Masih didera rasa sakit disekujur tubuhnya setelah dipecundangi oleh Sam, Pengemudi dan temannya baru saja berhasil membebaskan Burhan dari ikatan.
"Kalian berdua tidak bisa membekuk Sam sialan itu?" umpat Burhan setelah tubuhnya terbebas dari ikatan.
"Apakah kamu dan Tyo tadi di dalam sana mampu membekuknya? Kalian berdua pun tadi dipecundangi Sam?" bela Pengemudi.
"Haish, Tyo sialan itu, jangan sebut namanya di depanku! Pengkhianat! Aku dijatuhkannya dari atas Minivan serupa karung kosong aaja. Di mana dia sekarang?"
"Dia membawa lari kendaraan kita."
"Aku tahu. Tapi kamu bisa mengetahui keberadaannya, bukan? Minivan itu ada GPS nya, kan?" Burhan mencak-mencak tak keruan.
"Oh, ya, ada," Pengemudi seperti baru tersadar.
"Lekas periksa di ponselmu!" titah Burhan.
"Dia belum jauh ternyata? Sekitar dua kilometer dari si
Hari menjelang sore, Sam sedang memperhatikan kotak besi di pangkuannya ketika Widya menggeliat bangun dari tidurnya. "Sudah mandi, Sam?" tanya Widya tersipu malu Sam mendahului terjaga sedang dirinya belum mengenakan apa pun kecuali selimut yang menyembunyikan tubuhnya. Sekembalinya ke hotel dari Rossline Pananjung, makan siang, Bercinta, kemudian mereka kelelahan-terlelap hingga sore menjelang "Aku sudah bangun setengah jam lalu, tapi belum mandi," sahut Sam tanpa berpaling dari kotak besi. "Bagaimana? Sudah menemukan cara membuka kotak besi-mu?" Widya bangun dari rebahnya dan tanpa menyertakan selimut untuk menutupi bagian dadanya ia duduk di belakang Sam turut memperhatikan kotak besi. "Kamu sudah tahu, salah-satu sisi kotak ini ada seperti ini?" tanya Sam telunjuknya menuding dekat ke tengah-tengah permukaan kotak. Widya memperhatikan tengah-
Sudah sepuluh menit Dance menunggu di ruang tamu yang luas dengan segala kemewahannya. Kursi tamu, seni lukis di dinding, guci keramik di sudut ruangan dan lain-lain yang menyemarakan ruang tamu itu sungguhlah serba mewah. Namun begitu dari semua yang nampak di ruang tamu tak satu-pun menarik perhatian Dance. Di balik dadanya, berkali-kali Dance mengumpat sebab baginya menunggu adalah penghinaan. Andai bukan karena dorongan kepentingan perusahaannya, Dance tak akan sudi bertamu dan harus menunggu tuan rumah begitu lama. Dalam kamus hidupnya, Dance terbiasa ditunggu kolega bisnis, bukan menunggu. Akan tetapi untuk menemui yang seorang ini, Dance harus merelakan jiwa feodalnya terjajah oleh tuan rumah yang memang suka tidak suka, Dance sangat bergantung pada pengaruh ketokohan orang yang sedang dikunjunginya. Setelah mendekati seperempat jam, Dance merasa lega pada akhirnya tuan rumah muncul meski masih mengenakan pakaian olahraga, lengkap den
Setelah berpuas diri berkecibak air Laut, menikmati panorama senja Pantai Pangandaran, rasa lapar adalah suatu kebiasaan menyergap siapa-pun yang telah menceburkan tubuhnya ke Laut. Pukul tujuh malam Sam dan Widya sudah bersiap menuju restorant di lantai dasar hotel setelah tuntas membersihkan diri dari air asin. "Kita jadi pulang malam ini, Sam?" tanya Widya sebelum mengikuti Sam melewati pintu kamar. "Kamu masih betah di Pangandaran?" "Aku pikir kamu mau membuka kotak itu dulu? Setelah kamu bisa membukanya, kita pulang. Besok pagi juga tidak masalah, kan?" "Kamu semangat sekali ingin membuka kotak itu?" Sam sudah berjalan menggandeng Widya menyusuri koridor hotel menuju restorant. "Hematku kamu harus mengetahui isi kotak terlebih dahulu, Sam!?" "Kenapa kamu berpikir begitu?" "Entahlah? Naluriku saja mengatakan demikian. Ada sesuatu yang
Di dalam Sedan Mercy keluaran terbarunya dan tipe termewah di kelasnya, Dance tercenung di kursi belakang. Di depan, Toni sang pengawal andalan merangkap tugas sebagai pengemudi, membisu tak berani bersuara melihat Bos-nya sedang berwajah angker. Biasanya Dance dikawal Toni dan Burhan sekaligus ke mana-pun Dance bepergian, keluar kota atau sekedar keperluan perjalanan dalam kota seperti sekarang ini pulang dari rumah Om Haryo. Pulang kantor lebih awal demi berkunjung ke rumah Om Haryo agar tidak kesorean, namun yang didatangi justru sedang berolahraga sore dan mengharuskan Dance menunggu. Kejengkelan Dance harus menunggu itu hingga sekarang menuju pulang belum juga mampu disingkirkan dari rasa ketersinggungannya. Rasa ingin selalu dihormati, dinomorsatukan, terlanjur mendarah daging dalam diri Dance. Dalam perjalanan pulang, selain masih bersemayamnya rasa ketersinggungan oleh sambutan Om Haryo yang sulit ia terima, Dance juga masih be
Sam berdiri mematung menghadap kaca jendela kamar hotel di lantai tiga, dari sini pemandangan Laut lepas terlihat leluasa. Meski tak kehilangan ketenangannya, Sam mendadak dipaksa berpikir keras setelah menerima telepon dari Dance. Sam mengenal Dance seorang ambisius sekaligus pengecut. Ketika barusan Dance berani menghubunginya disaat dirinya sudah tahu siapa di balik kematian Mr. Ben, Sam berpikir Dance cukup berani telah menghubunginya meski dengan dalih terjadi kesalahpahaman. "Sam, setelah menerima telepon barusan, nampaknya kamu sangat terganggu? Ada apa? Siapa itu?" tanya Widya bangkit dari duduknya di tepian pembaringan lalu turut berdiri menjejeri Sam. "Dance. Bekas majikanku. Kolega Mr. Ben," sahut Sam, menoleh sebentar pada Widya. "Dance? Yang...?" "Yang mengutus Burhan membuntuti kita," terang Sam menyela. "Apa yang membuatmu jadi nampak terganggu setelah menerima tel
Meski sulit diterima atas perlakuan Sam yang mengakibatkan kaki kanannya tak berfungsi sebagaimana mestinya untuk jangka waktu yang dokter-pun tak bisa memprediksinya, Tyo tak bisa berbuat banyak selain menerima kenyataan namun ia bertekad akan membalaskan derita kakinya terhadap Sam. Setelah keluar dari rumah sakit, Tyo juga harus bersabar duduk menyamping di kursi tengah Minivan agar kaki kanan yang menderita luka tembak dapat berselonjor seraya menunggu Burhan yang sedang berusaha menghubungi Dance namun tak kunjung tersambung. Berpuluh menit sudah mereka duduk di dalam Minivan yang parkir di halaman rumah sakit. "Tadi Bos-mu mengharapkan aku segera menemuinya untuk melaporkan apa yang aku ketahui. Aku mengetahui apa yang ditemukan Sam dari gedung aneh itu, Burhan. Bos-mu menghendaki kita segera kembali ke Jakarta!" usul Tyo mulai bosan menunggu. "Kamu tidak kenal Bos-ku, Tyo! Aku sudah bosan direndahkan oleh Bo
Sam dan Widya sempat beradu pandang saling melempar tanya melalui mata ketika permukaan 7 inci serupa kaca pada kotak besi telah membelah diri dan setelah terbuka sempurna, dari balik serupa kaca itu terdapat rongga sedalam 2 centimeter dan nampaklah sebentuk formasi tombol angka-angka menyerupai tombol layaknya yang biasa terdapat pada brangkas penyimpanan barang berharga. "Apakah ini sebuah brangkas mini, Sam?" tanya Widya arah pandangnya kembali terpaku pada kotak dengan tatapan takjub. "Entahlah?" Sam seperti enggan capek berpikir namun ia tak mau kalah oleh Widya, pandangannya terpaku pada kotak di hadapannya. Antara tiga puluh detik setelah 7 inci serupa kaca itu terbuka, di sekeliling tepian 7 inci yang semula mengeluarkan cahaya redup berkedip, sempat berhenti menyala namun detik kemudian kembali menyala dan perlahan 7 inci serupa kaca itu bergerak hendak menutup kembali. Widya dan Sam kembal
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
"Sesampainya ke Jakarta, bagaimana denganku, Sam? ke mana aku menuju? Polisi sudah mendatangi apartemenku. Menginap di hotel, aku tidak mau diusir seperti tadi karena wajahku telah dikenali banyak orang sebagai tertuduh?" Tanya Widya ketika sudah dalam perjalanan meninggalkan Pangandaran. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu." Sahut Sam meski berupaya bersikap tenang, namun tetap saja kepalanya terasa berat menyusun siasat. "Bagaimana dengan ibumu jika aku berada di antara kalian untuk beberapa hari?" "Aku bisa memberi alasan yang bisa dimengerti ibuku. Juga ibuku bukan seorang yang suka berprasangka buruk pada siapapun." Widya terdiam berdetik lamanya. Sedari dirinya mengetahui Mr. Ben terbunuh, pikirannya sulit berdamai untuk bisa bersikap tenang. Isi kepalanya terasa berat dan kusut. Hanya ketika bercinta bersama Sam saja jiwanya dapat merasa tenang oleh kenikmatan birahi. Meski disadari oleh Widya, itu bukanlah sesuatu yang baik secara moral. Widya tahu apa yang dinik
Masih terbilang pagi, untuk kali kedua, Tyo datang ke rumah Dance dalam pengawalan Burhan serta dua kawannya. Mereka baru saja tiba. Kedatangan Tyo kali ini disambut hangat oleh Dance dengan segala kepura-puraan sikapnya bersimpati pada apa yang diderita kaki Tyo. Kali ini Dance menerima Tyo di ruang tamu dengan interior istimewa layaknya rumah bangsawan. Kursi mewah berbahan kulit, beberapa barang antik di sudut ruangan, lukisan karya senirupa ternama di dinding, cukup jelas memberitahukan kepada siapapun tamu yang datang bahwa pemilik rumah bukanlah orang sembarangan. "Bagaimana dengan kakimu, Tyo?" tanya Dance membuka percakapan setelah terlebih dulu mengusir Burhan dan yang lainnya bahwa dirinya hendak bicara empat mata dengan Tyo. "Seperti yang Bos lihat. Kaki ini belum bisa aku pergunakan secara sempurna." Tyo memperhatikan lututnya yang terbalut kain perban. "Bagaimana menurut dokter? Bekas luka tembak itu tidak akan membuat kakimu cacat permanen bukan?" "Tidak. Luka di kak
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man