“Oh,.. um.. ya..” Fazel kemudian melanjutkan memukul pasak di tanah. “Kau melihat sesuatu?” tanyanya padaku sambil terus memukul pasak. “Ya.. hanya sekumpulan babi yang sedang beraksi.” Kataku singkat. Dia kemudian merhenti sejenak dan melihatku, seperti memintaku menjelaskan apa yang aku maksud sebagai babi. Aku menghela nafas pelan lalu melihat kea rah tenda milik kelompok Mina.
“Bullying nampaknya masih tren di beberapa kalangan rupanya…” Sorot mataku meminta Fazel untuk melihat ke arah yang sama. Aku dan Fazel untuk sesaat sama sama memperhatikan apa yang terjadi di sana. Apa yang mereka lakukan pada Mina, saat ini mungkin masih belum seberapa, karena banyak orang. Orang orang di sekitar tidak ada yang menyadari karena dengan jumlah mere
Kami berada di tepi jalan raya. Berjalan cepat di trotoar sambil memastikan bahwa kami berada di rute yang benar menuju gedung abu. Dan juga… “Aku belum melihat soalnya secara utuh, apa kita bisa eliminasi variable z terlebih dahulu seperti biasa?” Derald mengencangkan suaranya agar terdengar. “Variable z memiliki koefisien 3,4 dan 5 pada masing masing persamaannya. Menurutku akan lebih mudah menghilangkan x terlebih dahulu karena koefisien mereka 2, 6 dan -3. Itu akan lebih mudah.” Jawabku juga setengah berteriak. “Bagus. Ayo lakukan…” Katanya sambil menutup sebelah telinganya yang menghadap ke jalan. “…Kau selesaikan persamaan 1 dan 2, aku akan men
“Meski begitu beberapa orang tetap kembali ke perkemahan. Aku mendengar beberapa orang berbicara sebelum kalian datang. Beberapa juga mencoba membuka pintu itu dengan beberapa kombinasi, tapi tangan mereka malah memiliki tanda hitam.” Jelasnya. “Tanda hitam?” Tanyaku bingung. “Ya, mungkin karena mereka tidak memasukan jawaban yang benar. Dari atas penutup tangannya jatuh setetes cairan hitam seperti tinta.” Katanya dan melihat ke sekompulan orang disana. Derald terlihat mulai berfikir, memproses data data ini untuk mencari solusinya. Begitu juga denganku. Semakin lama, kompetisi ini makin tidak jelas, dan parahnya ini pertama kalinya aku mengikuti perlombaan semacam ini. Apa semuanya memang seperti ini?&nb
“Sofia…!” Suara Derald terdengar dari belakang sana, dia melambaikan tangan. Aku berlari kecil menuju tempatnya berada. Sementara Derald sudah duduk disana dengan buzzer dan juga beberapa lembar kertas buram. “Syukurlah kita berada di belakang.” Bisiknya tiba tiba ketika aku sampai. “Kenapa?” Derald menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya yang tersenyum, lalau menunjuk ke depan. Ketika aku melihat kearah mana dia menunjuk, ada beberapa pasang tim yang mulai tertawa aneh, beberapa terlihat mengeluarkan sesuatu benda berbentuk kotak berwarna hitam yang kusadari sebagai kalkulator, sisanya ada yang memegang kertas lain selain kertas buram di tangannya.&nbs
“Hey, kau baik-baik saja?” Anak laki-laki itu bertanya padaku. Aku mengintip dari sela- sela tanganku, dan hanya bisa melihat baju tebal dan mantel yang dia gunakan. “Kenapa kau sendirian disini? Tak ada teman?” Dia masih disini, merayuku untuk menampakan wajahku yang ku benamkan diantara kaki dan tubuhku. Ah, tidak tau. Aku tidak ingin mendengarkan siapapun sekarang. Aku hanya tidak ingin wajahku yang sembab dan isak tangisku dilihat oleh siapapun, karena itulah aku bersembunyi disini. Di taman bermain ini, di tengah hujan salju ini. Langit memang sudah mulai berubah menjadi biru gelap. Lampu jalan sudah mulai menyala satu per satu, menerangi gundukan putih yang tersebar sepanjang mata memandang. Meski aku sudah bersembunyi di gorong-gorong taman bermain yang tertutup, lantai p
Di tengah hujan salju, di bawah gorong-gorong taman bermain, aku bercerita padanya. Aku menceritakan semuanya pada anak laki-laki itu. Perasaanku, keinginanku, harapan kecilku. Dia, anak laki-laki yang begitu memperhatikan ketika aku becerita. Dia yang ceria dan menghiburku, hangatnya seperti cahaya mentari pagi. Dia… Eh… Dia… siapa? “..fia…!” “Ooii Sofiaaa…” Aku merasakan sesuatu mengguncang tubuhku pelan, memaksaku membuka mataku dan membiarkan sejumlah berkas cahaya masuk ke mataku. Pemandangan wajah seorang laki-laki adalah yang pertama dikenali oleh otakku. D
Aku tak sengaja melihat ke arah tenda pramuka Middlerasie, sekolah kami. Sama seperti yang lainnya, terlihat sepi juga. Hanya beberapa yang terlihat duduk duduk di depan tenda mereka. Dari jauh, aku bisa mengenali beberapa wajah di kumpulan anggota pramuka di depan tenda laki-laki. Zeno dan Max ada disana, bersama beberapa yang lainnya. Sedangkan di tenda perempuan, aku tidak melihat siapa pun di depan. Tetapi pintu tendanya memang terbuka, dan aku melihat si gadis yang mendorong Mina. Aku jadi teringat dengannya, semoga Mina baik baik saja dan lancar juga dengan lomba yang dia ikuti. “Seseorang mungkin membutuhkan asupan nutrisi….” Kataku membawa nampan dengan enam mi instan dalam gelas yang masih mengebul asap dari air panasnya.&nb
“Aku ikut bertaruh untuk itu.” Bob menimpali. Derald juga masih ikut tertawa saja tanpa berkomentar apa apa. Tapi aku bertanya tanya apa pembicaraan ini benar benar aman? Maksudku, membicarakan orang lain di belakang itu hal yang tidak baik bukan? Tapi, bahasan ini memang sangat menarik, sih. “Entah dia memang tidak bisa melakukannya, atau tidak mau melakukannya.” "Huuh.. apa yang kalian lakukan?" Tiba tiba suara alisa muncul dari belakang kami yang masih tertawa. Bob dan Jim tiba tiba kaku seperti sebongkah es. Sama sekali tidak bergerak atau pun menoleh. Tawa kami juga seketika berhenti begitu mendengar s
“Haaahh…” Fazel tiba tiba menghela nafas lalu berbisik “Kau pasti cemburu, kan?”. Kemudian dia langsung meminum kuah mie dalam cup itu sampai habis. “Eeh??! Tu-tunggu, apa yang kau―” “AAAHHH, Mantap!” Kalimatku terhenti karena Fazel yang tiba tiba berteriak setelah menenggak isi gelas itu. “Hahaha, sepertinya kau puas sekali. Kau pasti sangat lapar,kan, Fazel?” Bob tertawa mendengar teriakan keras dari Fazel. “Ya, tanpa dia mengatakannya, sudah jelas terlihat dari wa