Widya menebar pandang ke semua sudut pekarangan Rossline sejauh jangkauan penglihatannya. Pagar setinggi pinggang orang dewasa melindungi bagian depan Rossline, sedang dinding pagar di kiri-kanan Rossline berdiri kokoh tak kurang setinggi dua meter. Meninjau luasnya pekarangan Rossline, Widya menaksir pelataran Rossline memiliki luas lebih dari setengah luasnya lapangan sepakbola.
"Sam, kita benar-benar akan memasukinya?" Widya mengamati bangunan di hadapannya mulai dari bawah hingga atap yang meruncing di atas sana. Widya perlu menengadah melihat puncak atap Rossline itu.
"Kamu takut?" Sam menoleh-menatap ke wajah Widya yang nampak terpesona sekaligus terprovokasi-seram oleh bentuk bangunan Rossline.
"Aku lebih suka menunggumu di hotel andai boleh memilih, Sam."
"Mr. Ben seorang pengagum Borobudur. Seluruh bahan bangunan di hadapanmu itu seluruhnya dari batu," alih Sam.
Widya me
Diikuti Tyo dan dua kawannya, Burhan memimpin rombongan kecil, mereka tergesa memasuki Rossline Pananjung, namun belum setengahnya memasuki ruangan Rossline yang luas itu, Burhan mengangkat sebelah tangan mengisyaratkan berhenti pada yang mengikutinya. "Tadi kita sudah ke sini. Dan gedung ini tak memiliki ruangan lain, Burhan! Utuhnya papan kayu penutup pintu pagar yang kamu rusak tadi itu, sebenarnya petunjuk kuat bahwa tidak ada yang memasuki gedung ini!?" protes Tyo. "Tadi waktu kita datang ke sini, tidak menemukan Landcruser di depan sana itu! Sekarang terbukti, mereka ada di sini!" "Kendaraannya tak terbantahkan, tapi orangnya? Mana mereka?" debat Tyo. "Bung, kalian lihat itu!?" kawan Burhan sang Pengemudi bersuara, telunjuknya menuding dua pasang jejak kaki berbeda terpatri pada lantai batu yang berdebu. Semua serempak memperhatikan jejak kaki di lantai, jejak kaki menuju k
Belum hilang keterkejutan Widya ketika Sam meninggalkannya seorang diri di dalam ruang rahasia kemudian tak lama masuk lagi memapah tubuh Tyo yang tidak sadarkan diri, kini berselang menit kemudian Sam kembali keluar dan masuk lagi membawa tubuh Burhan, juga tak sadarkan diri dengan bagian wajah berlumuran darah. "Sam! Kamu apakan orang-orang ini?" Widya tidaklah senang mengetahui dua orang yang sedang memburu dirinya hadir di hadapannya dalam keadaan tak berdaya, bagi Widya itu justru menambah beban ketakutannya merasa diburu dosa atas nyawa orang lain. "Dua orang ini hanya pingsan. Tidak mati," tukas Sam sembari berupaya menduduk-kan tubuh Burhan bersandar pada dinding sejajar dengan Tyo berjarak satu meter yang lebih dulu diduduk-kan tanpa kesadaran. "Tapi itu, Sam? Mulut Burhan berdarah begitu? Tidak-kah parah lukanya?" Sam tak bersahut, matanya mencari-cari sesuatu, tak ada yang menarik p
Sam menempelkan telinga kanannya ke dinding dekat celah-sambungan pintu rahasia yang merupakan dinding pembatas dengan ruang bawah tanah pertama. Berdetik-detik Sam menajamkan pendengarannya, namun ia tak lagi mendengar adanya suara dari gerakkan. Sam mempertimbangkan keluar untuk memastikan ada berapa orang di ruangan sebelah namun memperhatikan perhatiannya pada gerakkan kelemahan Tyo yang mulai terlihat. Sam merangsek mendekati Tyo dengan melewati Burhan terlebih dahulu. Di dekat Tyo, Sam menempatkan tubuh dengan sebelah siku siku ke lantai dan lutut lainnya menopangtnya.
"Kamu berada di ruangan tersembunyi, Burhan! Sekeras apapun suaramu berteriak, tidak akan ada yang mendengarmu!" Sam berjongkok di depan Burhan. "Benarkah kamu sepengecut ini, Sam? Mengikat kaki dan tanganku? Menutup mataku? Menyumpal mulutku?" "Kain itu berguna menahan darahmu. Nyatanya lidahmu masih dapat mengeluarkan kain penyumpal mulutmu?" "Lantas apa maumu,Sam? Sampai aku diperlakukan seperti ini?" "Mauku? akui apa yang aku dengar dari Tyo, soal Bos-mu. Dance. Benarkah Dance yang merencanakan semua ini?" "Merencanakan apa?" "Percuma kamu tutupi Bos-mu, Burhan. Tyo sudah menceritaiku bagaimana dia bisa dilibatkan ikut denganmu mengejarku. Andai aku tidak mengeluarkan Widya dari hotel, mungkin aku sendiri tak akan pernah tahu, kamu disuruh Dance mencarikan orang untuk teman Mr. Ben, juga kamu disuruh menyamar jadi pelayan hotel untuk mengganti semua
"Bagaimana, Sam?" Widya nampak cemas sekaligus senang mendapati Sam kembali. "Kita keluar sekarang!" kata Sam tapi kedua tangannya meraih cermin mengembalikannya ke tempat semula menggantung pada dinding kemudia ia menyambar kotak besi, "ayok cepat!" Sam mengapit kotak besi di tangan kanannya sedang tangan kirinya menuntun tangan Widya. Widya mengimbangi langkah cepat Sam serasa diseret keluar dari ruang rahasia hingga menaiki anak tangga, setelah tiba di puncak anak tangga Sam berhenti sejenak memperhatikan Tyo yang baru saja keluar melewati pintu utama Rossline. "Ke sini!" Sam menuntun Widya berjalan cepat-merapat ke dinding sisi kanan Rossline menuju bagian muka gedung. Widya terus mengikuti Sam tanpa sedikitpun tubuhnya melakukan penolakkan. Widya berserah sepenuhnya kepada Sam apa pun yang harus ditempuhnya. Di muka Rossline, Tyo lebih mempercepat langkahnya karena beban tub
Baru setengah perjalanan ditempuh dari Rossline Pananjung menuju hotel tempat Widya menginap bersama Sam, Minivan melintasi jalan tepian pantai Pangandaran yang sepi, di kiri-kanan jalan tergelar lahan kosong ditumbuhi pohon kelapa jarang-jarang dengan hamparan rumput liar dan semak belukar. Tyo tak lagi cepat melajukan Minivannya, sedari ia duduk berdekatan dengan Widya, mata Tyo tak henti mengerling nakal pada Widya di sebelahnya. Kulit Widya yang belum bersih dari sisa keringat akibat suhu ruang rahasia menjadikan kaos putih ketat tanpa lengan yang dikenakannya terlihat transparan hingga memunculkan bayangan Bra di dalamnya. Rambut Widya tak beraturan kian menggugah gairah berahi Tyo. Tadi Tyo telah menyaksikan dengan mata sendiri, Widya nampak akrab sekali dengan Sam. Kenyataan itu sungguh sulit ia terima. Sejak kali pertama jumpa dengan Sam, telah tumbuh benih cemburu direlung Tyo, terlebih sekarang setelah tahu Widya begitu mempercayai S
Masih didera rasa sakit disekujur tubuhnya setelah dipecundangi oleh Sam, Pengemudi dan temannya baru saja berhasil membebaskan Burhan dari ikatan. "Kalian berdua tidak bisa membekuk Sam sialan itu?" umpat Burhan setelah tubuhnya terbebas dari ikatan. "Apakah kamu dan Tyo tadi di dalam sana mampu membekuknya? Kalian berdua pun tadi dipecundangi Sam?" bela Pengemudi. "Haish, Tyo sialan itu, jangan sebut namanya di depanku! Pengkhianat! Aku dijatuhkannya dari atas Minivan serupa karung kosong aaja. Di mana dia sekarang?" "Dia membawa lari kendaraan kita." "Aku tahu. Tapi kamu bisa mengetahui keberadaannya, bukan? Minivan itu ada GPS nya, kan?" Burhan mencak-mencak tak keruan. "Oh, ya, ada," Pengemudi seperti baru tersadar. "Lekas periksa di ponselmu!" titah Burhan. "Dia belum jauh ternyata? Sekitar dua kilometer dari si
Hari menjelang sore, Sam sedang memperhatikan kotak besi di pangkuannya ketika Widya menggeliat bangun dari tidurnya. "Sudah mandi, Sam?" tanya Widya tersipu malu Sam mendahului terjaga sedang dirinya belum mengenakan apa pun kecuali selimut yang menyembunyikan tubuhnya. Sekembalinya ke hotel dari Rossline Pananjung, makan siang, Bercinta, kemudian mereka kelelahan-terlelap hingga sore menjelang "Aku sudah bangun setengah jam lalu, tapi belum mandi," sahut Sam tanpa berpaling dari kotak besi. "Bagaimana? Sudah menemukan cara membuka kotak besi-mu?" Widya bangun dari rebahnya dan tanpa menyertakan selimut untuk menutupi bagian dadanya ia duduk di belakang Sam turut memperhatikan kotak besi. "Kamu sudah tahu, salah-satu sisi kotak ini ada seperti ini?" tanya Sam telunjuknya menuding dekat ke tengah-tengah permukaan kotak. Widya memperhatikan tengah-
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
"Sesampainya ke Jakarta, bagaimana denganku, Sam? ke mana aku menuju? Polisi sudah mendatangi apartemenku. Menginap di hotel, aku tidak mau diusir seperti tadi karena wajahku telah dikenali banyak orang sebagai tertuduh?" Tanya Widya ketika sudah dalam perjalanan meninggalkan Pangandaran. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu." Sahut Sam meski berupaya bersikap tenang, namun tetap saja kepalanya terasa berat menyusun siasat. "Bagaimana dengan ibumu jika aku berada di antara kalian untuk beberapa hari?" "Aku bisa memberi alasan yang bisa dimengerti ibuku. Juga ibuku bukan seorang yang suka berprasangka buruk pada siapapun." Widya terdiam berdetik lamanya. Sedari dirinya mengetahui Mr. Ben terbunuh, pikirannya sulit berdamai untuk bisa bersikap tenang. Isi kepalanya terasa berat dan kusut. Hanya ketika bercinta bersama Sam saja jiwanya dapat merasa tenang oleh kenikmatan birahi. Meski disadari oleh Widya, itu bukanlah sesuatu yang baik secara moral. Widya tahu apa yang dinik
Masih terbilang pagi, untuk kali kedua, Tyo datang ke rumah Dance dalam pengawalan Burhan serta dua kawannya. Mereka baru saja tiba. Kedatangan Tyo kali ini disambut hangat oleh Dance dengan segala kepura-puraan sikapnya bersimpati pada apa yang diderita kaki Tyo. Kali ini Dance menerima Tyo di ruang tamu dengan interior istimewa layaknya rumah bangsawan. Kursi mewah berbahan kulit, beberapa barang antik di sudut ruangan, lukisan karya senirupa ternama di dinding, cukup jelas memberitahukan kepada siapapun tamu yang datang bahwa pemilik rumah bukanlah orang sembarangan. "Bagaimana dengan kakimu, Tyo?" tanya Dance membuka percakapan setelah terlebih dulu mengusir Burhan dan yang lainnya bahwa dirinya hendak bicara empat mata dengan Tyo. "Seperti yang Bos lihat. Kaki ini belum bisa aku pergunakan secara sempurna." Tyo memperhatikan lututnya yang terbalut kain perban. "Bagaimana menurut dokter? Bekas luka tembak itu tidak akan membuat kakimu cacat permanen bukan?" "Tidak. Luka di kak
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man