"Tunggu dulu! Mengapa Mas Esha yang jadi menggantikanku? Sebelum berangkat tadi, Ayah dan Ibu tidak bilang apa-apa bukan?"
Seno panik. Ia tidak rela kalau Arimbi akan dimiliki oleh laki-laki lain. Apalagi oleh kakaknya sendiri. Karena dengan begitu di masa yang akan datang, ia akan kerap berintraksi dengan Arimbi. Namun bukan sebagai pasangan kekasih. Tetapi kakak iparnya. Dan Seno tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
Selain itu, apabila Arimbi menjadi kakak iparnya, akan sulit baginya untuk meraih kembali Arimbi dalam dekapan. Karena seandainya ia bercerai dengan Nina pun, tidak mungkin juga dirinya menjadi pebinor kakak kandungnya sendiri. Ia pasti akan dihujat oleh keluarga besarnya. Lain cerita kalau Arimbi menikahi laki-laki lain. Kesempatan untuk mendapatkan Arimbi kembali masih terbuka lebar.
"Lantas, apa kamu punya solusi lain, Seno? Punya tidak?!"
Bentakan Pak Hasto membuat Seno kehilangan kata-kata. Ia memang telah melakukan kesalahan. Namun yang lebih salah adalah si ular beracun Nina. Karena dari perempuan manipulatif itulah semua kekacauan ini berasal.
"Kamu datang-datang hanya bilang kalau kamu sudah menikahi Nina. Menurutmu Ayah harus bagaimana, Seno? Apa kepala dangkalmu itu pernah memikirkan, bagaimana bingungnya Ayah dan Ibu menjelaskan soal ketololanmu ini pada Rimbi dan kedua orang tuanya? Kamu pikirkan tidak?!"
Pak Hasto merasa darahnya menyembur hingga ke ubun-ubun, melihat pendeknya cara berpikir putra bungsunya. Sudah pemikirannya pendek, egois lagi.
Seno menunduk. Ia tahu kesalahannya sangat fatal. Namun ia masih tidak rela melepas Arimbi. Tapi jika memang Arimbi tetap akan menikah minggu depan, Seno berharap, bahwa pasangan Arimbi boleh siapa saja. Ia tidak peduli. Yang penting bukan kakak kandungnya. Karena peluangnya akan sangat kecil untuk kembali merebut Arimbi kembali.
"Jadi bagaimana Pak Handoyo? Bapak bersedia menerima Esha sebagai pengganti Seno?" Pak Hasto meminta kesediaan calon besannya. Ya, calon besan dengan anaknya yang lain.
Pak Handoyo tidak langsung menjawab. Ia melirik anak perempuan satu-satunya terlebih dahulu. Arimbi memang terlihat tenang. Tidak ada emosi berlebihan pada air mukanya. Namun Pak Handoyo tahu bahwa dalam hatinya Arimbi tidak setenang itu. Lihatlah, kedua tangan Arimbi mengepal kuat di pangkuannya.
"Bagaimana Rimbi? Bersediakah kamu menerima Esha sebagai suamimu?" Pak Handoyo memberi keputusan akhir di tangan Arimbi.
Ya Allah, berilah aku jawaban atas semua kejadian ini. Jalan mana yang harus aku lalui?
Arimbi berdoa dalam hati. Ia tidak mempunyai gambaran sama sekali. Ia takut membuat keputusan yang salah. Bertepatan dengan itu ponsel yang ia letakkan di atas pangkuan bergetar. Nina mengirim pesan. Arimbi membuka pesan berupa photo-photo dari Nina.
Foto pertama berlatar belakang gedung olah raga. Nina tampak sedang bertepuk tangan gembira dan tersenyum lebar ke arah kamera. Nina tidak sendiri. Ada Seno yang duduk di sebelahnya. Sepertinya Nina dan Seno sedang menonton pertandingan bola basket.
Foto kedua memperlihatkan Nina yang tengah menikmati makanan khas Jepang. Nina berpose menjepit sushi rice dengan sumpit, seraya membuka mulutnya lucu. Dan lagi-lagi ada Seno di sampingnya. Memang mereka tidak hanya berdua. Ada beberapa teman Nina yang kebetulan ia kenal, dan juga dua orang teman sekantor Seno. Namun cara duduk Nina dan Seno tampak intim. Tubuh Nina condong mepet sekali pada Seno.
File terakhir berupa sebuah video berdurasi pendek. Dalam video ini terlihat Nina sedang bernari di dance floor. Dan seperti tadi, ada Seno juga yang menari di sampingnya. Mungkin inilah kejadian yang membuat Nina hamil. Hah, katanya saja terpaksa menemani duduk sebentar demi kesopanan. Terpaksa kok bisa menari-nari?
Arimbi memejamkan matanya yang terasa pedih. Kini ia sudah mendapatkan gambaran, keputusan apa yang akan ia buat. Sepertinya Allah telah memberikan jawaban padanya melalui Nina.
"Sebelum Rimbi membuat keputusan, bolehkah Rimbi mengajukan pertanyaan pada Mas Seno?" Arimbi ingin menuntaskan rasa penasarannya.
"Silakan, Rimbi. Tanya saja. Mas akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanmu?" sahut Seno cepat. Asa bermekaran di dadanya. Sepertinya Arimbi akan menolak Ganesha.
"Mas, coba jawab pertanyaan Rimbi dengan jujur. Sebelum peristiwa di club malam yang Mas katakan tadi, pernahkah Mas bertemu dengan Mbak Nina di belakang Rimbi?"
"Tidak pernah, Rimbi. Hanya di club itu saja. Itu pun setelah Nina mengatakan bahwa kamu ada di sana."
Seno bohong. Itu artinya semua hal yang dikatakannya bisa jadi kebohongan belaka.
"Lantas bagaimana dengan photo-photo dan video ini?" Arimbi memperlihatkan photo-photo dan video yang dikirimkan oleh Nina.
Air muka Seno memucat. Ia merebut ponsel dari tangan Arimbi dan memeriksa photo-photo dan video yang dikirimkan oleh Nina. Dari belakang tubuh Seno, kedua orang tuanya ikut melihatnya. Pak Hasto seketika memijat-mijat keningnya. Sementara Bu Santi menarik napas panjang. Sebagai orang tua, keduanya tidak tahu lagi harus mengatakan apa.
"Ini... ini... tidak seperti yang kamu pikirkan, Rimbi." Seno buru-buru menyanggah.
"Semua kejadian dalam photo-photo ini bisa menipu jika tidak dijelaskan hal yang sebenarnya. Kami berdua tidak janjian. Apalagi pergi bersama-sama. Nina menonton basket dengan teman-temannya sendiri, Sementara Mas bersama dengan teman-teman kantor. Kami hanya kebetulan bertemu di sana."
"Dan yang di gerai restaurant Jepang ini, kejadiannya tiga bulan lalu saat Mas makan siang dengan teman-teman kantor. Kamu malah sempat bertanya Mas ada di mana waktu itu bukan? Mas bilang kalau Mas sedang makan siang di restoran Jepang. Kamu ingat 'kan?" Seno langsung memberikan penjelasan.
Sayangnya, Arimbi sadar Seno bukan menjelaskan. Pria itu terkesan menekannya agar memaklumi perbuatannya.
"Kalau video di club, kamu juga sudah tahu ceritanya bukan? Tentang pesta ulang tahun Nina dan obat perangsang yang ia bubuhkan di minuman Mas," lanjut Seno lagi.
Arimbi tersenyum kecut. Semakin ke sini, Arimbi semakin bisa menilai kepribadian Seno. Seno ini bermental pecundang. Sudah terbukti salah, bukannya dengan kesatria mengakui semua kesalahannya, ini malah ngeles kanan kiri. Menekan orang yang ia bohongi lagi. Luar biasa! Untuk pertama kali, Arimbi bisa melihat hikmah dari batalnya pernikahannya dengan Seno ini.
"Benar, Mas waktu itu bilang kalau Mas sedang makan siang di restoran Jepang. Tetapi Rimbi ingat sekali, Mas tidak bilang kalau Mas makannya duduk bersebelahan dengan Mbak Nina 'kan?"
Kalimat Arimbi membuat Seno kelimpungan. Ia tidak punya jawaban yang pas dengan suasana tegang seperti ini. Takutnya ketegangan jadi semakin mengerucut.
"Jawab pertanyaan anak saya, Seno! Apa kamu mendadak tuli?" Pak Handoyo gregetan melihat calon menantu tidak jadinya ini. Sekarang ia malah lega karena anak perempuannya tidak jadi menikah dengan pembohong seperti Seno ini.
"Waktu itu, Mas tidak berani mengatakannya, Rimbi. Mungkin kamu tidak tahu, kalau selama ini Nina terus mengejar-ngejar, Mas. Mas takut nanti kamu malah salah persepsi. Mas hanya ingin menjaga perasaanmu. Makanya Mas tidak bilang apa-apa. Walau bagaimanapun Nina itu kakak sepupumu. Mas tidak mau membuat kalian berdua ribut."
Akhirnya Seno mengeluarkan apa yang selama ini ia sembunyikan. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu kalau Nina mengejar-ngejarnya. Sebagai laki-laki normal, jujur ia sempat bangga saat rekan-rekan sekantornya mengatakan bahwa ia keren parah hingga dikejar-kejar sepupu pacar sendiri. Tidak kalah cantik dari Arimbi lagi. Pujian tersebut sempat melambungkan egonya.
Untungnya, ia masih memiliki akal sehat. Ia tidak mau hubungannya dengan Arimbi menjadi seperti peribahasa ; akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Makanya ia terus menghindar dari kode-kode dan pendekatan nekat yang dilakukan oleh Nina.
"Dan dan sekarang, bagaimana akhirnya Mas? Mas berhasil menjaga perasaan Rimbi, tidak?" sindir Arimbi.
Seno tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan gelisah.
"Maaf ya, bukannya saya ingin menginterupsi perdebatan kalian berdua. Namun menurut hemat saya, hal-hal yang sudah terjadi atau tidak ada konsekuensinya dengan masa depan, sebaiknya tidak usah dibahas-bahas lagi. Buang-buang waktu saja."
Ganesha yang sedari tadi sudah bosan mendengar drama-drama ala sinetron Arimbi dan Seno, bersuara. Ia memang paling tidak betah menonton perdebatan tanpa solusi begini. Mengantuk jadinya.
"Arimbi, sekarang saya tanya, apa kamu bersedia saya lamar untuk menjadi istri saya?"
Tanpa tedeng aling-aling Ganesha melamar Arimbi. Ia ingin melewatkan drama-drama derai mata atau malu-malu kucing khas perempuan kala dilamar. Bukannya ia tidak menghargai perasaan kaum perempuan. Masalahnya situasi lamarannya berbeda. Yang ia butuhkan saat ini hanya jawaban antara ya atau tidak.
Arimbi mematung. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Ganesha akan melamarnya secara langsung begini. Bukan apa-apa. Arimbi tadi sempat melirik sekilas wajah Ganesha, saat Pak Hasto tadi menyampaikan bahwa ia menyodorkan Ganesha untuk menggantikan tempat Seno.
Kala itu Ganesha langsung menatapnya tajam. Seolah-olah mengatakan bahwa gara-gara dirinyalah, Ganesha menjadi korban. Makanya Arimbi sempat ragu-ragu. Belum lagi pada dasarnya ia takut pada Ganesha. Meski begitu ia memang sudah mentekadi akan menerima usul Pak Hasto, setelah Nina mengirim photo-photo dan videonya dengan Seno.
Dan kini setelah Ganesha melamarnya dengan mulutnya sendiri, tekad Arimbi kian bulat. Sudahlah, mungkin Allah sudah mempunyai rencana lain untuknya. Mungkin juga Seno hanya ditakdirkan menemani sampai kini, sementara Ganesha akan mendampinginya hingga ke masa depan.
Ternyata kalimat jodoh pasti bertemu, jodoh tidak akan ke mana-mana bukan kebohongan belaka. Buktinya Allah mempersulit hubungannya dengan Seno, namun memudahkan segala urusannya dengan Ganesha. Ya, sesederhana itu Allah menunjukkan tanda-tandaNya.
"Ya, saya bersedia, Mas Esha. Pokoknya saya bersedia menikah dengan siapa saja, asal jangan dengan Mas Seno." Entah mengapa melihat wajah shock Seno, Arimbi jadi ingin membuat Seno makin shock lagi.
"Cukup sampai kalimat, saya bersedia saja. Saya tidak butuh sisa kalimat lainnya."
Beginilah Ganesha. Pedasnya ucapannya level dewa. Makanya menurut Seno dulu, tidak ada perempuan yang betah berdekatan lebih dari sepuluh menit dengan Ganesha. Bahkan Menik, sahabatnya yang juga mantan pacar Ganesha menyerah menghadapi kecuekan Ganesha. Padahal, Menik itu tingkat kesabarannya masuk dalam sepuluh besar orang yang paling sabar versi on the spot. Namun Arimbi juga tidak menyangka, bahwa dirinya akan menggantikan posisi Menik. Bukan hanya sebagai pacar, tetapi langsung menjadi istri!
Arimbi melirik Ganesha yang tengah menyetir di sampingnya. Saat ini mereka berdua akan melakukan fitting terakhir pakaian pengantin. Arimbi sama sekali tidak menduga, kalau pada fitting terakhirnya akan ia lakukan bersama Ganesha setelah dua kali sebelumnya bersama Seno. Tapi seperti inilah kenyataan. Semua hal bisa kita rencanakan. Namun hasil akhirnya, tetap menjadi rahasia Allah. Laju mobil berbelok ke kanan. Jalan yang diambil Ganesha memang benar. Mereka akan ke butik di mana dirinya dan Seno memesan pakaian. Ya, dalam pernikahannya dengan Ganesha tiga hari lagi, dirinya memang tetap akan mengenakan pakaian pengantin seperti yang ia dan Seno pilih tiga bulan yang lalu. Hanya saja mempelai prianya beda. Tiga puluh menit telah berlalu sejak mereka berkendara. Namun tidak sepatah pun kata keluar dari bibir mereka berdua. Ganesha menyetir dengan mulut terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan. Ganesha bersikap seolah-olah tidak ada penumpang di dalam mobilnya. Arimbi m
"Mas Esha sudah datang. Sebentar saya akan mengambilkan jas pesanan Mas Esha. Pak Tian keluar sebentar. Tapi beliau sudah menyelesaikan semua pesanan Mas Esha. Tunggu sebentar ya, Mas?" Tiwi, salah seorang staff Swan Boutique and Bridal, milik Sebastian Reynaldi, sang perancang busana, sekaligus pemilik butik, menyambut Ganesha dan Arimbi hangat. Tiwi adalah asisten senior butik yang biasanya melayani Arimbi dan Seno. Arimbi tersenyum kecil. Ia malu karena datang ke butik bersama laki-laki yang berbeda. Ketika ia masuk ke dalam butik bersama Ganesha saja, beberapa orang staf tampak berbisik-bisik lirih. Arimbi yakin mereka pasti membicarakannya. Wajar, mengingat bahwa biasanya ia mendatangi butik bersama dengan Seno. Arimbi duduk diam di sudut butik. Sementara Ganesha melihat-lihat beberapa kebaya-kebaya kontemporer rancangan Sebastian Reynaldy yang dikenakan pada manekin. Ganesha memesan jas yang lain rupanya. Bukan jas yang sedianya akan dikenakan oleh Seno. Sejurus kemudian
Arimbi terdiam sejenak. Ia menata emosinya dulu, baru bertindak. Melihat gaun pengantin berkerah sabrina yang dipegang oleh Icha di belakang Nina, satu pengertian memasuki benak Arimbi. Seno dan Nina akan menggelar resepsi juga rupanya. Dan gaun yang dipegang oleh Icha itu adalah gaun pengantin untuk resepsinya bersama Seno. Rupanya Nina akan mengenakan gaunnya.'Tenangkan dirimu, Rimbi. Bersikaplah anggun dan penuh harga diri. Jangan membuat ular beludak ini tertawa karena melihat keterpurukanmu,' batin Rimbi."Iya, Mbak. Ini Mas Esha memesan kebaya spesial untuk saya kenakan saat akad nanti. Bagus tidak, Mbak?" Arimbi dengan sengaja memutar tubuhnya sekali. Memperlihatkan siluet tubuh rampingnya yang anggun dengan kebaya putih gadingnya."Ya, lumayanlah. Untuk ukuran calon mempelai pengganti, si Esha cukup royal juga. Asal jangan nanti setelah nikah kamu dicerai ya?"Tiwi terbatuk. Sementara Icha berdiri serba salah. Mereka berdua merasa kasihan pada Arimbi yang diserang oleh peremp
Kini resepsi telah usai. Saat ini, Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah. Arimbi memandang sekeliling ruangan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut. Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah. "Hufft...." Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar
Napas Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha. "Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya. Alhamdullilah! Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja. Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya. Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno
"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat meski matanya sudah membola. Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha? Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter. "Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi." Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes di ujung-ujung rambutnya. "Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya. Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya. "Kamu tidak perlu mi
"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha."Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit.Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya."Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?"Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu."Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan
'Padahal kamu sudah mengucapkannya tiga tahun lalu. Lantas kembali mengucapkannya tidak kurang dari dua minggu yang lalu,' batin Ganesha."Astaga, tidak, Mas. Mana mungkin saya setidaktahu diri itu meminta bagian saham?" cicit Arimbi ngeri. "Coba ingat-ingat lagi. Tiga tahun yang lalu, atau dua minggu yang lalu mungkin?" Ganesha mencoba memberi kata kunci.Tiga tahun yang lalu? Sudah lama sekali. Ia tidak ingat tentu saja. Kalau dua minggu yang lalu? Arimbi mencoba mengingat-ingat. Dua minggu lalu, itu artinya ia masih bersama dengan Seno. Perasaan ia tidak mengatakan apapun pada Seno."Sumpah demi apapun, saya bukan orang yang seperti itu, Mas. Lagi pula untuk apa saya meminta saham, jabatan, ini itu. Bukannya saya sombong. Tapi harta benda kedua orang tua saya sudah lebih dari cukup, Mas. Saya tidak butuh yang lain lagi." Arimbi semakin ngeri.Ganesha mendecakkan lidah. Ternyata ia salah menebak kepribadian Arimbi. Selama tiga tahun menjadi kekasih Seno, ia mengira Arimbi adalah so
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa
"Kamu tadi menanyakan bagaimana Mas tahu perihal rumah impianmu bukan? Nah, itu dia orang yang sudah memberitahu Mas. Seno, sini." Ganesha melambaikan tangannya pada Seno. Memanggil adiknya yang tengah mewarnai gambar dengan Mahesa. Semenjak tahu bahwa dirinya telah mempunyai seorang anak, Seno berubah banyak. Ia kini lebih kalem dan bertanggung jawab. Di sela-sela waktu luangnya, ia selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan putranya. "Jadi kamu yang membocorkan rahasiaku?" Arimbi berpura-pura marah pada Seno. Ia juga berusaha bersikap wajar pada Seno. Bagaimanapun Seno adalah adik iparnya sekarang."Ampun, Kakak Ipar. Aku terpaksa melakukannya karena diancam Mas Esha. Katanya ia akan membuangku keluar kota kalau aku tidak mau bekerjasama." Seno meringis. Ia menghargai usaha Arimbi yang ingin berinteraksi wajar dengannya. Mereka sekarang telah menjadi satu keluarga besar."Jangan membuat Rimbi memandangku sebagai kakak yang kejam ya, Sen?" Ganesha mengacungkan tinjunya pada Seno.
Arimbi melirik Ganesha sekilas saat laju mobil memasuki hunian mewah kompleks Graha Mediterania. Kompleks perumahan mewah yang baru saja launching minggu ini. Ia mengetahui perihal hunian mewah ini karena memang dibangun oleh Caturrangga Group dan beberapa investor dari Jepang. Selain hotel dan condominium, Caturrangga Group juga membangun kompleks-kompleks perumahan mewah dengan segmen pasar kelas atas atau high end."Kita akan mengunjungi salah satu customer Mas ya? Apa tidak mengganggu kalau Mas menemui costumer di hari Minggu begini?" "Nggak kok, Rim. Tenang aja. Kita semua akan bersenang-senang bersama." Ganesha tersenyum lebar. Ia memahami rasa penasaran istrinya. Arimbi mengerutkan kening. Kita? Bersama? Apa yang Ganesha maksud?Laju kendaraan melambat tatkala melewati rumah demi rumah mewah yang mereka lewati. Sebagian besar bentuknya sama karena memang dibangun seragam. Sebagaian lagi bentuknya sudah berubah karena direhab sesuai dengan selera para pemilik rumah.Tatkala la
Bu Astuti terpana. Ia tidak menyangka kalau Rina bisa bersikap seluwes itu terhadap Mahesa. Biasanya Rina itu tidak menyukai anak kecil. Rina anak tunggal. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Menurut Rina anak kecil itu rewel dan menyusahkan. Tumben kali ini Rina bersikap begitu kompak pada Mahesa. Syukurlah, berarti tujuannya mendekatkan Rina dengan Seno akan semakin mudah. Mengingat Mahesa adalah darah daging Seno. Mendekati Mahesa artinya mendekati Seno juga."Rina dan Mahesa cocok sekali ya, San? Sepertinya kalau menjadi ibu dan anak pas ya?" Bu Astuti meminta tanggapan Bu Santi."Iya, Tut. Kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik saja. Biar yang muda-muda menentukan jalan hidup mereka sendiri." Bu Santi memberi jawaban netral. Ia memang setuju Rina menjadi pengganti Nina. Selain perilaku Rina yang sekarang membaik, ia juga gembira bisa melaksanakan niat Pak Syarief almarhum yang ingin berbesanan dengannya. Namun ia menyerahkan semuanya pada Seno dan Rina sendir