Kami berada di tepi jalan raya. Berjalan cepat di trotoar sambil memastikan bahwa kami berada di rute yang benar menuju gedung abu. Dan juga…
“Aku belum melihat soalnya secara utuh, apa kita bisa eliminasi variable z terlebih dahulu seperti biasa?” Derald mengencangkan suaranya agar terdengar.
“Variable z memiliki koefisien 3,4 dan 5 pada masing masing persamaannya. Menurutku akan lebih mudah menghilangkan x terlebih dahulu karena koefisien mereka 2, 6 dan -3. Itu akan lebih mudah.” Jawabku juga setengah berteriak.
“Bagus. Ayo lakukan…” Katanya sambil menutup sebelah telinganya yang menghadap ke jalan. “…Kau selesaikan persamaan 1 dan 2, aku akan men
“Meski begitu beberapa orang tetap kembali ke perkemahan. Aku mendengar beberapa orang berbicara sebelum kalian datang. Beberapa juga mencoba membuka pintu itu dengan beberapa kombinasi, tapi tangan mereka malah memiliki tanda hitam.” Jelasnya. “Tanda hitam?” Tanyaku bingung. “Ya, mungkin karena mereka tidak memasukan jawaban yang benar. Dari atas penutup tangannya jatuh setetes cairan hitam seperti tinta.” Katanya dan melihat ke sekompulan orang disana. Derald terlihat mulai berfikir, memproses data data ini untuk mencari solusinya. Begitu juga denganku. Semakin lama, kompetisi ini makin tidak jelas, dan parahnya ini pertama kalinya aku mengikuti perlombaan semacam ini. Apa semuanya memang seperti ini?&nb
“Sofia…!” Suara Derald terdengar dari belakang sana, dia melambaikan tangan. Aku berlari kecil menuju tempatnya berada. Sementara Derald sudah duduk disana dengan buzzer dan juga beberapa lembar kertas buram. “Syukurlah kita berada di belakang.” Bisiknya tiba tiba ketika aku sampai. “Kenapa?” Derald menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya yang tersenyum, lalau menunjuk ke depan. Ketika aku melihat kearah mana dia menunjuk, ada beberapa pasang tim yang mulai tertawa aneh, beberapa terlihat mengeluarkan sesuatu benda berbentuk kotak berwarna hitam yang kusadari sebagai kalkulator, sisanya ada yang memegang kertas lain selain kertas buram di tangannya.&nbs
“Hey, kau baik-baik saja?” Anak laki-laki itu bertanya padaku. Aku mengintip dari sela- sela tanganku, dan hanya bisa melihat baju tebal dan mantel yang dia gunakan. “Kenapa kau sendirian disini? Tak ada teman?” Dia masih disini, merayuku untuk menampakan wajahku yang ku benamkan diantara kaki dan tubuhku. Ah, tidak tau. Aku tidak ingin mendengarkan siapapun sekarang. Aku hanya tidak ingin wajahku yang sembab dan isak tangisku dilihat oleh siapapun, karena itulah aku bersembunyi disini. Di taman bermain ini, di tengah hujan salju ini. Langit memang sudah mulai berubah menjadi biru gelap. Lampu jalan sudah mulai menyala satu per satu, menerangi gundukan putih yang tersebar sepanjang mata memandang. Meski aku sudah bersembunyi di gorong-gorong taman bermain yang tertutup, lantai p
Di tengah hujan salju, di bawah gorong-gorong taman bermain, aku bercerita padanya. Aku menceritakan semuanya pada anak laki-laki itu. Perasaanku, keinginanku, harapan kecilku. Dia, anak laki-laki yang begitu memperhatikan ketika aku becerita. Dia yang ceria dan menghiburku, hangatnya seperti cahaya mentari pagi. Dia… Eh… Dia… siapa? “..fia…!” “Ooii Sofiaaa…” Aku merasakan sesuatu mengguncang tubuhku pelan, memaksaku membuka mataku dan membiarkan sejumlah berkas cahaya masuk ke mataku. Pemandangan wajah seorang laki-laki adalah yang pertama dikenali oleh otakku. D
Aku tak sengaja melihat ke arah tenda pramuka Middlerasie, sekolah kami. Sama seperti yang lainnya, terlihat sepi juga. Hanya beberapa yang terlihat duduk duduk di depan tenda mereka. Dari jauh, aku bisa mengenali beberapa wajah di kumpulan anggota pramuka di depan tenda laki-laki. Zeno dan Max ada disana, bersama beberapa yang lainnya. Sedangkan di tenda perempuan, aku tidak melihat siapa pun di depan. Tetapi pintu tendanya memang terbuka, dan aku melihat si gadis yang mendorong Mina. Aku jadi teringat dengannya, semoga Mina baik baik saja dan lancar juga dengan lomba yang dia ikuti. “Seseorang mungkin membutuhkan asupan nutrisi….” Kataku membawa nampan dengan enam mi instan dalam gelas yang masih mengebul asap dari air panasnya.&nb
“Aku ikut bertaruh untuk itu.” Bob menimpali. Derald juga masih ikut tertawa saja tanpa berkomentar apa apa. Tapi aku bertanya tanya apa pembicaraan ini benar benar aman? Maksudku, membicarakan orang lain di belakang itu hal yang tidak baik bukan? Tapi, bahasan ini memang sangat menarik, sih. “Entah dia memang tidak bisa melakukannya, atau tidak mau melakukannya.” "Huuh.. apa yang kalian lakukan?" Tiba tiba suara alisa muncul dari belakang kami yang masih tertawa. Bob dan Jim tiba tiba kaku seperti sebongkah es. Sama sekali tidak bergerak atau pun menoleh. Tawa kami juga seketika berhenti begitu mendengar s
“Haaahh…” Fazel tiba tiba menghela nafas lalu berbisik “Kau pasti cemburu, kan?”. Kemudian dia langsung meminum kuah mie dalam cup itu sampai habis. “Eeh??! Tu-tunggu, apa yang kau―” “AAAHHH, Mantap!” Kalimatku terhenti karena Fazel yang tiba tiba berteriak setelah menenggak isi gelas itu. “Hahaha, sepertinya kau puas sekali. Kau pasti sangat lapar,kan, Fazel?” Bob tertawa mendengar teriakan keras dari Fazel. “Ya, tanpa dia mengatakannya, sudah jelas terlihat dari wa
“Sshh. Diamlah.” Jarinya tiba tiba berada di depan bibirku yang membuatku berhenti bicara. Wajah Derald yang terlalu dekat ditambah suaranya yang berbisik membuat nafasnya bisa kurasakan dengan jelas, aku tidak bisa menolong diriku sendiri selain mengangguk. Aku bisa merasakan suhu tubuhku semakin meningkat. Melihatku mengangguk, Derald lalu melepaskan jarinya dari bibirku. “Bagus.” Katanya, lalu pandangannya beralih melihat apa yang ada dibalik pohon. Tapi di bawah sini, semua yang bisa kulihat adalah leher dan bahu Derald. Detak jantung milikku sepertinya mulai meningkatkan bpm-nya. “Sial, aku tidak bisa mendengar lebih jelas.” Aku mendengar suaranya begitu jelas ditambah nafasnya karena ia berbisik, dari jarak ini bahkan setiap gerakan kecil dari otot lehernya bis
“Ooi! Katakan sesuatu!” Suara pukulan yang keras tepat di perutnya bersamaan dengan suaranya yang mencoba untuk menahan muntahan darah untuk keluar dari mulutnya. Wajahnya yang berlumuran darah tiba tiba menyebut namaku. “Lari, S-Sofia…” “Derald!” Aku segera menggerakkan tubuhku dan berlari menuju Derald. Tapi ketiga orang yang berada dibelakangku segera menangkapku. “Sofia— Ugh…!“ Derald mencoba berteriak ketika melihat mereka menangkapku. Meski dia akhirnya dipukuli lagi dan lagi. Aku mencoba untuk memberontak tetapi mereka langsung menahan perger
“Bagaimana dengan perjanjiannya?” “Aah. Hanya beberapa jam lagi, ya…” Aku tiba-tiba menghentikan langkahku. “… setelah itu kita bisa membakar tempat ini.” Wah, wah… Sepertinya meninggalkan tempat ini bukan tindakan yang benar untuk sekarang. Apa jangan jangan ini yang aku dan Derald dengar sore tadi sebelum babak kedua dimulai. Aku segera kembali ketempat sebelumnya, merapat ke dinding. “Selain itu, memanfaatkan acara ini sungguh ide yang luar biasa, ketua. Anda memang hebat.&
“Kau… sungguh tidak menggunakan parfum?” Aku membalas wajah terkejutnya dengan tatapan bingung. Apa itu sesuatu yang aneh? Aku hanya mengangguk. “Sungguh, kau tidak pernah memakai parfum?” “Uhm.” Aku lagi lagi mengangguk. “Sungguh tidak pernah?” Dia mendekatkan wajahnya.
Aku segera beranjak menuju tenda kami yang berada di bawah pohon, tidak sulit untuk menemukannya. Segera aku masuk ke dalam tendaku yang ku tempati berdua dengan Alisa nantinya. Setidaknya aku perlu istirahat dari ini keriuhan ini. Istirahat yang cukup bagi fisik, dan mentalku. Terus berada bersama ditengah orangorang membuatku lelah, secara batin. Aku melepas jas almamater dan rompi rajut serta melonggarkan dasi yang ku gunakan. Hanya meninggalkan kemeja dan rok kotak-kotak, juga membiarkan kaos kaki hitamku tetap berada di tempatnya. Di dalam sini terasa panas, ditambah aku yang baru saja berlari, membuat tubuhku menjadi terasa panas. Aku mulai bisa merasakan keringat menetes satu demi satu dari tubuhku. M
“Uughhh..haaah….” Aku meregangkan tubuhku setelah keluar dari area hutan. Babak kedua akhirnya kami lalui dengan lancar. Ternyata tidak semua dari peserta lolos di babak ini. Itu sangat masuk akal jika kau tanya aku. Pasalnya, berbeda dari mengerjakan soal biasa, dengan sistem permainan “Mencari Harta Karun” pada babak ini, kau tidak bisa memilih soal mana yang menurutmu mudah atau yang bisa kau kerjakan terlebih dulu. Semuanya harus selesai denga jawaban yang tepat, atau setidaknya mendekati. Jika kau salah perhitungan, itu akan menyebabkan mu tersesat di dalam hutan itu. Ya, meskipun sudah ada tali pembatas untuk membuat permainan ini tetap aman. “Kau meregangkan tubuhmu seperti wanita tua, Sofia.” 
“Kalau begitu, sekarang kita selalu bersama ya, Sofia!” Kataku padanya. Gadis itu kemudian membalas senyumku dengan begitu cerahnya. Aku merasakan sesuatu yang membuatku bergetar ketika melihat itu. “Lalu kau sendiri, kenapa ada di sini?” Dia balik bertanya padaku.Sungguh, aku berfikir untuk tidak mengatakannya. Dia mungkin tidak akan mengerti apa yang aku akan aku ceritakan. Apa sebaiknya aku berbohong? Tapi kebohongan apa yang harus aku katakan. Bagian dari dalam diriku seperti tidak bisa berbohong padanya.“Um.. ceritanya panjang—“ “Ceritakan!” Sekarang dia melihatku dengan mata yang berapi api. Well, sepertinya aku memang tidak bisa berbohong darinya.&
Tapi malam itu, rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Aku ingin berlari, berteriak, sejauh dan sekencang yang aku bisa. Aku ingin melepaskan semuanya. Dengan mata tertutup dan air mata yang mulai menetes aku berlari secepat yang aku bisa. AKu tidak memiliki tujuan, tidak tau harus kemana. Tapi aku hanya ingin berlari, dengan begitu mungkin aku kana kelelahan dan pingsan, atau mati jika aku beruntung, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu. Tapi sepertinya malaikat masih ingin melihatku bertarung lebih lama lagi. Nihil, aku akhirnya hanya kesulitan bernafas dan terjatuh di tengah jalan yang sepi, tak ada siapapun. Saljunya terasa begitu lembut, meski akhirnya melukai tanganku yang sudah terlalu lama menahan suhu dingin di luar sini. Aku akhirnya mau tidak mau bangkit kembali setelah
Di malam bersalju itu, aku bertemu dengannya. Udara yang dingin menerpa jari jemariku yang kecil saat itu. Aku hanya bisa menahan dinginnya, dan perlahan merasakan kulitku yang seakan membeku. Meski begitu aku masih memilih untuk berada di luar. Mau bagaimana lagi, di dalam rumah ataupun di luar, dinginnya tetap sama. Entahlah, apa aku pantas mengatakan bahwa takdir yang harus kujalani ini terlalu sulit. Aku tidak ingin mengasihani diriku sendiri. Aku mulai percaya apa yang dikatakan orang orang. “Sesuatu yang kau dapatkan harus kau bayar dengan sesuatu yang setimpal.” Adik perempuanku baru saja lahir be
“Kau mengatakan sesuatu?” “Ahh umm tidak, hanya, aku terkesan kau bisa melewatkan tahap taman kanak kanak, sekaligus merasa kasihan.” Begitu jawabnya. Sebenarnya aku sedikit mencurigainya karena dia terbata bata. Tapi, mungkin ia hanya terkejut mendengar ada orang yang melewatkan TK. “Ya… orangtuaku, khususnya ayah. Dia berfikir taman kanak-kanak itu adalah hal yang sia sia dan terlalu memakan banyak biaya hanya untuk ‘bermain-main’. Jadi, daripada mengirimku ke TK, ayah menyuruhku untuk tetap di perpustakaan dan belajar.” “Kau benar benar terus belajar?” Derald hampir kehilangan fokusnya pada soal dan melihatku dengan tatapan terkejut.&n