Aku tak sengaja melihat ke arah tenda pramuka Middlerasie, sekolah kami. Sama seperti yang lainnya, terlihat sepi juga. Hanya beberapa yang terlihat duduk duduk di depan tenda mereka. Dari jauh, aku bisa mengenali beberapa wajah di kumpulan anggota pramuka di depan tenda laki-laki. Zeno dan Max ada disana, bersama beberapa yang lainnya. Sedangkan di tenda perempuan, aku tidak melihat siapa pun di depan. Tetapi pintu tendanya memang terbuka, dan aku melihat si gadis yang mendorong Mina. Aku jadi teringat dengannya, semoga Mina baik baik saja dan lancar juga dengan lomba yang dia ikuti.
“Seseorang mungkin membutuhkan asupan nutrisi….” Kataku membawa nampan dengan enam mi instan dalam gelas yang masih mengebul asap dari air panasnya.
&nb
“Aku ikut bertaruh untuk itu.” Bob menimpali. Derald juga masih ikut tertawa saja tanpa berkomentar apa apa. Tapi aku bertanya tanya apa pembicaraan ini benar benar aman? Maksudku, membicarakan orang lain di belakang itu hal yang tidak baik bukan? Tapi, bahasan ini memang sangat menarik, sih. “Entah dia memang tidak bisa melakukannya, atau tidak mau melakukannya.” "Huuh.. apa yang kalian lakukan?" Tiba tiba suara alisa muncul dari belakang kami yang masih tertawa. Bob dan Jim tiba tiba kaku seperti sebongkah es. Sama sekali tidak bergerak atau pun menoleh. Tawa kami juga seketika berhenti begitu mendengar s
“Haaahh…” Fazel tiba tiba menghela nafas lalu berbisik “Kau pasti cemburu, kan?”. Kemudian dia langsung meminum kuah mie dalam cup itu sampai habis. “Eeh??! Tu-tunggu, apa yang kau―” “AAAHHH, Mantap!” Kalimatku terhenti karena Fazel yang tiba tiba berteriak setelah menenggak isi gelas itu. “Hahaha, sepertinya kau puas sekali. Kau pasti sangat lapar,kan, Fazel?” Bob tertawa mendengar teriakan keras dari Fazel. “Ya, tanpa dia mengatakannya, sudah jelas terlihat dari wa
“Sshh. Diamlah.” Jarinya tiba tiba berada di depan bibirku yang membuatku berhenti bicara. Wajah Derald yang terlalu dekat ditambah suaranya yang berbisik membuat nafasnya bisa kurasakan dengan jelas, aku tidak bisa menolong diriku sendiri selain mengangguk. Aku bisa merasakan suhu tubuhku semakin meningkat. Melihatku mengangguk, Derald lalu melepaskan jarinya dari bibirku. “Bagus.” Katanya, lalu pandangannya beralih melihat apa yang ada dibalik pohon. Tapi di bawah sini, semua yang bisa kulihat adalah leher dan bahu Derald. Detak jantung milikku sepertinya mulai meningkatkan bpm-nya. “Sial, aku tidak bisa mendengar lebih jelas.” Aku mendengar suaranya begitu jelas ditambah nafasnya karena ia berbisik, dari jarak ini bahkan setiap gerakan kecil dari otot lehernya bis
“Kau mengatakan sesuatu?” “Ahh umm tidak, hanya, aku terkesan kau bisa melewatkan tahap taman kanak kanak, sekaligus merasa kasihan.” Begitu jawabnya. Sebenarnya aku sedikit mencurigainya karena dia terbata bata. Tapi, mungkin ia hanya terkejut mendengar ada orang yang melewatkan TK. “Ya… orangtuaku, khususnya ayah. Dia berfikir taman kanak-kanak itu adalah hal yang sia sia dan terlalu memakan banyak biaya hanya untuk ‘bermain-main’. Jadi, daripada mengirimku ke TK, ayah menyuruhku untuk tetap di perpustakaan dan belajar.” “Kau benar benar terus belajar?” Derald hampir kehilangan fokusnya pada soal dan melihatku dengan tatapan terkejut.&n
Di malam bersalju itu, aku bertemu dengannya. Udara yang dingin menerpa jari jemariku yang kecil saat itu. Aku hanya bisa menahan dinginnya, dan perlahan merasakan kulitku yang seakan membeku. Meski begitu aku masih memilih untuk berada di luar. Mau bagaimana lagi, di dalam rumah ataupun di luar, dinginnya tetap sama. Entahlah, apa aku pantas mengatakan bahwa takdir yang harus kujalani ini terlalu sulit. Aku tidak ingin mengasihani diriku sendiri. Aku mulai percaya apa yang dikatakan orang orang. “Sesuatu yang kau dapatkan harus kau bayar dengan sesuatu yang setimpal.” Adik perempuanku baru saja lahir be
Tapi malam itu, rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Aku ingin berlari, berteriak, sejauh dan sekencang yang aku bisa. Aku ingin melepaskan semuanya. Dengan mata tertutup dan air mata yang mulai menetes aku berlari secepat yang aku bisa. AKu tidak memiliki tujuan, tidak tau harus kemana. Tapi aku hanya ingin berlari, dengan begitu mungkin aku kana kelelahan dan pingsan, atau mati jika aku beruntung, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu. Tapi sepertinya malaikat masih ingin melihatku bertarung lebih lama lagi. Nihil, aku akhirnya hanya kesulitan bernafas dan terjatuh di tengah jalan yang sepi, tak ada siapapun. Saljunya terasa begitu lembut, meski akhirnya melukai tanganku yang sudah terlalu lama menahan suhu dingin di luar sini. Aku akhirnya mau tidak mau bangkit kembali setelah
“Kalau begitu, sekarang kita selalu bersama ya, Sofia!” Kataku padanya. Gadis itu kemudian membalas senyumku dengan begitu cerahnya. Aku merasakan sesuatu yang membuatku bergetar ketika melihat itu. “Lalu kau sendiri, kenapa ada di sini?” Dia balik bertanya padaku.Sungguh, aku berfikir untuk tidak mengatakannya. Dia mungkin tidak akan mengerti apa yang aku akan aku ceritakan. Apa sebaiknya aku berbohong? Tapi kebohongan apa yang harus aku katakan. Bagian dari dalam diriku seperti tidak bisa berbohong padanya.“Um.. ceritanya panjang—“ “Ceritakan!” Sekarang dia melihatku dengan mata yang berapi api. Well, sepertinya aku memang tidak bisa berbohong darinya.&
“Uughhh..haaah….” Aku meregangkan tubuhku setelah keluar dari area hutan. Babak kedua akhirnya kami lalui dengan lancar. Ternyata tidak semua dari peserta lolos di babak ini. Itu sangat masuk akal jika kau tanya aku. Pasalnya, berbeda dari mengerjakan soal biasa, dengan sistem permainan “Mencari Harta Karun” pada babak ini, kau tidak bisa memilih soal mana yang menurutmu mudah atau yang bisa kau kerjakan terlebih dulu. Semuanya harus selesai denga jawaban yang tepat, atau setidaknya mendekati. Jika kau salah perhitungan, itu akan menyebabkan mu tersesat di dalam hutan itu. Ya, meskipun sudah ada tali pembatas untuk membuat permainan ini tetap aman. “Kau meregangkan tubuhmu seperti wanita tua, Sofia.”