"Om bohong kan? Tari tidak mungkin menikah dengan orang lain." Aku menatap Om Ibra memelas tapi pria itu malah tersenyum miring. Aku menggeleng, kualihkan pandanganku pada Tari. "Ini tidak benar kan Tari, kamu hanya mencintaiku kamu tidak boleh menikah dengan orang lain." Tari tak menjawab, malah melengos dan memilih pergi bersama Sandra. "Tunggu Tari, kita harus bicara." Tak terima aku mengejarnya namun sebelum tanganku bisa menyentuhnya sebuah tangan menarik lenganku kasar. "Siapa yang mengizinkanmu menyentuhnya!!" ucap Ganendra dan langsung melepaskan bogem mentah ke arahku. Bugh..... Aku yang tak siap langsung tersungkur. Telingaku berdenging.... bersamaan pandanganku mengabur. Pusing dan nyeri terasa di rahangku. "Bangun!!" Ganendra melambai tangannya dengan tatapan mengejek. "Dua pukulan kecilku tidak membuatmu lemah, kan?" ejeknya. Dua kali sudah dia memukulku tapi di saat aku tak siap. Untuk ketiga kalinya akan menjadi giliranmu. "Beri aku satu pukulan
"Ada apa?" tanya Ganendra pada pria yang sejak tadi mengikutinya dari mulai lobby kantor sampai masuk ke ruangan kerjanya. Sebenarnya sejak tadi Ganendra tak menghiraukan pria itu tapi seperti tak tahu malu Bastian mengambil. alih semua peran sekretaris dan asisten Ganendra. Saat sang sekertaris membawakan minum, Bastian langsung merebut dan mengambil alih menyajikan di meja Ganendra. Lalu saat asisten pribadi Ganendra hendak membacakan jadwal meeting, Bastian juga mengambil alih pekerjaan pria itu. "Gue mau minta sedikit waktu lo," jawab Bastian dengan senyum yang membuat Ganendra muak. "Gue nggak ada waktu buat pengkhianat. Pergilah, sebelum gue suruh security nyeret lo keluar!" usirnya sembari memeriksa berkas-berkas dimeja kerjanya. Bastian bergeming, tak peduli meski dibilang pengkhianat. Baginya nasib karyawan dan usahanya lebih berharga ketimbang harga diri. "Gue minta maaf. Gue sudah salah sama lo sekeluarga." Bastian menundukkan kepalanya. "Silahkan lo m
Hari minggu pagi, Abisatya mengajak kedua orang tuanya untuk mendatangi kediaman keluarga Rahardian yang baru diketahuinya dua hari yang lalu. "Kamu sudah tahu rumah baru mereka?" tanya Farhan di tengah perjalanan. "Setahu Papa, Ibra dan Ganendra tinggal di apartemen dekat kantor mereka tapi selama ini tidak pernah terlihat ada Farah ataupun Bestari." Lanjutnya sembari memandang ke arah jalanan yang dia rasa berbeda dengan jalanan menuju apartemen yang barusan dia katakan. "Kemarin orangku sudah mendapatkan alamat mereka yang baru. Aku susupkan dua orang di acara pernikahan Ganendra untuk mengikuti Tari selesai acara," jelas Abisatya. "Kok bisa? Memangnya kamu tahu tempat pernikahannya?" Farhan cukup terkejut dan memberondong sang putra dengan pertanyaan. "Mama gak cerita?" tanya Satya melirik Aisyah yang duduk di kursi belakang. Aisyah pun membuang muka. "Tidak," jawab Farhan lalu melirik istrinya yang masih setia dengan kediamannya. "Papa juga nggak nanya." "Aku
"Kita tunggu Mas Dirga baru bicara," ucap Ibra saat Abisatya hendak membuka mulut. Dan pria itu pun menurut. Sama sekali tak membantah. Hanya matanya yang sesekali mengarah ke dalam rumah, berharap retina matanya bisa menangkap keberadaan Tari dan putrinya. "Iya, baik. Kita tunggu Mas Dirga saja. Biar dia yang menengahi." Farhan menyetujui ucapan Ibra. Namun Ibra yang masih sakit hati tak menyahut, sibuk dengan layar ponselnya. Mengirim pesan pada Ganendra supaya mengirim beberapa bodyguard ke rumah untuk berjaga-jaga. Farhan menoleh pada istrinya. "Kamu yang meminta Mas Dirga datang?" bisiknya di telinga Aisyah. "Hemm..." Aisyah mengangguk tapi tak ingin menjelaskan. Sehari sebelum pernikahan Ganendra, Aisyah memutuskan untuk meminta bantuan saudara yang mereka tua-kan. Menceritakan awal mula permasalahan dan meminta untuk ditengahi." Dan saat suami dan putranya turun untuk berbicara pada Security Aisyah menelpon sepupu tertua mereka dari sang nenek itu, sudah sampa
"Lalu Danisa? Bukankah dia hamil anakmu?" Tari menatap tajam Abisatya. Kesal bercampur marah menggunung di dadanya. Bagaimana tidak marah? Di saat dirinya berjuang antara hidup dan mati di atas ranjang operasi untuk melahirkan Sabia tapi Abisatya malah merancang pernikahannya dengan Danisa. "Tidak, aku tidak pernah menikahinya." Abisatya membantah dengan tegas. "Periksalah ktp-ku, statusku masih duda," tambahnya meletakkan dompetnya di atas meja. Nampak ekspresi keterkejutan di wajah Bestari dan detik berikutnya menatapnya nyalang. "Dasar lelaki tidak bertanggung jawab," cibirnya lalu membuang muka. Abisatya menarik nafas panjang, benar kata orang wanita memang mahluk Tuhan yang paling istimewa. "Sudah-sudah, sebaiknya kalian pulang dulu saja." Melihat situasi yang mulai memanas, Dirga memutuskan untuk menghentikan pembicaraan siang ini. "Maaf, bolehkah saya minya izin bertemu cucu sebentar, untuk memberikan sedikit hadiah," mohon Aisyah. Farah melirik paper bag de
Pukul sepuluh siang, Sandra menjemput Bestari untuk jalan-jalan sekalian makan siang di luar. "Sabia biar di rumah aja sama Mama. Kamu pergilah berdua sama Sandra," kata Farah saat Bestari izin hendak keluar. "Nggak ah Ma, Sabia biar aku ajak saja. Ntar malah nangis nyariin aku. Malah rewel nyusahin Mama." "Ngomong apa kamu itu, mana ada cucu secantik ini nyusahin Mama. Yang ada malah bikin kangen terus..." Farah menciumi bayi yang baru merayakan ulang tahunnya sebulan yang lalu itu. "Loh Te.... aku juga mau ngajak Sabia... mau tak belikan baju Tante buat hadian ulang tabunya kemarin. Kan aku gak bisa dateng karena wisuda." Sandra mengerucutkan bibirnya. "Bolehlah Tante, aku ajakin cucunya yang cantik ini keluar. Lagian kita nanti makannya di kafe khusus ibu-ibu muda. Jadi, ada area untuk bayinya." Sandra memeluk Farah dari samping, berusaha merayu kakak ipar dari mamanya itu. "Boleh, tapi..... jaga baik-baik anak dan cucu Tante ya..." "Siap laksanakan," ucap Sandra m
Selesai makan siang, Alfa pamit lebih dulu karena ada meeting dadakan dengan bosnya yang baru kembali dari liburan di luar negeri. "Mau aku antar sekalian?" Alfa menawarkan diri untuk mengantar Bestari pulang sekalian balik ke kantor. "Nggak usah, takut nanti Kak Alfa malah telat sampai ke kantornya," tolak Bestari. "Aku pulang sama Sandra dan Jihan saja, ini juga masih ada yang ingin dibeli." "Ya sudah kalau begitu aku duluan. Ingat jangan pulang kesorean, sekarang musim hujan. Bahaya kalau nyetir saat hujan." Sebelum pergi Alfa mengelus kepala Bestari. "Siap Kak," sahut ketiganya kompak. Baru lima menit Alfa pergi, sebuah pesan masuk ke ponsel Sandra. Gadis itu langsung cemberut karena harus pergi lebih dulu. Ada urusan yang harus dia kerjakan dan itu berhubungan dengan usaha yang ingin dirintisnya. "Udah gak papa. Biar Tari pulang sama aku," ujar Jihan. "Padahal kan belum puas main," keluh Sandra manyun. "lain kali kan bisa, yang penting sekarang kerjaan dulu."
Pov Abisatya Siang ini aku ada meeting dengan wakil dengan rekan bisnisku di sebuah restoran yang ada di Mall pusat kota. Baru aku masuk area parkiran, tanpa sengaja aku melihat Alfa keluar dari mobilnya. Kulihat jam di pergelangan tangan, ada sedikit waktu. Kuputuskan untuk menuntaskan rasa penasaran dengan mengikutinya. Ternyata Alfa tidak sendiri, seorang wanita menunggunya di pintu masuk lantai tiga. Melihat Afa, wanita itu tersenyum dan mereka berjalan beriringan. Nampak sesekali berbincang selayaknya teman. Mungkin mereka rekan kerja atau teman lama. Aku mengenal Alfa cukup lama, sedikit banyak aku tahu sifatnya. Pendiam dan sulit ditebak. Kami mulai berteman sejak kecil. Pastinya sejak aku tinggal di rumah pemberian Tante Farah. Rumah yang berada tepat di sebelah rumah mewah keluarga Rahardian. Dan setelah bisnis Papa sukses, kami pindah ke rumah yang sekarang kami tempati Mengingat kenangan itu aku jadi menyesal ikut pindah. Seandainya tetap di sana mungkin hub
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s
"Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga