Untuk bab selanjutnya akan ada banyak darah berceceran
"Bedebah kau!""Mengapa kau berkhianat, padahal aku sudah mempercayaimu!" Diana memekik nyaring sambil menggerakkan tangan di belakang dan menatap tajam sosok tersebut. Yang kini menyeringai tipis. Napasnya terdengar memburu hingga urat-urat di sekitar mata menyembul sedikit. Marah, sesal dan terlampau kecewa. Sebab seseorang yang amat dia percayai, menikamnya dari belakang. Theodore malah terkekeh-kekeh kemudian berjalan cepat menuju kursi dan mendaratkan bokongnya di kursi plastik berwarna merah. "Emosional sekali tapi aku suka, Ursula kemarilah! Lepaslah wigmu itu, aku lebih suka rambut pendekmu." Melirik Ursula sekilas, Theodore pun berseru. "Yes, Mister, as you wish." Ursula mendekat sambil menarik rambut palsu dari kepala dan menjatuhkannya ke lantai kemudian duduk di atas paha Theodore."Aku suka rambutmu yang begini." Theodore mengecup pelan leher jenjang Ursula dari samping, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ursula. Ursula mengulum senyum dan berkata,"Thanks, Mister.""K
Di atas sana langit sangat gelap. Kilatan pun menyambar-nyambar. Saat ini, hujan turun sangat lebat disertai gemuruh angin kencang, membuat bunyi tetesan air hujan di atas genteng terdengar amat jelas di indera pendengaran seseorang. Udara malam terasa sangat sejuk, tapi tidak dengan pria di dalam rumah yang hanya memakai celana jeans biru. Ia sama sekali tak merasakan dingin, meski angin malam menerpa kulit dan otot-otot kekarnya yang terlihat amat jelas sekarang. Pak!Pak! Pak! Di sebuah rumah berlapis kayu, bercahayakan lampu temaram dan sedikit redup, terdengar suara kapak saling beradu. Tercium bau amis darah, bau kayu yang sudah sedikit tua dan bau tanah bercampur menjadi satu. Di sudut ruangan terdapat sebuah baskom besar berwarna biru, di dalamnya terlihat sepasang kaki manusia masih utuh. Daging berwarna merah itu nampak masih segar dan baru saja ditetak. Pak! Sekali lagi terdengar kapak berayun di tengah-tengah ruangan. Bersamaan pula cipratan darah menyembur ke segala
Di atas pencakar Sacramento, terlihat tiga buah helikopter jenis Agusta 129 Mangusta membelah langit malam. Yang merupakan salah satu jenis helikopter serbu paling canggih di dunia, dirancang khusus untuk peran anti lapis-baja dan memiliki satu laras meriam serta dapat menggendong serenteng senapan mesin. Tidak hanya itu, dapat pula membawa rudal anti-tank dan roket medusa berkekuatan super tinggi. Setelah mengetahui titik persembunyian Constantine, tanpa pikir panjang Martin pergi ke Sacramento, tempat di mana Diana disekap. Martin baru saja teringat jika Constantine memiliki bisnis lain di ibu kota California itu. Bersama B, Lopez dan anak buah yang memiliki kemampuan khusus mereka telah tiba di gedung tertinggi di Sacramento. Ketiga buah helikopter berwarna hijau pekat pun berhenti di helipad, landasan khusus helikopter. Terlihat tetesan-tetesan air hujan masih mengalir dari benda super canggih tersebut. Memakai kacamata hitam dan rompi anti peluru menempel di badan, Martin melom
Diana semakin panik, lantas menatap tajam Fabrizio sambil menggesekkan ikatan di belakang hingga membuat pergelangan tangannya terlihat merah sekarang. "Hahaha, kau semakin cantik jika sedang marah." Dengan tergesa-gesa Fabrizio menurunkan celana. Lalu membungkuk sejenak. Akan tetapi, ketika hendak menegakkan badan, Diana menyundul dagunya dengan sangat kuat."Argh!!!" Mata Fabrizio terbelalak. Dalam keadaan celana melorot ke bawah, ia terhuyung-huyung ke belakang sembari memegang dagunya yang terasa sakit, seakan-akan ikut bergeser. "Mati kau!" Secepat kilat Diana menyentak kasar kursi kayu tersebut. Dalam keadaan tangan masih terikat di belakang, ia mengangkatnya. Alhasil kaki kursi pun patah sebagian. Setelah itu ia berjalan dengan gesit ke depan dan menyeruduk Fabrizio memakai kepalanya. Sampai pada akhirnya Fabrizio terpental ke dinding. Berhasil, ikatan terlepas dan kursi pun hancur. Diana mundur beberapa langkah."Ahk!" pekik Fabrizio menahan sakit di dagu dan di sekujur pe
Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan di gedung, kini anak buah Theodore dan anak buah Martin saling menyerang satu sama lain. Di depan gedung, B sudah berhasil melumpuhkan sebagian anak buah Theodore. Pria itu terlihat menyeramkan, melontarkan timah sambil tertawa terbahak-bahak, seakan-akan sedang bermain di wahana permainan. Di samping bangunan, Martin pun, dengan sigap menendang pintu sambil melontarkan timah panas ke arah anak buah Theodore. Berdiri, dengan jarak dua meter Lopez dan para pria bertubuh tegap dan kekar, melindungi Martin sambil menembak musuh yang berdatangan dari sisi kiri dan kanan. "Diana!" teriak Martin. Memandang ke arah Diana, bergeming dengan tangan terikat ke belakang. Matanya membola seketika, tatkala melihat Fabrizio menyeret kursi Diana ke suatu tempat. Semakin cepat langkah kakinya. Akan tetapi, entah datang dari mana, seseorang melempar bom asap ke arahnya, mengakibatkan asap mengepul lebat ke udara hingga membuat Martin dan seluruh anak buahnya tak d
Angelo menarik tangan Angela seketika hingga empat pasang mata mungil itu bertemu. Bocah lelaki itu memberi kode untuk jangan terlalu berkata jujur. Angela membalas dengan mengangguk pelan. "Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku, kenapa kalian ada di sini? Ini sudah malam Sayang." Theodore meraih tangan Angelo dan Angela seketika kemudian menuntun mereka menepi ke pinggir jalan. Ia baru saja dari mansion. Menenangkan Helena yang kembali mengamuk tadi. Theodore mendapatkan kabar bila Martin telah datang ke gedung. Dia pun bergegas hendak kembali ke gedung dan tak lupa memberi perintah pada Fabrizio agar menahan Martin. Akan tetapi, saat di perjalanan, dia tak sengaja bertemu dua bocah yang ditemuinya di Caracas sewaktu itu. Tentu saja, benak Theodore dipenuhi tanda tanya besar. Venezuela sangatlah jauh, sementara sekarang mereka di benua Amerika Serikat.Angela mendongak lalu berkata,"Kami ke sini ingin membantu Daddy."Kening Theodore berkerut kuat."Membantu Daddy? Memangnya Daddy
Theodore berhasil menghunuskan pedang ke perut kanan Martin. Dengan cepat mencabut benda tajam tersebut dari perut Martin lalu mundur beberapa langkah. Tawa keras terdengar seketika diikuti bunyi tembakan di sudut-sudut ruangan, di mana anak buah Theodore dan Martin masih menembak satu sama lain. "Haha, sudah lama kita berkelahi, Martin! Malam ini aku akan mengantarmu menghadap malaikat kematian!"Martin sudah terbiasa, akibat sering berkelahi, menjadikan dia tak mengeluarkan suara rintihan sama sekali. Namun, tak dapat dipungkiri rasa sakit menjalar di perut bawah kanannya sekarang. Martin membuang ludah ke lantai seketika lalu menyeringai tajam. "Bermimpilah, kau yang akan terlebih dahulu, menghadap malaikat kematian!" seru Martin sambil mengangkat samurai. "Haha, baiklah, let's see!" Theodore pun mengayunkan samurai setelahnya melangkah cepat, mendekati Martin. Perkelahian pun terjadi. Di dalam ruangan berkabut asap itu Martin dan Thedore saling menyerang satu sama lain. Berj
Setelah menutup panggilan. Theodore sesekali melontarkan timah panas ke arah Martin dan Diana di ujung sana. Rasa sakit di perutnya sekarang membuat dia kehilangan sedikit tenaga. Perlahan bunyi tembakan tak lagi terdengar di luar, Theodore memberi perintah pada anak buahnya untuk mundur. "Aku masih berbaik hati tidak membunuhmu!" Theodore menoleh ke bawah tiba-tiba, menatap dingin Ursula. Dia sengaja tidak menembak Ursula. Mengingat Ursula, memiliki ruang tersendiri di hatinya. Ursula tak menyahut, hanya bola matanya yang memandang sengit Theodore. "Mister! Kami sudah menemukan anak yang Mister maksud." Dari samping anak buah Theodore tiba-tiba mendekat. Theodore menoleh lalu berkata," Bagus, sekarang kau kurung Ursula! Jangan sampai dia lolos dan cepat bereskan semua kekacauan ini! Aku mau ke mansion sebentar!" Pria berperawakan itu lantas melakukan perintah sang atasan. Dengan langkah terseok-seok Theodore berlalu pergi dari gedung. Di lain sisi, 20 meter dari gedung kumuh, M
"Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin
21+++***(Maaf tidak sesuai ekspetasi) ~~~Sepasang mata bulat Jane langsung membola, hendak melawan. Namun, Angelo mengekang tubuhnya. Terlebih, bibirnya dibungkam Angelo sekarang. Kali ini Jane tak bisa menolak. Mungkin karena rindu yang mengebu-gebu. Dia mulai pasrah terhadap perlakuan Angelo.Bibirnya dikecup, disesap dan lidahnya pun dililit-lilit Angelo hingga keduanya saling bertukar saliva. Jane memejamkan mata, menikmati kecupan ganas yang dilakukan Angelo saat ini. Sementara Angelo amat tak tahan. Sejak tadi menahan diri, melihat bibir ranum Jane bergerak-gerak. Di mata Angelo, wanita bertubuh mungil ini amat menggemaskan. Kini lelaki bermata cokelat tersebut. Dengan mata menutup mencekal pergelangan tangan Jane. Napasnya memburu, jantungnya pun berdetak kencang, seakan-akan organ dalamnya akan meledak. Sampai pada akhirnya ia menjauhkan sedikit wajah kala mendengar Jane kesulitan mengambil napas. Angelo membuka mata, menatap seksama wajah Jane yang masih berusaha mera
Sampai keluar mata Angelo kala mendengar perkataan Martin barusan. Dia terperangah sejenak."Daddy." Angelo menahan geram karena Martin tak dapat diajak berkompromi saat ini. "Ck, berkerjasamalah denganku, Dad, ayo cepat ralat ucapan Daddy barusan."Martin tak menyahut, malah mendengus lalu melipat tangan di dada. Angelo menghela napas lelah kemudian. Dengan cepat ia menekan bell rumah lalu berkata,"Maaf Tuan Georgio, Daddyku hanya bercanda tadi, sebenarnya dia ingin meminta maaf pada Tuan.""Cih, aku tidak bercanda! Aku memang mengajakmu berduel, sialan!" protes Martin cepat membuat Angelo semakin kalang kabut.Angelo menatap tajam Martin, memberi bahasa isyarat untuk diam. Lagi dan lagi Martin balas dengan mengeluarkan dengkusan kesal.Tak ada tanda-tanda pagar akan terbuka. Angelo pun mulai memarahi Martin. Tak lupa ia berulang kali melontarkan kata maaf dengan berbicara melalui alat di dekat pagar, yang di mana itulah adalah kamera pengintai berupa suara yang terhubung ke dalam m
Jane terbelalak. Dengan cepat meloncat dari atas ranjang kemudian bergegas menghidupkan lampu ruangan. Angelo meringis pelan tatkala mendapat pukulan di rahangnya barusan. Seumur-umurnya baru kali ini dia dipukul oleh seorang wanita. Sambil memegangi pipi, dia memandang ke sudut ruangan, di mana Jane berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Angelo, kenapa kau bisa di sini?" Jane heran mengapa Angelo bisa masuk ke dalam kamarnya. Padahal setahunya keamanan di mansion sudah diperketat Georgio. Namun, detik selanjutnya dia sadar bila Angelo adalah tentara yang memiliki kemampuan khusus di dunia militer. "Pergilah Angelo, sebelum ketahuan Daddyku," ujar Jane kemudian sambil membuang muka ke samping. Jujur saja, ia ingin sekali berlari kencang ke arah Angelo dan memeluknya erat-erat sekarang. Namun, mengingat pesan yang dikirim Claudia tadi, Jane urungkan. Angelo mendengus lalu menghampiri Jane hendak meraih tangan pujaan hatinya. Akan tetapi, Jane segera menepis tangannya dengan cepat