"Astaghfirullah...." pekik Tari saat sampai di teras rumah. Di halaman nampak Ganendra dipegangi ayah Jihan dan Satya berdiri dengan tangan mengepal, sedang di tanah seorang pria tersungkur dengan wajah lebam dan dan darah di bagian mulutnya. "Ya Alloh....," Jihan ikut menjerit lalu segera menarik lengan Ganendra yang sedang dipegangi oleh ayahnya. "Kak Satya sama Kak Ganendra ngapain?" tanya Tari dengan mata melotot. "Tari," panggil Sandra melangkah mendekati Rendra. "Mereka berdua mengeroyok Pak Rendra sampai babak belur," adunya sambil menuding Satya dan Ganendra. "Astagfirulloh...." Karea kasihan Tari melangkah mendekati Sandra yang sedang membantu Rendra. Namun saat melewati Satya lengannya langsung ditahan. "Jangan kesana!"ucap Setya tegas. Tak mau membantah, Tari pun menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang tubuh Satya. "Sandra, buka matamu. Bajing*n itu hanya ingin manfaatkan kamu saja. Jadi, jangan tertipu dengan mulut manisnya," ucap Ganendra
"Lihat apa yang sudah kamu lakukan?" ujar Alfa menatap mata tajam Sandra yang hanya menunduk. "Hampir saja kamu membuat aku dan Satya berkelahi." Bagaimana tidak, saking inginnya kabur menyusul Rendra yang dibawa ke klinik Sandra membuat Tari jatuh dan mengalami luka di kepalanya karena terbentur tangga teras. Satya yang melihat darah mengucur dari kening Tari langsung terbawa emosi sampai mengangkat tangan hampir memukul Sandra. Beruntung Ganendra dengan sigap menangkis tangan Satya sehingga pukulan itu tak sampai mengenai Sandra. "Emang sehebat apa pria itu sampai membuatmu menyakiti saudaramu sendiri?" omel Alfa lagi. "Berapa lama kamu mengenalnya? Lebih lama dari persaudaraan kamu dan Tari?" Alfa pria yang cuek dan jarang bicara namun sekalinya marah dia bisa berjam-jam memberi kuliah gratis pada adiknya itu. Seperti saat ini, ini sudah jam 12 malam tapi Alfa masih belum puas memarahi adiknya. Sudah tiga kali Ganendra menegur dan menyuruh mengakhiri kuliah dadakann
"Rendra Prayoga Hutama," sahut Ganendra dengan mata menatap layar ponselnya. "Anak buahku baru saja mengirim data diri Rendra. Dia ternyata.....," "Hutama?" Satya mengulang nama belakang mantan rekan kerjanya. Sejak kapan nama belakang Rendra bertambah Hutama. Dia ingat dengan jelas, hanya Prayoga yang mengikuti naman Rendra. "Kamu tidak salah dengar." Ganendra memberikan ponselnya menunjukkan email yang dikirim anak buahnya di Jakarta. "Temannu itu ternyata anak haram dari selingkuhan Andrean Hutama. Dan baru setahun ini dia diakui sebagai salah satu perwarks kelaurga konglomerat itu." "Gil*," umpat Alfa. "Bisa-bisanya Sandra berhubungan dengan anggota kelaurga itu." Hutama bukan kelaurga sembarangan, banyak berita miring dan intrik dalam kelaurga itu. Apakah ini artinya dia harus meminta bantuan Big bosnya? "Aku dan Papa tidak akan tinggal diam. Kamu pasti membantu," ujarnya. "Aku juga pasti akan membantu. Bagaimana masalah ini juga berhubung denganku." Satya menepuk
"Jangan-jangan dari pengagum rahasiamu," celetuk Tari sambil matanya mengawasi mobil mewah yang dirinta belum pernah mengendarai. Bukan keluarganya tidak sanggup beli, tapi sang papa selalu berprinsip membeli sesuatu sesuai kebutuhan bukan keinginan. "Pengagum rahasia apaan," gumam Jihan merasa aneh dan tak percaya dirinya punya pengagum rahasia. "Ada apa?" Tanya Satya menyusul ke depan diikuti Ganendra juga Risma, Sandra dan paling belakang Alfa. "Ada yang anter mobil buat Jihan tapi gak tau dari siapa," jawab Tari menoleh. "Kayaknya dari pengagum rahasianya," sambungnya melirik sang kakak yang terlihat cuek. "Oh... coba ditelpon saja showroomnya, tanya siapa yang membeli mobil dengan merk ini. Pasti ada catatannya." Ucapan Satya benar. Mobil mewah yang harganya hampir mencapai angka 1M itu pasti tidak setiap hari orang beli dan tentu data dan keterangannya sebagai pelanggan VIP. "Maaf, tapi dari kantor tidak bisa memberi datanya," sahut pria dengan seragam dengan lo
"Bestari Ayu Rahardian," ucap Satya menatap Tari lekat. "Dengan disaksikan Tuhan dan Sabia putri kita, aku memintamu kembali padaku. Meminta menerimaku,...." Tiba-tiba suara Satya terdengar serak. "Maukah kamu rujuk denganku?....." tanyanya bersamaan dengan setetes cairan bening yang melewati pipi tegasnya. Tari tertegun, otaknya tiba-tiba ngeblank. "Bestari Ayu, wanita terbaik yang pernah Tuhan kirimkan untukku... Tolong maafkan aku, berikan satu kesempatan untuk membuktikan cintaku." Tetes-tetes cairan bening itu makin lama makin deras membuat suara Satya sempai tersendat-sendat. "Aku sadar, aku tidak sebaik Ganendra dan Alfa, tapi aku bisa pastikan cintaku juah lebih besar dari mereka. Aku akan melakukan apapun demi bisa bersama kamu."Tari masih saja diam. Wanita itu benar-benar terkejut samoai tak bisa berpikir apa-apa. Satya beranjak dan berlutut di samping kursi Tari. Digenggamnya tangan Tari yang terasa dingin. "Aku tahu aku bukan suami yang baik dalam pernikahan
Di sisi lain, Alfa pergi menemui Rendra untuk yang kedua kalinya. Setelah sebelumnya bersama Ganendra dan Satya. Namun kali ini dia membawa Sandra, berharap adiknya itu sadar dengan kebodohannya. "Kak Alfa bohong kan, Pak? Gak mungkin Pak Rendra meminta syarat itu," tanya Sandra dengan wajah sendunya. Hatinya kekeh tak percaya saat diberitahu oleh Alfa tentang permintaan Rendra sebagai syarat untuk menikahinya. "Tidak. Itu memang benar." Sandra membelalak tak. percaya. "Aku akan menikahimu dengan satu kesepakatan, Tari dan Satya tidak boleh kembali bersama." Begitu ringannya Satya berbicara tanpa memikat perasaan Sandra yang tiba-tiba porak-poranda oleh kalimatnya itu. Sandra menahan nafas, dadanya mendadak terasa sesak. Harukah dirinya bersaing dengan sepupunya sendiri demi cinta Rendra? "Ma-maksud Pak Rendra apa?" tanya Sandra dengan mata yang sudah dipenuhi dengan air mata yang siap meluber hanya dengan satu kedipan. "Aku punya alasan untuk hal itu dan kamu harus b
Setelah acara mengharu biru semua keluarga makan malam bersama. Tadi Satya dan Tari juga belum sempat makan malam karena setelah lamaran diterima Satya sibuk dengan persiapan akad nikah. Sedang Tari telah kehilangan rasa laparnya karena rasa bahagia. "Sini biar Sabia sama Oma dan Uti saja." Aisyah mengambil alih bayi cantik itu tadinya di pangku Satya. "Pengantin baru nikmati moment berdua saja, silahkan bermesraan. Anggap saja kami tak ada," tambah Farah menarik pasangan pengantin baru untuk duduk di kursi yang bersebelahan. Tak menolak Tari dan Satya menurut saja. Satya menarik kursi untuk Tari lebih dulu setelahnya baru duduk. Sikapnya langsung mendapat satu senyuman bangga dari sang Mama. Betapa lega Aisyah melihat perubahan sikap Satya. Pria dingin itu mulai bisa bersikap lembut dan penuh perhatian. "Ayo semuanya duduk," ucap Farah memberi aba-aba. Untuk makan malam, Satya memesan meja panjang agar semua orang bisa duduk dan makan satu meja. Ada enam belas
"Tari," panggil Satya. "Bolehkah aku tidur di sebelahmu?" tanyanya menoleh. Tatapan itu langsung bertabrakan. Posisi Tari juga sesang menatap Satya. Dua wajah itu berhadapan meski terpisah ada jarak yang kurang darinsatu meter. "Jantungku berdegup kencang, Tari. Apa kamu jiga merasakannya?" tanya Satya. "Hem..." jawab Tari malu. "Berarti kamu masih mencintaiku." Satya tersenyum lebar. "Kalau begitu bolehkan aku tidur sambil memelukmu?" tanyanya lagi. "Hanya memeluk," tambah Satya berusaha meyakinkan Tari. Takut Tari masih merasa trauma. "Hemm...." Kembali Tari hanya menjawab dengan deheman tanpa berani menatap lansung mata Satya. "Benarkah?" "Iya," jawab Tari mengizinkan. Tak. mungkinnuga dia menolak. Sekarang status meraj usah kemabli sebagai suami istri. Pasti Dosa jika Tari menolak. Satya langsung beranjak bangun. Diletakkan guking di samping Sabia. Setelahnya segera pindah tempat di belakang tubuh Tari. Pelan tangannya dilingkarkan di perut rata Tari. Ta
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s