan mengalami luka di kepalanya karena terbentur tangga teras. Satya yang melihat darah mengucur dari kening Tari langsung terbawa emosi sampai mengangkat tangan hampir memukul Sandra. Beruntung Ganendra dengan sigap menangkis tangan Satya sehingga pukulan itu tak sampai mengenai Sandra. "Emang sehebat apa pria itu sampai membuatmu menyakiti saudaramu sendiri?" omel Alfa lagi. "Berapa lama kamu mengenalnya? Lebih lama dari persaudaraan kamu dan Tari?" Alfa pria yang cuek dan jarang bicara namun sekalinya marah dia bisa berjam-jam memberi kuliah gratis pada adiknya itu. Seperti saat ini, ini sudah jam 12 malam tapi Alfa masih belum puas memarahi adiknya. Sudah tiga kali Ganendra menegur dan menyuruh mengakhiri kuliah dadakann

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Gibran.

    [Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kondisi Tari yang sebenarnya.

    Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terpaksa jujur

    Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Makin rumit.

    Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejujuran Anindya pada Bestari.

    Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memendam

    "Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Tari.

    "Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan maaf Satya pada Ibra

    Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan cerai Jihan

    Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s

DMCA.com Protection Status