Arimbi terdiam sejenak. Ia menata emosinya dulu, baru bertindak. Melihat gaun pengantin berkerah sabrina yang dipegang oleh Icha di belakang Nina, satu pengertian memasuki benak Arimbi. Seno dan Nina akan menggelar resepsi juga rupanya. Dan gaun yang dipegang oleh Icha itu adalah gaun pengantin untuk resepsinya bersama Seno. Rupanya Nina akan mengenakan gaunnya.
'Tenangkan dirimu, Rimbi. Bersikaplah anggun dan penuh harga diri. Jangan membuat ular beludak ini tertawa karena melihat keterpurukanmu,' batin Rimbi.
"Iya, Mbak. Ini Mas Esha memesan kebaya spesial untuk saya kenakan saat akad nanti. Bagus tidak, Mbak?" Arimbi dengan sengaja memutar tubuhnya sekali. Memperlihatkan siluet tubuh rampingnya yang anggun dengan kebaya putih gadingnya.
"Ya, lumayanlah. Untuk ukuran calon mempelai pengganti, si Esha cukup royal juga. Asal jangan nanti setelah nikah kamu dicerai ya?"
Tiwi terbatuk. Sementara Icha berdiri serba salah. Mereka berdua merasa kasihan pada Arimbi yang diserang oleh perempuan yang baru saja datang bersama Seno. Mereka tidak perlu bertanya apapun. Melihat Ganesha yang dua hari lalu meminta butik menyelesaikan sebuah jas ukuran tubuhnya, dan kebaya spektakuler dengan ukuran tubuh Arimbi, mereka sudah menduga-duga akan adanya swicth atau pertukaran mempelai pria.
Dugaan mereka makin menguat saat melihat Arimbi datang bersama Ganesha. Dugaan telah menjadi kebenaran, ketika perempuan bernama Nina ini datang bersama Seno ke butik. Nina ingin mencoba kebaya lama Arimbi kala fitting dengan Seno kemarin dulu. Kesimpulan yang mereka lihat dari pengamatan singkat ini adalah, sepertinya Seno memilih Nina dan mencampakkan Arimbi. Sehingga Arimbi pada akhirnya mencari mempelai pengganti. Kasihan.
Selain itu mereka takut akan terjadi huru hara di ruang fitting room ini. Dua orang perempuan yang berseteru karena cemburu itu damagenya luar biasa.
"Ya begitulah, Mbak. Mas Esha bilang, ia ingin yang terbaik untuk Rimbi. Tidak seperti Mas Seno. Dia malah memberikan gaun pengantin bekas Rimbi pada Mbak. Terlihat sekali, kalau Mas Seno itu tidak mau usaha."
Arimbi menggeleng-gelengkan kepala. Menampilkan sikap prihatin. Di depannya, Tiwi dan Icha nyengir. Dibalik sifatnya yang lembut, Arimbi mampu membalas perempuan yang dipanggil Nina dengan sindiran menusuk.
"Mengenai Mas Esha menceraikan Rimbi, semoga saja tidak ya? Hati-hati mendoakan hal-hal jelek pada orang lain lho, Mbak. Takutnya nanti malah berbalik pada diri sendiri," sahut Arimbi kalem.
"Oh ya, Mbak Nin. Gaun Rimbi itu, pinggangnya sangat kecil. Sepertinya Mbak harus mengubahnya di bagian pinggang dan perut. Bukan apa-apa. Takutnya nanti di hari H, bagian perutnya tidak bisa dikancing."
Tiwi dan Icha saling berpandangan. Dalam diam mereka ikut senang dengan jawaban cerdas bercampur sarkas Arimbi. Dari kalimat ambigu Arimbi, mereka juga sudah bisa menebak penyebab Seno memilih Nina. Perempuan ini sudah hamil rupanya.
"Khusus doa Rimbi untuk Mbak Nina. Semoga pernikahan Mbak langgeng sampai Mahmud memisahkan. Eh maut memisahkan," imbuh Arumbi kenes. Setelahnya Arimbi mengarahkan pandangan pada Tiwi.
"Ayo, Mbak Tiwi. Saya sudah tidak sabar untuk memamerkan kebaya ini pada calon suami saya."
Arimbi berjalan melewati Nina dengan dagu terangkat tinggi. Di belakangnya Tiwi mesem-mesem, karena kesusahan menahan senyum. Kekhawatirannya dengan Icha akan berseteruan antar dua calon pengantin di ruang ganti pakaian ternyata tidak terjadi.
Di luar fitting room, seperti yang Arimbi duga, ada Seno di sana. Seno duduk bersisian dengan Ganesha yang sudah mengenakan jas abu-abu pesanannya tadi. Ternyata Ganesha sudah mencoba jas barunya. Hanya saja belum dilepas.
Kedua kakak beradik itu duduk dengan tegang. Jelas terlihat keduanya sama tidak nyamannya. Hanya saja, Ganesha lebih bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya. Air muka Ganesha datar sembari memainkan ponsel. Sementara Seno duduk diam dengan tangan saling terjalin di pangkuan.
"Mas Esha, ini kebaya pesanannya sudah dipakai oleh Mbak Rimbi." Tiwi memecah keheningan dua pria menawan di depannya. Ganesha pun berpaling.
"Wah, bagus sekali kebayanya ya, Rimbi? Cocok sekali kamu memakainya." Ganesha mematikan ponsel dan mengacungkan jempolnya pada Arimbi.
"Iya, Mas. Ukurannya juga pas sekali. Terima kasih karena Mas sudah memesan kebaya yang sangat indah ini untuk saya."
Arimbi memaksakan seulas senyum manis. Padahal dalam hati, Arimbi ingin sekali memaki-maki laki-laki lemah iman di samping Ganesha. Entah apa maksud Seno membawa Nina ke butik ini. Seolah-olah di ibukota ini tidak ada butik bridal yang lain.
"Mas, gaunnya jelek sekali. Saya tidak suka model maupun warnanya. Norak dan murahan. Tidak ada bling-blingnya lagi. Kurang mewah. Selain itu saya juga tidak nyaman memakainya!"
Nina muncul di belakang Arimbi dengan kata-kata tidak mengenakkan. Selama berbicara, Nina juga dengan susah payah menahan napasnya. Kalau ia salah bernapas, dikhawatirkan bajunya akan robek karena kesempitan.
"Maaf, saya adalah designer gaun pengantin yang Anda kenakan."
Sebastian Reynaldi. Sang perancang busana sekaligus pemilik Swan Butique and Bridal, yang baru saja tiba, tersinggung. Ia sudah belasan tahun melayani jasa merancang kebaya dan gaun pernikahan para pejabat, artis dan sosialita negeri ini tersinggung. Kata-kata Nina mencoreng harga diri dan brand butiknya.
"Saya akui selera tiap orang itu berbeda-beda. Namun, kalimat Anda yang mengatai gaun spektakuler saya dengan kalimat murahan dan norak, saya tidak terima. Ada standard dan aturan dasar dari kami, para designer, dalam menilai fashion dan model terkini. Anda harus bisa membuktikan di bagian mana gaun rancangan saya yang sudah masuk dalam majalah bridal ini, murahan dan norak. Dan kalau Anda tak bisa membuktikannya, maka saya akan membuat laporan kepada pihak yang berwajib atas dasar penghinaan dan pencemaran nama baik."
Sebastian Reynaldi mengamuk. Usaha bridalnya yang sudah mendunia dikatai norak dan murahan oleh orang yang bukan siapa-siapa. Makanya ia siap menuntut atas pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Untuk itu Seno buru-buru meredakan kemarahan sang perancang busana yang Nina hina.
"Sorry, Yan. Nina asal bicara. Gue mewakili Nina meminta maaf." Seno meminta maaf sebelum urusan bertambah panjang. Nina telah menghina seorang desainer senior hanya karena ingin mencela gaun pengantin pilihan Arimbi.
"Baik. Kalau begitu silakan lo dan pasangan lo mencari gaun di tempat yang lain saja. Yang sesuai dengan selera calon istri lo yang tidak biasa. Mungkin gaun berwarna kuning terang dengan hiasan manik-manik dan mote-mote bling-bling seterang lampu petromaks di kala malam."
Ketusnya kalimat Sebastian menandakan bahwa ia sangat tersinggung akan hinaan Nina atas karyanya.
"Udahlah, Yan. Lo nggak perlu membuang-buang napas melayani sesuatu yang level belum nyampe di lo. Lebih baik lo komentarin aja kebaya design lo yang gue minta tambahin kerah biar sopanan dikit."
Ganesha mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang lebih berguna.
"Oke, Bro. Sebagai seorang pengusaha yang tidak tahu menahu soal fashion, gue angkat jempol buat lo. Lo bisa menambahi satu karya seni tanpa mengubah cita rasa perancang aslinya." Sebastian mengacungkan jempolnya.
Tak lama, ia pun menatap rendah Seno dan Nina.
"Oh ya, gue juga mau mengucapkan selamat pada lo yang sudah berhasil memilih permata alih-alih batu kali. Selamat ya, Ganesha. Hidup lo pasti akan lebih tenang dan bermakna. Jauh dari si Seno yang penuh dengan huru hara dan melodrama."
Kini resepsi telah usai. Saat ini, Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah. Arimbi memandang sekeliling ruangan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut. Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah. "Hufft...." Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar
Napas Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha. "Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya. Alhamdullilah! Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja. Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya. Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno
"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat meski matanya sudah membola. Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha? Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter. "Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi." Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes di ujung-ujung rambutnya. "Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya. Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya. "Kamu tidak perlu mi
"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha."Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit.Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya."Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?"Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu."Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan
'Padahal kamu sudah mengucapkannya tiga tahun lalu. Lantas kembali mengucapkannya tidak kurang dari dua minggu yang lalu,' batin Ganesha."Astaga, tidak, Mas. Mana mungkin saya setidaktahu diri itu meminta bagian saham?" cicit Arimbi ngeri. "Coba ingat-ingat lagi. Tiga tahun yang lalu, atau dua minggu yang lalu mungkin?" Ganesha mencoba memberi kata kunci.Tiga tahun yang lalu? Sudah lama sekali. Ia tidak ingat tentu saja. Kalau dua minggu yang lalu? Arimbi mencoba mengingat-ingat. Dua minggu lalu, itu artinya ia masih bersama dengan Seno. Perasaan ia tidak mengatakan apapun pada Seno."Sumpah demi apapun, saya bukan orang yang seperti itu, Mas. Lagi pula untuk apa saya meminta saham, jabatan, ini itu. Bukannya saya sombong. Tapi harta benda kedua orang tua saya sudah lebih dari cukup, Mas. Saya tidak butuh yang lain lagi." Arimbi semakin ngeri.Ganesha mendecakkan lidah. Ternyata ia salah menebak kepribadian Arimbi. Selama tiga tahun menjadi kekasih Seno, ia mengira Arimbi adalah so
"Aku menyindir?" Ganesha menunjuk dadanya sendiri dengan sendok masih di tangan. Bahasa tubuhnya tetap cuek, tak terganggu. "Aku hanya mengatakan kebenaran di depan matamu. Aku bukan tipe orang yang suka menyindir-nyindir. Lagipula, kamu ini aneh. Kamu sendiri yang mengoceh-ngoceh. Giliran diberi tanggapan, malah kamu yang ngamuk-ngamuk. Kamu waras kan?" "Sudah Seno, jangan membuat keributan. Selesaikan makanmu dan segera kembali ke kantor. Kamu makan siang di sini karena ingin makan rendang buatan Ibu bukan?" Bu Santi dengan sigap menengahi pertikaian di antara kedua putranya. Seno dan Ganesha memang seperti ini adanya sedari keduanya remaja. Seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur satu sama lain. Seno kerap membuat masalah, dan Ganesha lah yang menyelesaikannya. "Ibu selalu begini. Membela Mas Esha terus." Seno makin sewot. Dia khawatir Arimbi makin tidak respek padanya karena terus dimarahi seperti seorang anak kecil. "Oh, jadi kamu berharap dibela oleh Ibu? Minta perlin
Laju mobil melambat ketika Ganesha berbelok ke arah perumahan Griya Riatur Residence. Ternyata rumah masa depan Ganesha dan Nelly dulu ada di perumahan mewah ini. Arimbi menarik napas lega. Karena dengan begitu jarak antara rumah dan tempat kerjanya menjadi lebih dekat. Ayahnya memang baru membuka minimarket wiralabanya di daerah ini. Dan kebetulan dirinyalah yang mengurus minimarket baru ini. Sania, kasir minimarket sedang cuti karena baru melahirkan. Dan selama Sania cuti, dirinyalah yang menggantikan tugas Sania menjadi kasir minimarket. Arimbi sudah menjalani tugas barunya ini selama dua minggu. Ganesha membunyikan klakson dua kali kepada Satpam yang berjaga di pos depan perumahan. Salah seorang dari Satpam yang tengah berjaga, mengangkat tangan dan mempersilakan Ganesha melanjutkan perjalanan. Mobil pun kembali melaju dan berangsur melambat ketika mereka tiba di jalan Kemuning nomor sembilan belas. Ganesha menghentikan kendaraan. Namun ia tidak mematikan mesin mobil di depan r
Ruang tamunya terkesan elegan dan klasik dengan sentuhan material kayu dan warna dominan coklat tua serta krem. Lantai terlihat asri dengan serat-serat kayu yang disusun sesuai alurnya. Bagian plafonnya perpaduan antara kayu jati dan juga gipsum berwarna putih bersih. Ada empat buah jendela-jendela kaca dengan ukuran besar yang menghadap langsung ke taman. Ada juga arena foyer yang mengatur sirkulasi udara dan juga cahaya. Kesan yang Arimbi dapatkan adalah rumah ini memberikan kehangatan dan kenyamanan dibalik kemewahannya."Kamu suka rumahnya?""Gila aja kalau rumah seperti istana begini saya tidak suka." Arimbi membatin."Baguslah kalau kamu suka. Berarti kamu tidak gila." Ganesha ngeloyor masuk ke dapur. Ia haus. Arimbi yang ditinggal melongo. Mengapa Ganesha bisa membaca isi hatinya? Padahal tadi ia hanya membatin saja. Sepertinya mulai hari ini ia harus menghilangkan kebiasaannya membatin. Karena ia menduga Ganesha bisa membaca isi hatinya. Bisa gawat kalau ia mengata-ngatai Ga
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa
"Kamu tadi menanyakan bagaimana Mas tahu perihal rumah impianmu bukan? Nah, itu dia orang yang sudah memberitahu Mas. Seno, sini." Ganesha melambaikan tangannya pada Seno. Memanggil adiknya yang tengah mewarnai gambar dengan Mahesa. Semenjak tahu bahwa dirinya telah mempunyai seorang anak, Seno berubah banyak. Ia kini lebih kalem dan bertanggung jawab. Di sela-sela waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan putranya. "Jadi kamu yang membocorkan rahasiaku?" Arimbi berpura-pura marah pada Seno. Ia juga berusaha bersikap wajar pada Seno. Bagaimanapun Seno adalah adik iparnya sekarang."Ampun, Kakak Ipar. Aku terpaksa melakukannya karena diancam Mas Esha. Katanya ia akan membuangku keluar kota kalau aku tidak mau bekerjasama." Seno meringis. Ia menghargai usaha Arimbi yang ingin berinteraksi wajar dengannya. Mereka sekarang telah menjadi satu keluarga besar."Jangan membuat Rimbi memandangku sebagai kakak yang kejam ya, Sen?" Ganesha mengacungkan tinjunya pada Seno.
Arimbi melirik Ganesha sekilas saat laju mobil memasuki hunian mewah kompleks Graha Mediterania. Kompleks perumahan mewah yang baru saja launching minggu ini. Ia mengetahui perihal hunian mewah ini karena memang dibangun oleh Caturrangga Group dan beberapa investor dari Jepang. Selain hotel dan condominium, Caturrangga Group juga membangun kompleks-kompleks perumahan mewah dengan segmen pasar kelas atas atau high end."Kita akan mengunjungi salah satu customer Mas ya? Apa tidak mengganggu kalau Mas menemui costumer di hari Minggu begini?" "Nggak kok, Rim. Tenang aja. Kita semua akan bersenang-senang bersama." Ganesha tersenyum lebar. Ia memahami rasa penasaran istrinya. Arimbi mengerutkan kening. Kita? Bersama? Apa yang Ganesha maksud?Laju kendaraan melambat tatkala melewati rumah demi rumah mewah yang mereka lewati. Sebagian besar bentuknya sama karena memang dibangun seragam. Sebagaian lagi bentuknya sudah berubah karena direhab sesuai dengan selera para pemilik rumah.Tatkala la
Bu Astuti terpana. Ia tidak menyangka kalau Rina bisa bersikap seluwes itu terhadap Mahesa. Biasanya Rina itu tidak menyukai anak kecil. Rina anak tunggal. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Menurut Rina anak kecil itu rewel dan menyusahkan. Tumben kali ini Rina bersikap begitu kompak pada Mahesa. Syukurlah, berarti tujuannya mendekatkan Rina dengan Seno akan semakin mudah. Mengingat Mahesa adalah darah daging Seno. Mendekati Mahesa artinya mendekati Seno juga."Rina dan Mahesa cocok sekali ya, San? Sepertinya kalau menjadi ibu dan anak pas ya?" Bu Astuti meminta tanggapan Bu Santi."Iya, Tut. Kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik saja. Biar yang muda-muda menentukan jalan hidup mereka sendiri." Bu Santi memberi jawaban netral. Ia memang setuju Rina menjadi pengganti Nina. Selain perilaku Rina yang sekarang membaik, ia juga gembira bisa melaksanakan niat Pak Syarief almarhum yang ingin berbesanan dengannya. Namun ia menyerahkan semuanya pada Seno dan Rina sendir