“Sofia…!” Suara Derald terdengar dari belakang sana, dia melambaikan tangan. Aku berlari kecil menuju tempatnya berada. Sementara Derald sudah duduk disana dengan buzzer dan juga beberapa lembar kertas buram.
“Syukurlah kita berada di belakang.” Bisiknya tiba tiba ketika aku sampai.
“Kenapa?”
Derald menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya yang tersenyum, lalau menunjuk ke depan. Ketika aku melihat kearah mana dia menunjuk, ada beberapa pasang tim yang mulai tertawa aneh, beberapa terlihat mengeluarkan sesuatu benda berbentuk kotak berwarna hitam yang kusadari sebagai kalkulator, sisanya ada yang memegang kertas lain selain kertas buram di tangannya.
&nbs
“Hey, kau baik-baik saja?” Anak laki-laki itu bertanya padaku. Aku mengintip dari sela- sela tanganku, dan hanya bisa melihat baju tebal dan mantel yang dia gunakan. “Kenapa kau sendirian disini? Tak ada teman?” Dia masih disini, merayuku untuk menampakan wajahku yang ku benamkan diantara kaki dan tubuhku. Ah, tidak tau. Aku tidak ingin mendengarkan siapapun sekarang. Aku hanya tidak ingin wajahku yang sembab dan isak tangisku dilihat oleh siapapun, karena itulah aku bersembunyi disini. Di taman bermain ini, di tengah hujan salju ini. Langit memang sudah mulai berubah menjadi biru gelap. Lampu jalan sudah mulai menyala satu per satu, menerangi gundukan putih yang tersebar sepanjang mata memandang. Meski aku sudah bersembunyi di gorong-gorong taman bermain yang tertutup, lantai p
Di tengah hujan salju, di bawah gorong-gorong taman bermain, aku bercerita padanya. Aku menceritakan semuanya pada anak laki-laki itu. Perasaanku, keinginanku, harapan kecilku. Dia, anak laki-laki yang begitu memperhatikan ketika aku becerita. Dia yang ceria dan menghiburku, hangatnya seperti cahaya mentari pagi. Dia… Eh… Dia… siapa? “..fia…!” “Ooii Sofiaaa…” Aku merasakan sesuatu mengguncang tubuhku pelan, memaksaku membuka mataku dan membiarkan sejumlah berkas cahaya masuk ke mataku. Pemandangan wajah seorang laki-laki adalah yang pertama dikenali oleh otakku. D
Aku tak sengaja melihat ke arah tenda pramuka Middlerasie, sekolah kami. Sama seperti yang lainnya, terlihat sepi juga. Hanya beberapa yang terlihat duduk duduk di depan tenda mereka. Dari jauh, aku bisa mengenali beberapa wajah di kumpulan anggota pramuka di depan tenda laki-laki. Zeno dan Max ada disana, bersama beberapa yang lainnya. Sedangkan di tenda perempuan, aku tidak melihat siapa pun di depan. Tetapi pintu tendanya memang terbuka, dan aku melihat si gadis yang mendorong Mina. Aku jadi teringat dengannya, semoga Mina baik baik saja dan lancar juga dengan lomba yang dia ikuti. “Seseorang mungkin membutuhkan asupan nutrisi….” Kataku membawa nampan dengan enam mi instan dalam gelas yang masih mengebul asap dari air panasnya.&nb
“Aku ikut bertaruh untuk itu.” Bob menimpali. Derald juga masih ikut tertawa saja tanpa berkomentar apa apa. Tapi aku bertanya tanya apa pembicaraan ini benar benar aman? Maksudku, membicarakan orang lain di belakang itu hal yang tidak baik bukan? Tapi, bahasan ini memang sangat menarik, sih. “Entah dia memang tidak bisa melakukannya, atau tidak mau melakukannya.” "Huuh.. apa yang kalian lakukan?" Tiba tiba suara alisa muncul dari belakang kami yang masih tertawa. Bob dan Jim tiba tiba kaku seperti sebongkah es. Sama sekali tidak bergerak atau pun menoleh. Tawa kami juga seketika berhenti begitu mendengar s
“Haaahh…” Fazel tiba tiba menghela nafas lalu berbisik “Kau pasti cemburu, kan?”. Kemudian dia langsung meminum kuah mie dalam cup itu sampai habis. “Eeh??! Tu-tunggu, apa yang kau―” “AAAHHH, Mantap!” Kalimatku terhenti karena Fazel yang tiba tiba berteriak setelah menenggak isi gelas itu. “Hahaha, sepertinya kau puas sekali. Kau pasti sangat lapar,kan, Fazel?” Bob tertawa mendengar teriakan keras dari Fazel. “Ya, tanpa dia mengatakannya, sudah jelas terlihat dari wa
“Sshh. Diamlah.” Jarinya tiba tiba berada di depan bibirku yang membuatku berhenti bicara. Wajah Derald yang terlalu dekat ditambah suaranya yang berbisik membuat nafasnya bisa kurasakan dengan jelas, aku tidak bisa menolong diriku sendiri selain mengangguk. Aku bisa merasakan suhu tubuhku semakin meningkat. Melihatku mengangguk, Derald lalu melepaskan jarinya dari bibirku. “Bagus.” Katanya, lalu pandangannya beralih melihat apa yang ada dibalik pohon. Tapi di bawah sini, semua yang bisa kulihat adalah leher dan bahu Derald. Detak jantung milikku sepertinya mulai meningkatkan bpm-nya. “Sial, aku tidak bisa mendengar lebih jelas.” Aku mendengar suaranya begitu jelas ditambah nafasnya karena ia berbisik, dari jarak ini bahkan setiap gerakan kecil dari otot lehernya bis
“Kau mengatakan sesuatu?” “Ahh umm tidak, hanya, aku terkesan kau bisa melewatkan tahap taman kanak kanak, sekaligus merasa kasihan.” Begitu jawabnya. Sebenarnya aku sedikit mencurigainya karena dia terbata bata. Tapi, mungkin ia hanya terkejut mendengar ada orang yang melewatkan TK. “Ya… orangtuaku, khususnya ayah. Dia berfikir taman kanak-kanak itu adalah hal yang sia sia dan terlalu memakan banyak biaya hanya untuk ‘bermain-main’. Jadi, daripada mengirimku ke TK, ayah menyuruhku untuk tetap di perpustakaan dan belajar.” “Kau benar benar terus belajar?” Derald hampir kehilangan fokusnya pada soal dan melihatku dengan tatapan terkejut.&n
Di malam bersalju itu, aku bertemu dengannya. Udara yang dingin menerpa jari jemariku yang kecil saat itu. Aku hanya bisa menahan dinginnya, dan perlahan merasakan kulitku yang seakan membeku. Meski begitu aku masih memilih untuk berada di luar. Mau bagaimana lagi, di dalam rumah ataupun di luar, dinginnya tetap sama. Entahlah, apa aku pantas mengatakan bahwa takdir yang harus kujalani ini terlalu sulit. Aku tidak ingin mengasihani diriku sendiri. Aku mulai percaya apa yang dikatakan orang orang. “Sesuatu yang kau dapatkan harus kau bayar dengan sesuatu yang setimpal.” Adik perempuanku baru saja lahir be