Dengan sangat terpaksa Satya mempersilahkan dua orang itu ikut masuk ke ruangannya. Duduk di sofa ruang kerjanya. Sedangkan Tari disuruhnya duduk di kursi kerjanya dan dia sendiri berdiri di samping Tari seperti bodyguard. Satya memang sengaja meminta Tari untuk duduk di kursi kerjanya agar tidak berdekatan dengan Rendra. Meski sudah mengetahui Rendra tunangan Erika namun tetap saja, ada rasa kesal jika melihat Tari berdekatan dengan pria yang sudah terang-terangan mengakui akan merebut ibu dari putrinya itu. Apalagi Erika sendiri pernah bercerita jika dirinya tidak mencintai calon suaminya dan ingin mengakhiri pertunangan yang diatur oleh orang tuanya. "Jadi, apa ada yang bisa menjelaskan?" ucap Erika setelah mereka saling diam. "Jujur, aku sangat penasaran." Erika menatap Satya, Tari dan Rendra bergantian. Tapi ketiga orang itu kompak diam. "Baiklah aku mulai dulu. Aku dan Rendra dijodohkan tapi kami sama-sama menolak. Jadi hubungan kami. hanya sebatas teman saja," ungkap Er
Di dalam mobil suasana menjadi hening, baik Satya atau Tari sama-sama diam. Sampai mobil memasuki tol dua orang itu masih diam. Sesekali Tari melirik Satya yang memangku Sabia. Pria itu tersenyum sambil memandangi wajah Sabia yang tertidur pulas. Pipi bayi itu terus jadi sasaran kegemasannya, ditoel dan dielusnya. "Emm..." Tari ingin bicara tapi bingung merangkai kata jadinya kembali diam. Wajahnya dibuang ke arah jendela. Menyadari itu, Satya pun membuka mulutnya. "Kenapa ada yang mau ditanyakan?" Satya menoleh. "Katakan saja, jangan selalu menyimpan perasaanmu yang akhirnya menjadikan kita salah faham." Tari mendengus kasar. "Ternyata wanita itu tunangan Pak Rendra. Aku pikir dia..." Tari menggantung kaliamatnya. Pelan dia menoleh, menatap Satya yang juga menatapnya. "Apa kamu menyukai Rendra?" tanya Satya yang membuat Tari tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali karena bingung, sampai akhir dia menyadari kesalahannya. "Bukan-bukan... Bukan begitu maksudnya. Ak
"Maaf.... aku ti..." Kalimat Tari terputus. Satya memegang tangannya erat "Tidak, aku tidak mau mendengar kata maaf. Bukankah aku bilang jangan memaafkan aku. Hukum aku Tari, hukum sesukamu tapi jangan memintaku menjauh." Satya tak sanggup mendengar penolakan dari wanita itu. Dengan ragu-ragu Satya mengakat tangan hendak menyentuh pipi Tari. Namun wanita cantik terlihat langsung memejamkan matanya dengan kerutan di keninganya, seperti ketakutan.Traumanya ternyata masih ada dan itu membuat hati Satya seperti teriris, perih sekali. Meski tak yakin Satya melanjutkan niatnya untuk menyentuh wajah cantik di depannya. Perlahan Tari membuka matanya. "Kamu takut?" ucapnya dengan air mata yang berderai. Sakit sekali hatinya menyadari orang yang dicintai takut pada dirinya. Entah kerasukan setan apa sampai Satya tega memukul wanita baik-baik seperti Tari. Dulu Hatinya pasti buta sampai menuduh gadis lugu dan suci itu jala*n dan pelakor. Melihat tangis Satya Tari pun ikut menangis.
Sebelum melanjutkan perjalanan Tari meminta untuk mampir ke apotik sebentar. Saat Satya ingin ikut turun Tari melarang. "Cuma sebentar, tunggu di mobil saja sama Sabia." Satya menurut, meski begitu dari dalam mobil matanya terus mengawasi setiap gerakan Tari di dalam toko yang bagian depannya bertembok kaca. Hanya beberapa menit dan Tari sudah kembali dan mobil kembali melaju di jalanan. Tari mencuri pandang ke Satya terus menerus sampai membuat Satya bingung. "Ada apa?" tanya Satya. "Aku obatin," katanya ragu-ragu sambil menunjukkan obat yang tadi dibelinya. Sebuah senyum langsung menghiasi.wajah Satya. "Iya," jawabnya lalu memajukan wajahnya. Dengan pelan Tari mengoleskan salep ke wajah Satya yang terdapat luka goresan memanjang bekas kukunya. Tak hanya satu, ada tiga goresan. Satu di atas hidung dan dua di pipi kanan. Lalu pipi kiri Satya terlihat merah agak kebiruan, jika diperhatikan seperti bentuk jari tangan. Beruntung bentuknya tidak terlalu jelas karena
"Nanti kalau ketemu Jihan kamu pura-pura kita lagi marahan. Kamu kesal sama aku," ucap Satya. Saat ini, Satya, Tari dan Ganendra berada dalam satu mobil yang melaju menuju rumah Jihan. "Kenapa?" tanya Tari sambil memegangi putrinya yang asyik melihat keluar jendela. "Ya supaya kita punya alasan untuk menginap di rumah Jihan," jawab Satya dari bangku depan. Tangannya sibuk diatas layar ponselnya. Dery, sang asisten mengirimkan banyak email tentang pekerjaan yang harus dia periksa. "Tanpa berbohong aku bisa menginap di rumah Jihan." "Terus aku sama Ganendra bagaimana?" tanya Satya menoleh sebentar. "Hanya ini caranya sapaya aku punya alasan untuk meminta izin menginap." Dari balik kemudi Genendra hanya menyimak saja penting dua orang itu. Dia sudah kehabisan cara jadi kali ini akan coba mengikuti rencana Satya. "Nggak, aku nggak mau berbohong sama Jihan." Tari menolak, dia tak mau ikut campur rencana yang dibuat kakanya dengan Satya. "Kok gitu?" Satya menengok
Bersama ayahnya Jihan, Satya dan Ganendra sholat berjamaah di mushola ujung gang. Setelah berbagai rayuan dan bujukan akhirnya Satya bisa mendapatkan izin untuk menginap di ruanh Jihan. Awalnya Jihan hanya mengizinkan Satya yang menginap tapi dengan alasan Ganendra tidak enak badan Jihan pun luluh. "Sejak di perjalanan Ganendra muntah terus. Mungkin asam lambungnya naik, dia juga mengeluh ulu hatiny sakit." Satya berbohong. "Tolonglah, aku tidak mungkin membiarkannya balik ke Jakarta sedirian. Kalau sampai kecelakaan atau bahkan me...." "Ok... silahkan menginap," kata Jihan terpaksa. Seperti yang dikatakan Tari, kakaknya dna Satya adalah dua orang yang memiliki kepribadian hampir sama, sombong dan menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginannya. "Kita ngobrol di sini dulu, sambil nunggu makan malam disiapkan." Ayah Jihan mengajak dua pria itu susuk di teras rumah. Menikmati langit yang dipenuhi bintang sambil berbincang-bincang. Membahas banyak hal, tentang duni
"Astaghfirullah...." pekik Tari saat sampai di teras rumah. Di halaman nampak Ganendra dipegangi ayah Jihan dan Satya berdiri dengan tangan mengepal, sedang di tanah seorang pria tersungkur dengan wajah lebam dan dan darah di bagian mulutnya. "Ya Alloh....," Jihan ikut menjerit lalu segera menarik lengan Ganendra yang sedang dipegangi oleh ayahnya. "Kak Satya sama Kak Ganendra ngapain?" tanya Tari dengan mata melotot. "Tari," panggil Sandra melangkah mendekati Rendra. "Mereka berdua mengeroyok Pak Rendra sampai babak belur," adunya sambil menuding Satya dan Ganendra. "Astagfirulloh...." Karea kasihan Tari melangkah mendekati Sandra yang sedang membantu Rendra. Namun saat melewati Satya lengannya langsung ditahan. "Jangan kesana!"ucap Setya tegas. Tak mau membantah, Tari pun menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang tubuh Satya. "Sandra, buka matamu. Bajing*n itu hanya ingin manfaatkan kamu saja. Jadi, jangan tertipu dengan mulut manisnya," ucap Ganendra
"Lihat apa yang sudah kamu lakukan?" ujar Alfa menatap mata tajam Sandra yang hanya menunduk. "Hampir saja kamu membuat aku dan Satya berkelahi." Bagaimana tidak, saking inginnya kabur menyusul Rendra yang dibawa ke klinik Sandra membuat Tari jatuh dan mengalami luka di kepalanya karena terbentur tangga teras. Satya yang melihat darah mengucur dari kening Tari langsung terbawa emosi sampai mengangkat tangan hampir memukul Sandra. Beruntung Ganendra dengan sigap menangkis tangan Satya sehingga pukulan itu tak sampai mengenai Sandra. "Emang sehebat apa pria itu sampai membuatmu menyakiti saudaramu sendiri?" omel Alfa lagi. "Berapa lama kamu mengenalnya? Lebih lama dari persaudaraan kamu dan Tari?" Alfa pria yang cuek dan jarang bicara namun sekalinya marah dia bisa berjam-jam memberi kuliah gratis pada adiknya itu. Seperti saat ini, ini sudah jam 12 malam tapi Alfa masih belum puas memarahi adiknya. Sudah tiga kali Ganendra menegur dan menyuruh mengakhiri kuliah dadakann
Sudah sebulan ini keluarga Rahardian menjadi topik utama pemberitaan di semua acara berita di televisi nasional maupun portal berita online. Hampir semua infotainment memberitakan tentang rumor hubungan gelap antara Tari dan Gibran karena beredarnya foto-foto mereka saat masuk ke sebuah hotel ketika menemui Anindya. Gambar dan judul berita yang menggiring opini jika rumah tangga Anindya Aditama dan Gibran Narendra Wiratama sedang terguncang dan sedang dalam proses perceraian karena kehadiran Bestari Ayu Rahardian sebagai orang ketiga. Selain menyeret nama Rahardian, salah satu keluarga terkaya di negara ini, gosip itu juga membawa-bawa nama salah satu keluarga keturunan kerajaan di jawa yang membuat rumor itu sedikit sulit diredam dan semakin meluas. Beberapa pihak memanfaatkan berita itu untuk mendapatkan keuntungan dengan mencari antusias netizen yang selalu haus akan berita dan rasa keingintahuan yang tinggi. Jadilah berita itu terus bergulir dan sempat membuat nilai sa
"Membun*hmu," ucap Anindya dengan mengacungkan pist*l yang dibawanya tepat di kening Danisa. Sekektika tubuh Danisa membeku, matanya melebar dengan degup jantung berdentum kencang. "Yakin mau membun*hku?" ujarnya berusaha untuk tenang. "Katakan, mereka dulu atau kamu?" tanya Anindya yang langsung membuat dua orang kawan Danisa seketika panik. Dengan menahan sakit dua orang itu pun berusaha untuk bangun. "Diam atau satu peluru akan lepas dari tempatnya," ujar Anindya seraya mundur dua langkah memastikan ketiga targetnya dalam pengawasannya. "Kamu tidak akan bisa melakukannya. Kamu mencintaiku begitu juga aku. Kita terikat satu sama lain," ucap Danisa berusaha mempengaruhi pikiran Anindya. "Kamu tidak boleh lupa saat-saat kita bersama. Kita melakukan banyak hal untuk pertama kalinya. Akulah satu-satunya orang yang selalu memprioritaskan kamu. Aku yang selalu menuruti keinginanmu." Danisa berusaha membawa Anindya kembali pada kenangan-kenangan kebersamaan mereka dulu. "A
"Ini semua harus berakhir dan akulah yang harus mengakhirinya," gumam Anindya dengan keteguhan hati. "Kamu mau menyusul mereka?" Dilla terlihat tidak setuju dengan keputusan Anindya. "Kamu tahu kemana mereka pergi?" Tak menjawab Anindya malah mengajukan pertanyaan. Dilla berdecak kesal. Pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Meski begitu tetap menjawab. "Ke dermaga, di sana sudah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Batam setelah itu ke Singapura." Anindya menganggukkan kepalanya. "Danisa bilang akan membawamu tapi aku tinggal di sini sampai kuliahku selesai baru menyusul kalian. Tapi tenyata..... " Dilla tidak pernah menyangka orang yang dianggapnya sebagai seorang kakak yang datang ketika dirinya terpuruk ternyata orang jahat yang hanya memanfaatkannya dan setelah merasa tak butuh berniat menghabisi nyawanya. Beruntung Dilla mengikuti ucapan Anindya. Meski sempat tak percaya. "Turuti kataku, jika aku salah kamu juga takkan rugi. Namun jika ak
"Eh.... tunggu jangan salah faham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Gibran panik. Tanpa bicara Satya langsung mendekati istrinya. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya khawatir sambil kedua tangan besarnya menakup wajah sang istri. Tari menggelengkan kepalanya. "Syukurlah," ucapnya Satya menghembuskan nafas lega. "Loh..... kamu gak salah faham?" Gibran melihat pasangan suami istri itu dengan tatapan takjub. Tadinya dia pikir Satya akan marah-marah menuduhnya dan Tari berbuat yang tidak-tidak karena berada di dalam kamar hotel sendirian. "Kamu pikir aku bodoh? Setelah semua masalah yang kami hadapi istriku akan mengkhianatiku? Yang benar saja," ujar Satya. "Aku salut padamu, kamu sanga pencemburu tapi sangat percaya pada istrimu." Gibran kagum. "Dimana Anindya?" tanya Satya. "Tadi dia pergi angkat telpon tadi sudah lima belas menit belum kembali," jelas Gibran. "Kenapa kamu biarkan dia pergi sendirian? Dia pasti sudah kabur," geram Satya. "Bodoh," umpat
"Aku mau pergi sebentar. Nitip Sabia ya," ucap Tari pada Jihan yang sedang menghabiskan waktu senggangnya dengan menonton drakor kesukaannya di ruang tengah. "Nanti kalau Papa atau Mas Satya tanya, bilang aja aku mau keluar beli kebutuhan Sabia." Sambungnya setelah menyerahkan putrinya pada kakak iparnya itu. "Emang kamu mau kemana?" Jihan menatap Tari curiga. Tangannya mendekap Sabia yang ada di pangkuannya. Tari menggigit bibir bawahnya, bingung mau bohong atau jujur. "Mau pergi sebentar ketemu orang?" "Siapa?" "Teman," "Namanya siapa?" Jihan makin curiga. "Tak ada temanmu yang aku nggak kenal. Sebutkan namanya siapa?" Tari mendesah berat, Jihan lebih protective dari Ganendra. Sulit sekali membohongimu wanita itu. "Aku mau ketemu Anindya," jujur Tari tak bisa mengelak. "Apa? Kamu mau ketemu Anindya?" tanya Jihan dengan mata menyipit. "Kalau memang ada perlu kenapa di gak datang kesini aja? Emang Satya tahu kamu kamu mau keluar untuk ketemu Anindya?" Istri Gan
"Sekarang kamu pilih, membantuku membalas Tari atau semua keluargamu akan mengalami hal yang sama dengan anak buah suamimu. Satu mat* dan satu terbaring koma di ranjang rumah sakit." Suara Danisa terdengar dari balik maskernya. "Pilih!!!" sentaknya. Anindya menelan ludahnya, tatapan tajam Danisa membuatnya bergidik ngeri. Setahun di rumah sakit jiwa tidak membuat kejiwaan kembaran Clarissa itu menjadi lebih baik tapi sepertinya malah bertambah parah. "Aku mohon jangan libatkan orang tuaku," mohon Anindya yang langsung disambut dengan tawa keras oleh Danisa. "Bukankah waktu itu aku sudah bilang, aku ingin memberimu kesempatan untuk melihat sendiri wajah-wajah orang-orang di sekitarmu. Dan aku memberimu bantuan namun untuk bayarannya kamu harus kembali padaku," terang Danisa mengingatkan Anindya tentang kesepakatan yang di tentukannya. "Apa kamu mau berpura-pura lupa?" tambah wanita berbaju serba hitam itu. "Ck..... kamu benar-benar mengecewakanku. Ingatlah kemarin kamu
"Katakan!!" Sentak Satya marah. "Mas, tenanglah.." Tari memegangi lengan suaminya. Meminta pria itu untuk tenang. "Anin, aku minta maaf karena aku tidak bisa membantumu membatalkan perjodohan itu. Tapi kamu tahu kan, kita semua sayang sama kamu. Jadi kumohon jujurlah, apa kamu berhubungan lagi dengan wanita itu?" tanya Tari menatap Anindya lekat. Anindya menatap Tari melas. "Mbak lebih percaya sama Gibran? Semua yang pria itu katakan bohong. Gibran dan mamanya itu sangat licik Mbak," Tari terdiam, matanya menatap Anindya dengan sorot kecewa. Dia tidak yakin Gibran jujur tapi dia tahu Anindya sedang berbohong. Bukannya menjawab Anindya berusaha mengalahkan dengan menjelekkan Gibran dan mamanya. "Ganendra sudah menyelidiki semuanya. Lima menit yang lalu dia menelponku. Katanya, ada indikasi campur tangan Danisa dalam kejadian kemarin. Masih mau berbohong?" ujar Satya menahan geram. Kecewa, pasti. Dia tidak menyangka adiknya masih saja berhubungan dengan wanita yang dulu
"Pukul dan hajar aku sesukamu. Aku tidak minta untuk dimaafkan. Tapi aku mohon izin aku bertemu dengan Anindya sekali saja," mohon Gibran sambil memegang kaki Satya. "Ada yang harus aku jelaskan," "Bangunlah, jangan seperti ini?" Satya melihat ke sekelilingnya. Beberapa pengunjung kafe melihat kearah mereka. "Tidak, aku tidak akan berdiri sebelum kamu berjanji mengizinkan aku bertemu Anindya," tolak Gibran kekeh pada pendiriannya. "Semua keputusan bukan di tanganku. Sekalipun aku mengizinkanmu belum tentu Anindya mau bertemu denganmu," ujar Satya dengan tatapan kesal. "Mas Satya benar. Anindya sudah memutuskan untuk mengajukan perceraian dan pergi ke luar negeri untuk sekolah." Tari menyahut. "Apa?" Gibran langsung bangkit. "Kamu serius?" tanyanya menatap Tari dengan tatapan melas. "Duduklah," suruh Tari dan pria itu langsung menurut. Satya menghembuskan nafas kasar. Melihat Gibran seperti melihat dirinya sendiri empat tahun lalu. Saat dirinya dipaksa menceraikan
"Cepat katakan, aku tidak punya banyak waktu." Satya menatap tajam pria berwajah kusut di depannya. Sudah sepuluh menit Satya dan Tari menunggu tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulut Gibran. "Kau ingin bicara atau tidak?" geram Satya mulai habis kesabaran. "Mas, bersabarlah." Tari memegang lengan suaminya yang sudah mengepal diatas meja. "Apa kamu tidak lihat dia sedang kebingungan," sambungnya dengan tatapan mengarah pada pria yang sudah berulang kali mengusap wajahnya. Gibran seperti orang yang sedang gelisah. Tatapannya sayu dan wajahnya pucat. Satya menarik nafas panjang, berusaha meredam emosinya. Setelah mengetahui perbuatan Gibran pada Anindya membuat suami Tari itu kesulitan menahan emasinya. Meski begitu Satya sadar, dirinya juga bersalah karena tidak mendengarkan Tari untuk membatalkan perjodohan Anindya dna Gibran. "Mas, tadi janji apa? Kalau kayak gini mending tadi gak usah datang," ujar Tari mengingatkan janji yang sudah diucapkan Satya sebelum bera