"Maaf.... aku ti..." Kalimat Tari terputus. Satya memegang tangannya erat "Tidak, aku tidak mau mendengar kata maaf. Bukankah aku bilang jangan memaafkan aku. Hukum aku Tari, hukum sesukamu tapi jangan memintaku menjauh." Satya tak sanggup mendengar penolakan dari wanita itu. Dengan ragu-ragu Satya mengakat tangan hendak menyentuh pipi Tari. Namun wanita cantik terlihat langsung memejamkan matanya dengan kerutan di keninganya, seperti ketakutan.Traumanya ternyata masih ada dan itu membuat hati Satya seperti teriris, perih sekali. Meski tak yakin Satya melanjutkan niatnya untuk menyentuh wajah cantik di depannya. Perlahan Tari membuka matanya. "Kamu takut?" ucapnya dengan air mata yang berderai. Sakit sekali hatinya menyadari orang yang dicintai takut pada dirinya. Entah kerasukan setan apa sampai Satya tega memukul wanita baik-baik seperti Tari. Dulu Hatinya pasti buta sampai menuduh gadis lugu dan suci itu jala*n dan pelakor. Melihat tangis Satya Tari pun ikut menangis.
Sebelum melanjutkan perjalanan Tari meminta untuk mampir ke apotik sebentar. Saat Satya ingin ikut turun Tari melarang. "Cuma sebentar, tunggu di mobil saja sama Sabia." Satya menurut, meski begitu dari dalam mobil matanya terus mengawasi setiap gerakan Tari di dalam toko yang bagian depannya bertembok kaca. Hanya beberapa menit dan Tari sudah kembali dan mobil kembali melaju di jalanan. Tari mencuri pandang ke Satya terus menerus sampai membuat Satya bingung. "Ada apa?" tanya Satya. "Aku obatin," katanya ragu-ragu sambil menunjukkan obat yang tadi dibelinya. Sebuah senyum langsung menghiasi.wajah Satya. "Iya," jawabnya lalu memajukan wajahnya. Dengan pelan Tari mengoleskan salep ke wajah Satya yang terdapat luka goresan memanjang bekas kukunya. Tak hanya satu, ada tiga goresan. Satu di atas hidung dan dua di pipi kanan. Lalu pipi kiri Satya terlihat merah agak kebiruan, jika diperhatikan seperti bentuk jari tangan. Beruntung bentuknya tidak terlalu jelas karena
"Nanti kalau ketemu Jihan kamu pura-pura kita lagi marahan. Kamu kesal sama aku," ucap Satya. Saat ini, Satya, Tari dan Ganendra berada dalam satu mobil yang melaju menuju rumah Jihan. "Kenapa?" tanya Tari sambil memegangi putrinya yang asyik melihat keluar jendela. "Ya supaya kita punya alasan untuk menginap di rumah Jihan," jawab Satya dari bangku depan. Tangannya sibuk diatas layar ponselnya. Dery, sang asisten mengirimkan banyak email tentang pekerjaan yang harus dia periksa. "Tanpa berbohong aku bisa menginap di rumah Jihan." "Terus aku sama Ganendra bagaimana?" tanya Satya menoleh sebentar. "Hanya ini caranya sapaya aku punya alasan untuk meminta izin menginap." Dari balik kemudi Genendra hanya menyimak saja penting dua orang itu. Dia sudah kehabisan cara jadi kali ini akan coba mengikuti rencana Satya. "Nggak, aku nggak mau berbohong sama Jihan." Tari menolak, dia tak mau ikut campur rencana yang dibuat kakanya dengan Satya. "Kok gitu?" Satya menengok
Bersama ayahnya Jihan, Satya dan Ganendra sholat berjamaah di mushola ujung gang. Setelah berbagai rayuan dan bujukan akhirnya Satya bisa mendapatkan izin untuk menginap di ruanh Jihan. Awalnya Jihan hanya mengizinkan Satya yang menginap tapi dengan alasan Ganendra tidak enak badan Jihan pun luluh. "Sejak di perjalanan Ganendra muntah terus. Mungkin asam lambungnya naik, dia juga mengeluh ulu hatiny sakit." Satya berbohong. "Tolonglah, aku tidak mungkin membiarkannya balik ke Jakarta sedirian. Kalau sampai kecelakaan atau bahkan me...." "Ok... silahkan menginap," kata Jihan terpaksa. Seperti yang dikatakan Tari, kakaknya dna Satya adalah dua orang yang memiliki kepribadian hampir sama, sombong dan menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginannya. "Kita ngobrol di sini dulu, sambil nunggu makan malam disiapkan." Ayah Jihan mengajak dua pria itu susuk di teras rumah. Menikmati langit yang dipenuhi bintang sambil berbincang-bincang. Membahas banyak hal, tentang duni
"Astaghfirullah...." pekik Tari saat sampai di teras rumah. Di halaman nampak Ganendra dipegangi ayah Jihan dan Satya berdiri dengan tangan mengepal, sedang di tanah seorang pria tersungkur dengan wajah lebam dan dan darah di bagian mulutnya. "Ya Alloh....," Jihan ikut menjerit lalu segera menarik lengan Ganendra yang sedang dipegangi oleh ayahnya. "Kak Satya sama Kak Ganendra ngapain?" tanya Tari dengan mata melotot. "Tari," panggil Sandra melangkah mendekati Rendra. "Mereka berdua mengeroyok Pak Rendra sampai babak belur," adunya sambil menuding Satya dan Ganendra. "Astagfirulloh...." Karea kasihan Tari melangkah mendekati Sandra yang sedang membantu Rendra. Namun saat melewati Satya lengannya langsung ditahan. "Jangan kesana!"ucap Setya tegas. Tak mau membantah, Tari pun menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang tubuh Satya. "Sandra, buka matamu. Bajing*n itu hanya ingin manfaatkan kamu saja. Jadi, jangan tertipu dengan mulut manisnya," ucap Ganendra
"Lihat apa yang sudah kamu lakukan?" ujar Alfa menatap mata tajam Sandra yang hanya menunduk. "Hampir saja kamu membuat aku dan Satya berkelahi." Bagaimana tidak, saking inginnya kabur menyusul Rendra yang dibawa ke klinik Sandra membuat Tari jatuh dan mengalami luka di kepalanya karena terbentur tangga teras. Satya yang melihat darah mengucur dari kening Tari langsung terbawa emosi sampai mengangkat tangan hampir memukul Sandra. Beruntung Ganendra dengan sigap menangkis tangan Satya sehingga pukulan itu tak sampai mengenai Sandra. "Emang sehebat apa pria itu sampai membuatmu menyakiti saudaramu sendiri?" omel Alfa lagi. "Berapa lama kamu mengenalnya? Lebih lama dari persaudaraan kamu dan Tari?" Alfa pria yang cuek dan jarang bicara namun sekalinya marah dia bisa berjam-jam memberi kuliah gratis pada adiknya itu. Seperti saat ini, ini sudah jam 12 malam tapi Alfa masih belum puas memarahi adiknya. Sudah tiga kali Ganendra menegur dan menyuruh mengakhiri kuliah dadakann
"Rendra Prayoga Hutama," sahut Ganendra dengan mata menatap layar ponselnya. "Anak buahku baru saja mengirim data diri Rendra. Dia ternyata.....," "Hutama?" Satya mengulang nama belakang mantan rekan kerjanya. Sejak kapan nama belakang Rendra bertambah Hutama. Dia ingat dengan jelas, hanya Prayoga yang mengikuti naman Rendra. "Kamu tidak salah dengar." Ganendra memberikan ponselnya menunjukkan email yang dikirim anak buahnya di Jakarta. "Temannu itu ternyata anak haram dari selingkuhan Andrean Hutama. Dan baru setahun ini dia diakui sebagai salah satu perwarks kelaurga konglomerat itu." "Gil*," umpat Alfa. "Bisa-bisanya Sandra berhubungan dengan anggota kelaurga itu." Hutama bukan kelaurga sembarangan, banyak berita miring dan intrik dalam kelaurga itu. Apakah ini artinya dia harus meminta bantuan Big bosnya? "Aku dan Papa tidak akan tinggal diam. Kamu pasti membantu," ujarnya. "Aku juga pasti akan membantu. Bagaimana masalah ini juga berhubung denganku." Satya menepuk
"Jangan-jangan dari pengagum rahasiamu," celetuk Tari sambil matanya mengawasi mobil mewah yang dirinta belum pernah mengendarai. Bukan keluarganya tidak sanggup beli, tapi sang papa selalu berprinsip membeli sesuatu sesuai kebutuhan bukan keinginan. "Pengagum rahasia apaan," gumam Jihan merasa aneh dan tak percaya dirinya punya pengagum rahasia. "Ada apa?" Tanya Satya menyusul ke depan diikuti Ganendra juga Risma, Sandra dan paling belakang Alfa. "Ada yang anter mobil buat Jihan tapi gak tau dari siapa," jawab Tari menoleh. "Kayaknya dari pengagum rahasianya," sambungnya melirik sang kakak yang terlihat cuek. "Oh... coba ditelpon saja showroomnya, tanya siapa yang membeli mobil dengan merk ini. Pasti ada catatannya." Ucapan Satya benar. Mobil mewah yang harganya hampir mencapai angka 1M itu pasti tidak setiap hari orang beli dan tentu data dan keterangannya sebagai pelanggan VIP. "Maaf, tapi dari kantor tidak bisa memberi datanya," sahut pria dengan seragam dengan lo
"Tu-tunggu-tunggu," ucap Anindya mengangkat tangannya ke depan. Gadis itu segera bangkit dari duduknya setelah sadar dari keterkejutannya. "Kak Guntur jangan bercanda, kita gak pernah ada hubungan. Lagian kapan kita membicarakan tentang ini?" protesnya. "Loh... gimana sih?" Aisyah menatap Guntur dan putrinya itu bergantian. Tari menarik Anindya agar kembali duduk di tempatnya. "Duduklah," bisiknya memegangi lengan adik iparnya itu Mendadak suasana jadi canggung, semua yang ada di ruangan itu saling pandang. Terutama keluarga dari pihak Guntur, terlihat bingung dan malu. "Tur, ini maksudnya apa?" Ariotedjo memukul lengan putranya, merasa was-was jika lamaran mereka ditolak. "Kamu yang benar," "Benar Pah. Aku sudah lamar secara privat dan Anindya nerima," jawab Guntur. "Kapan?" sahut Anindya menatap Guntur. "Dua minggu lalu, di kedai eskrim. Kan kamu sendiri yang bilang setuju nikah sama aku bulan depan." "Hah!!!" Anindya mengerutkan dahinya. Berusaha menggali ing
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuruh
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba