Elvano yang mendengar obrolan para siswi itu tersenyum menahan tawa lalu mendekati para penggemarnya itu. “Ssstt. Bukan pangeran hitam, tapi pangeran putih.”
“Aaaa! Dia ngobrol sama kita!”
Lalu, datang seorang pria yang kira-kira berumur 30 tahun menghampiri Elvano dan Vindreya. “Tuan Elvano, mari kita langsung ke titik peresmiannya.”
Elvano mengangguk mantap. Dia kemudian menoleh pada Vindreya sambil menggenggam tangan gadis itu, seolah ingin menunjukkan pada orang-orang yang ada di sana bahwa Vindreya adalah kekasihnya, padahal bukan.
Elvano telah berdiri di depan sebuah pita cantik berwarna putih perak dengan bunga plastik di tengah-tengahnya. Sambil memegang gunting, Elvano melihat dengan tampang berwibawa kepada orang-orang yang ada di depannya.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang suda
Senin pagi itu sekitar pukul tujuh, Elvano keluar dari kamar hotelnya. Di depan pintu, dia merentangkan tangannya sepanjang mungkin untuk meregangkan tubuhnya. Dia lalu melihat ke kanan dan ke kiri sambil tersenyum, tak sabar ingin kembali bertemu dengan Vindreya.Elvano berjalan ke sisi kanannya di mana tepat di sebelah kamarnya adalah kamar Vindreya. Dia memandangi pintu berwarna putih itu sambil tersenyum kecil.Tok tok tok.“Pagi, Vin. Ini Elvano. Yuk, siap-siap balik ke Jakarta,” ucap Elvano sambil setengah berteriak.Cukup lama tak ada jawaban. Elvano kembali mengetuk pintu sambil mengucapkan hal yang sama.Di belakang Elvano, ada seorang wanita yang tadi juga sempat berpapasan dengan Vindreya. “Mas?”Elvano yang merasa tak ada laki-laki lain di sekitar sana langsung merasa bahwa dialah orang y
Akhirnya saat-saat yang ditunggu Vindreya datang juga, saat di mana mobil Elvano tiba dan berhenti di depan rumah Vindreya. Dengan cepat Vindreya membuka pintu mobil, keluar dari mobil merah mengkilat itu dan berlari masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Elvano.“Vindreya!” panggil Elvano yang tak terima ditinggal begitu saja.Elvano meremas kuat stirnya dengan tatapan muak. Napasnya seketika cepat beriringan dengan amarahnya yang semakin menjadi-jadi. Dadanya bahkan sampai kembang kempis.“Tunggu aja, Vin. Gue pasti bakal buat lo jadi milik gue seutuhnya. Bahkan lo nggak akan lagi berani nyebut nama Kenzo,” yakin Elvano. Dia lalu menjalankan mobilnya, entah apa yang sedang dia rencanakan.…“Malam, Om, Tante,” salam Vindreya pada Nathan dan Greesa yang tengah duduk berdua di teras rumah.
Malam itu pukul setengah delapan, Vindreya dan Hansa tengah menonton TV di ruang keluarga milik Vindreya. Sambil duduk bersebelahan di atas sofa, mereka tampak sangat menikmati tontonan mereka itu.Ting nung!Vindreya langsung menengok ke belakang. Baru saja dia ingin beranjak dari sofa untuk membukakan pintu, Freya sudah lebih dulu melewatinya menuju ruang tamu. Tampaknya wanita itu yang akan membukakan pintu. Alhasil, Vindreya kembali fokus pada acara TV yang sejak tadi dia dan Hansa tonton.Tidak lama setelah itu, hanya sekitar semenit kemudian, Freya datang ke ruang keluarga dan berdiri di sebelah sofa tempat Vindreya dan Hansa duduk.“Sayang, itu di ruang tamu ada Elvano sama papinya. Samperin, gih. Kamu duluan aja ke ruang tamu. Mama mau panggil Papa dulu di ruang kerjanya,” kata Freya.Vindreya langsung tak bersemangat. Dia tahu ap
“Lho. Elvano kayak gitu?” Gavin tak menyangka.Vindreya mengangguk lagi.“Jangan, Vin. Jangan mengikat sebuah hubungan karena tujuan lain yang bukan cinta. Orang tua Papa udah buktiin itu dan hasilnya nggak baik. Nggak ada kebahagiaan yang didapat dari hubungan yang kayak gitu. Yang ada hanya rasa sakit, penderitaan dan tidak nyaman.”Vindreya tersenyum kecil. “Pa, aku takut kalo Elvano bunuh diri gara-gara aku. Tapi, mungkin nggak masalah kalo Elvano pergi selama-lamanya dari hidup aku karena sumpah Kenzo waktu itu.”Alis Gavin merapat. “Sumpah Kenzo? Maksud kamu?”“Waktu itu Kenzo sumpahin Elvano bahwa kalo Elvano buat aku ngerasa sedih dan tertekan melebihi dari yang sebelumnya aku rasain, maka saat itu juga Elvano bakal mati.”Gavin seketika bergidik ngeri. Kenzo mem
Vindreya duduk di salah satu kursi dengan meja bundar berukuran kecil di depannya. Di atas meja itu sudah ada semangkuk mie ayam dan segelas jus jeruk. Namun, bukannya menyantap hidangan di depannya itu, Vindreya justru melipat kedua tangannya di atas meja sambil memandangi dua orang yang duduk semeter di depannya sambil tersenyum.“Lo ngapain sih ngikutin gue terus? Pergi sana jauh-jauh!” suruh seorang mahasiswa pada mahasiswi yang duduk di sebelahnya.Mahasiswi itu memanyunkan bibirnya. “Ih. Gue mau makan di sini.”“Kenapa harus makan di sini, sih? Tuh, liat. Masih banyak meja yang kosong.”“Karena lo ada di sini, makanya gue makan di sini.”Mahasiswa itu menatap sinis. “Lo tuh jadi cewek nggak punya urat malu, ya. Berkali-kali ditolak, masih aja ngejar.”“Ish, b
“Vindreya, untuk nikah sama lo dan menjadikan lo sebagai milik gue seutuhnya masih harus nunggu kita lulus kuliah dulu, sedangkan gue nggak bisa nunggu lebih lama. Yang gue tau, gue pingin memiliki lo seutuhnya saat ini juga. Apa yang harus gue lakuin sekarang?”Vindreya hanya diam sambil melangkah pelan menuju pintu. Tiba-tiba, Elvano berjalan mendekati Vindreya, semakin lama semakin cepat. Akhirnya, laki-laki itu berdiri tepat di depan Vindreya lalu mendorong tubuh gadis itu hingga mendarat di atas tempat tidur.Vindreya terkejut bukan main dan mencoba untuk keluar dari wilayah tempat tidur itu. Namun, Elvano sudah lebih dulu datang dan menimpa tubuh Vindreya.“Cara ini akan buat hubungan kita semakin kuat, Vin. Nggak akan ada satu orang pun yang bisa misahin kita setelah ini.”“Jangan, El!” teriak Vindreya memberontak.
1 tahun kemudian.Malam itu pukul 08.25, Gavin dan Freya tampak sedang asyik duduk di sofa yang ada di ruang keluarga. Di tangan mereka ada beberapa lembar kertas dengan isi informasi yang berbeda-beda, tetapi ditujukan untuk orang yang sama --- Vindreya.“Aku pulang!” teriak Vindreya dari depan pintu dan sekarang sedang berjalan di ruang tamu hingga akhirnya dia tiba di sebuah ruangan di mana Gavin dan Freya masih saja sibuk dengan kertas-kertas itu.“Eh, anak Mama udah pulang. Sini Sayang, duduk.” Freya tersenyum pada Vindreya sambil menarik lembut tangan putrinya itu.Freya beranjak dari sofa lalu menuntun Vindreya untuk duduk di sebelah kiri Gavin. Setelah itu, Freya kembali duduk di sebelah kiri Vindreya.Vindreya baru saja pergi bersama Hansa dan teman-teman mereka yang lain untuk merayakan hari kelulusan mereka dari jenjang p
Keesokan paginya, Vindreya turun dari sebuah taksi lalu berdiri kokoh di depan sebuah gedung pencakar langit yang begitu megah. Di sepanjang perjalanan menuju kantor tadi, dia terus melihat ke luar jendela, barangkali akan melihat Kenzo di sana. Sayangnya, dia belum menemukan orang yang dia cari.Vindreya menarik napasnya dengan dalam dan merasakan debaran jantungnya yang tampaknya mulai sulit untuk diajak berkompromi. Semoga saja saat wawancara nanti, debaran itu tidak mengganggu.“Huft.” Vindreya mengembuskan napasnya dan membuat kepercayaan dirinya semakin meningkat sekarang. Dia kemudian mulai mengambil langkah pertama. Ya, ini tidak buruk, lalu terus berjalan memasuki gedung di depannya.Sesampainya di dalam gedung, Vindreya langsung ke bagian resepsionis yang tak berada jauh dari pintu masuk.“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita