Setelah menghela nafas beberapa kali, aku menarik kursi dari meja belajarnya dan duduk di sana. Mengawasinya mungkin bukan pilihan yang buruk. Aku tidak tau apakah yang aku lakukan sudah benar, memang benar aku pernah mempelajari tentang alcohol, mabuk, dan penanganannya dalam materi klub sains. Tapi jujur saja aku belum pernah mempraktekkannya secara langsung. Setelah aku menjalaninya sendiri, benar benra tidak semudah teori.
Jika kau tanya aku, aku sendiri pun masih tidak menyangka dia akan menenggak alcohol. Maksudku, kita membicarakan tentang Bill, kakak laki-laki berkaca mata yang pernah terobsesi memelihara laba-laba. Aku tidak yakin dia tipe orang yang akan mencoba meminum alcohol. Jangankan itu, dia yang mulai membersihkan kamar saja sudah bisa dianggap aneh.
Oh, berbicara tentang keanehan, aku
Tak ada kalimat yang berani aku ucapkan. Sangat masuk akal jika itu memang penyebab semua ini. Kami saling berbagi cerita sejak 3 tahun yang lalu. Tentang tugas, cinta, atau beban yang kami tanggung sebagai sesame anak dengan orangtua yang kaku. Dan Mia, adalah gadis yang dia sukai sejak lama. Mia pernah satu SMP dengan kakakku, dan sejak itu pula Bill menyukainya. Menunggu lebih dari 3 tahun hingga akhirnya kau bisa bersama dengan orang yang kau sukai begitu lama. Kau pasti tidak ingin itu berakhir kan? Aku tidak ingat berapa lama mereka sudah bersama, tetapi tentu saja tidak lebih lama dari 4 minggu. Aku mungkin bisa sedikit memahami perasaannya, walau aku tetap berfikir dia berlebihan untuk meminum alcohol karena masalah ini. Pada akhrinya, sekeras apaun mereka berusaha tampak keren, laki-laki tetap saja manusia, bukan?&nb
Kami akhirnya hanya makan mie instan untuk makan malam. Aku menceritakan beberapa cuplikank kejadian di sekolah hari ini. Tentang aku yang berlari ke kelas mengejar jam pelajaran setelah istirahat, dan aku yang sempat pingsan hari ini. Bill menyentil dahiku setelah aku menceritakan insiden pingsan. “Kau memperingatkanku tentang alcohol, tapi kau sendiri malah pingsan.” Begitu katanya. Aku juga memintanya untuk menceritakan bagaimana harinya, tapi dia menolak. Aku kemudian juga menceritakan bahwa aku akan berangkat ke luar kota besok, untuk lomba sains 2 hari 1 malam itu. “Kalau begitu, sebaiknya kita merayakan hari ini, bukan? Aku akan mentraktirmu.” Ucap Bill yang tiba tiba bersemangat.
“AAAHH!!!!” Aku menjerit dan membuka mataku. Cahaya dari lampu tidur yang tidak terlalu terang membuat kamarku menjadi agak gelap, membuatku berfikir ulang untuk memastikan apakah aku masih didalam mimpi atau tidak. Perlahan aku melirik ke sekeliling kamar, mencoba mendapat pandangan yang fokus dan jelas dengan mataku yang baru berfungsi beberapa milisekon yang lalu. Aku mencoba menggerakan tubuhku namun hasilnya nihil, yang kudapat hanya seluruh tubuhku yang mati rasa, seperti kehilangan panas tubuhku. Nafasku belum juga kembali normal, dan selama itu juga aku perlahan mulai bisa merasakan kaki tangan dan jari jariku perhalan mulai mendapatkan kembali panas dari pusat tubuhku. “Haaaahhhhh….” Aku menarik nafas panjang sambil memegang kepalaku. Tubuhku sudah kembali normal
Oh, dia tertawa. Ternyata masih sama, Derald masih tertawa santai seerti sebelumnya. Itu jadi membuatku tidak bisa melakukan apapun selain ikut mengembangkan senyum diwajahku. Mengenang kembali hal hal indah itu, sangat menyenangkan. Tiba tiba mimpi yang semalam terputar dalam penglihatanku. Tatapan ‘mati’ dalam sorot mata Derald… dengan bersimbah darah itu… Ahh,, tidak tidak. Jangan memikirkan hal seperti itu sekarang. Masih ada banyak hal yang lebih penting. Aku jadi teringat aku harus minta maaf tentang pamit pulang yang terkahir kemarin, dan dengan keadaan yang tidak seindah saat ini. Aku harus mengatakannya dengan benar sekarang. “Um… Derald…” “Hmm?&
Benar juga, Derald pernah menceritakan padaku ada 3 temannya yang akan berpartisipasi dalam lomba ini juga. Waktu itu, ketika terjadi ‘keributan’ yang cukup hebat di depan kelasku karena kemunculan 4 dewa sekolah. Ya, begitulah cara mereka menyebutnya, aku baru mengetahuinya akhir akhir ini dari Liz. “Deraaald!” Seruan yang terdengar sangat manis dan penuh keceriaan sambil melambaikan tangan. Kau mungkin tidak percaya suara itu datang dari seorang anak laki-laki. Aku mengingatnya, si cowok imut, Zeno. “Woaahh, akhirnya kita bertemu lagi setelah cukup lama ya, Derald!” Mereka kemudian menepukan tangan mereka satu sama lain. Di belakang Zeno ada seorang lagi yang lebih tinggi darinya. Jika aku tidak salah menebak, dia adalah Kyle. Derald juga menyapanya dan melakukan s
Kami akhirnya akan melewati perbatasan kota. Satrone. Kota satelit ini berada ditenggara ibu kota tempat kami tinggal, Torwell. Berbeda dengan kota kami, disini masih banyak pepohonan dan area terbuka hijau. Masih sangat asri dan menyegarkan, dan terdapat beberapa hutan juga. Salah satu yang paling terkenal dari Satrone adalah bukit kembar Fligle dan Andores. Disanalah kompetisi ini akan dimulai, event bersejarah bagi hidupku juga. Aku belum pernah ke sana sebelumnya, jadi aku sangat antusias menantikannya. Melewati perbatasan kota itu yanhg ditandai dengan gapura besar dengan dua patung hewan persilangan antara naga dan kuda, udara yang bergerak entah bagaimana menjadi terasa sangat sejuk tiba tiba. Jauh berbeda dengan di Torwell. Aku benar benar menikmatinya. Sangat, sangat menikmatinya. Aku duduk di paling belakang dekat dengan pintu keluar di belakang truk itu. Aku sudah menebak sebelumny
Lihatlah, sekarang mereka berdua saling bernostalgia tentnag masa kecil mereka bersama. Derald tampak begitu akrab dan hangat, tapi bukan bersamaku. Dan parahnya aku bukan siapa siapa untuk menuntut apapun, tidak pada statusku sekarang. Pemikiran akan fakta ini, jujur saja, seperti sengaja menahan duri yang perlahan menggores kulitmu saat berusaha mengambil daun pandan. Terasa perih dan gatal. Apa aku memang sudah jatuh terlalu dalam pada permainan ini? Aku mulai memikirkan tentang apa yang dikatakan Alisa ketika kita pertama kali berbicara di aula kemarin. Saat itu dia berkata “… satu atau dua sampah tidak layak berdiri diantara kami, bukan?”. Aku jadi mulai mengerti apa yang dia maksud. Tidak seharusnnya aku mengganggu hubungan mereka yang sudah dibangun sejak lama sekali. M
Aku melihat ke sekeliling, ke segala arah, termasuk langit biru cerah, dan rumput jepang tempat dimana aku berpijak. Di puncak bukit ini, tidak jauh dariku, ada papan kayu besar tertancap. Disana tertulis ‘Bukit Andores’. Menurutku, tulisan ini sangat besar, tapi melihat luas tempat ini yang jauh lebih besar, sepertinya tidak terlalu sebanding untuk memberi tahu semua orang dari berbagai arah bahwa mereka sedang berada di Bukit Andores. “Ooii… Apa kalian akan meninggalkan kami di belakang..?” Teriak Fazel yang berjalan menanjaki bukit, dibelakangnya disusul Derald dan Alisa. Aku melihat 2 cowok yang baru saja menyusul kami membawa cukup banyak perlengkapan, beberapa kardus dan tas besar bertumpuk dalan dekapan mereka. “Sini, biar kami bantu bawakan!” Kat