Adrian akhirnya diizinkan pulang oleh dokter setelah beberapa minggu perawatan intensif. Namun, dokter menegaskan bahwa ia harus mengikuti jadwal terapi fisik secara rutin untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Adrian mendengarkan dengan malas, hanya mengangguk sesekali tanpa benar-benar memerhatikan. Sebaliknya, Gita mencatat setiap detail yang disampaikan dokter dengan serius, memastikan tidak ada yang terlewat. Ia memegang tangan Adrian erat, berusaha memberikan dorongan semangat.
“Aku tahu ini sulit, tapi kamu harus semangat. Harus sembuh,” ucap Gita lembut. Saat tiba di rumah lama mereka, Adrian duduk di kursi roda elektrik yang otomatis bergerak sesuai arah joysticknya. Ia langsung menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Gita hanya bisa menghela napas, lalu mengikutinya. “Adrian, kamu mau aku masakin apa?” tanya Gita, mencoba mencairkan suasana.Adrian menggeleng tanpa menatapnya. “Aku nggak pengen apa-apa. NAdrian duduk di kursi roda di ruang tengah rumahnya. Mata kosongnya menatap ke luar jendela, memandang hujan yang perlahan membasahi dedaunan. Gita mendekatinya dengan langkah tenang. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang ia letakkan di meja kecil di samping Adrian.Gita diam-diam berdiri di belakang kursi roda Adrian, lalu perlahan memijat pundaknya. “Kamu tegang,” ucap Gita lembut, memecah keheningan.Adrian tetap diam. Namun, ia tidak menolak sentuhan Gita, sesuatu yang mulai memberikan harapan kecil bagi Gita bahwa ia tidak benar-benar menyerah.Seiring waktu, usaha Gita mulai membawa perubahan. Saat Adrian terlalu lelah untuk berbicara, Gita akan duduk di lantai di dekat kakinya, hanya bersandar tanpa mengatakan apa-apa. Kadang ia menyuapkan makanan tanpa banyak bicara, dan Adrian akhirnya menerima meski dengan enggan.Namun, malam itu berbeda. Gita datang dari dapur, membawa handuk kecil untuk mengelap tangan Adrian. “Aku tahu kamu be
Adrian mencoba menata kembali kehidupannya setelah insiden kecelakaan yang mengubah segalanya. Tubuhnya memang perlahan membaik, tetapi hatinya masih dihantui rasa kehilangan dan frustasi. Pria yang dulu dipenuhi ambisi kini terlihat rapuh, seolah-olah hidupnya kehilangan tujuan. Setiap harinya, ia lebih sering duduk termenung di ruang tamu, memandangi jendela dengan tatapan kosong.Di sisi lain, Gita tak pernah menyerah. Ia tahu, kebangkitan Adrian bukanlah perkara mudah. Setiap pagi, Gita mengatur jadwal dengan teliti—menyiapkan makanan yang bergizi, menemaninya berbicara meski Adrian hanya merespons dengan gumaman pendek, hingga memberikan pijatan lembut di punggung untuk mengurangi kekakuan tubuhnya.Sore itu, cahaya matahari yang lembut menerobos melalui tirai ruang tamu. Adrian duduk diam di kursi roda, pandangannya tertuju ke luar jendela, menyaksikan burung-burung yang terbang melintas. Tak ada tanda-tanda emosi di wajahnya, hanya kekosongan yang terus
Adrian akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor setelah berbulan-bulan absen. Dengan bantuan kursi roda elektriknya, ia bersiap menghadapi realitas baru yang menantinya. Gita setia mendampingi, memastikan semuanya berjalan lancar. Saat tiba di kantor, suasana terasa berbeda. Karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tiba-tiba berhenti, memalingkan wajah untuk melihat ke arah Adrian.Berbagai reaksi terpancar dari tatapan mereka. Ada yang kagum melihat keberanian Adrian untuk kembali, meski dalam kondisi seperti itu, ada pula yang tampak canggung, tak tahu bagaimana harus merespons. Beberapa bahkan saling berbisik, menyebut nama Adrian dengan nada pelan namun penuh rasa hormat. Namun, tatapan-tatapan itu cukup membuat Adrian merasa tidak nyaman. Ia menegakkan punggungnya, berusaha menunjukkan wibawa yang sama seperti sebelum kecelakaan terjadi.Di depan ruang rapat, Hendri sudah berdiri dengan wajah serius, map besar di tangannya. “Pak Adrian, tim sudah be
Adrian dan Gita bersiap untuk pemeriksaan rutin ke dokter kandungan pagi itu. Adrian, dengan bantuan kursi roda elektriknya, tampak tenang meski di dalam hatinya ia ingin membuktikan bahwa ia masih bisa menjadi suami yang bertanggung jawab.Selama perjalanan menuju klinik, obrolan ringan menghiasi perjalanan mereka, tetapi sesekali sunyi menyelinap di antara kalimat. Gita akhirnya memutuskan untuk menyampaikan pikirannya yang selama ini tertahan. “Dri, aku ada kepikiran,” ucapnya dengan hati-hati. “Mungkin... mungkin aku harus ganti dokter kandungan.”Adrian menoleh, mengangkat alis. Ia tahu persis siapa yang Gita maksud. “Karena Naufal?” tanyanya tanpa basa-basi.Gita mengangguk pelan, tatapannya terfokus pada pemandangan di luar jendela. “Aku cuma nggak mau bikin kamu nggak nyaman,” lanjutnya, suaranya terdengar lemah. “Aku pikir mungkin ini lebih baik untuk kita berdua.”Adrian terdiam sejenak.
Adrian memandang semua yang hadir di ruang rapat dengan ketenangan yang tegas. Suara ketukan kursi roda elektriknya sebelumnya sudah cukup membuat semua mata tertuju padanya. Dengan Gita duduk di sampingnya, suasana ruangan menjadi semakin berat. Hendri berdiri di belakang Adrian, menatap Luna dengan ekspresi datar namun penuh arti.Luna mencoba tersenyum tipis, meskipun sorot matanya jelas memancarkan ketegangan. “Pak Adrian, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, mungkin ada kesalahan dalam pencatatan. Tim saya sedang menelusuri ini. Proyek ini sangat kompleks, dan kami harus berimprovisasi dalam banyak hal. Beberapa pengeluaran mungkin terlihat tidak relevan, tetapi sebenarnya itu adalah bagian dari strategi jangka panjang kami.”Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya menusuk. “Strategi jangka panjang, katamu? Saya akan memberimu waktu—tiga hari—untuk memberikan dokumen pendukung yang membuktikan bahwa transaksi ini bena
Dalam perjalanan pulang, Luna duduk di kursi belakang mobil dengan ekspresi wajah yang gelisah. Tangannya menggenggam ponsel, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menelepon Rima. Suara di ujung sana menjawab. “Luna?” Rima terdengar heran. “Ada apa menelepon malam-malam begini?”Luna menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol nada suaranya agar terdengar tulus. “Tante Rima, saya tahu ini mungkin tidak pantas, tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya butuh bantuan tante.”“Hm, bantuan?” Rima mulai curiga, namun tidak langsung memotong pembicaraan.“Saya tahu Adrian marah, dan dia punya alasan untuk itu. Tapi masalah ini... ini lebih besar dari yang terlihat. Saya benar-benar tidak berniat mencoreng nama perusahaan atau menyakiti siapa pun. Saya hanya... saya hanya ingin menyelesaikan ini tanpa melibatkan hukum atau publikasi. Tante mengenal saya. Tante tahu saya selalu memikirkan yang terbaik untuk peru
Luna duduk di meja kerjanya yang penuh dengan dokumen-dokumen proyek. Lampu di apartemennya menyala redup, menciptakan suasana muram yang mencerminkan hatinya. Ia memandang layar laptopnya yang penuh dengan email dari klien dan mitra bisnis. Kebanyakan berisi kalimat yang sama: "Kami akan menunda kerja sama sampai masalah Anda terselesaikan."Dengan frustrasi, Luna memukul meja keras hingga secangkir kopi di dekatnya hampir tumpah. “Semua ini salah Adrian!” serunya pelan namun penuh kemarahan.Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan singkat masuk dari salah satu kliennya:"Bu Luna, kami terpaksa membatalkan proyek ini. Reputasi Anda sekarang membuat kami sulit melanjutkan kerja sama. Mohon dimaklumi."Luna membaca pesan itu dengan tatapan tajam. Ia melempar ponselnya ke sofa dengan kasar, lalu berdiri dari kursinya. Nafasnya memburu, pikirannya bercampur aduk antara marah, kecewa, dan dendam.“Adrian...” gumamnya dengan nada dingin.
Gita sat on the living room sofa, her hands massaging her legs that were starting to swell. His face looked tired, his breath was short. Pregnancy at eight months brings many new challenges that she has not experienced before. His back felt like he was being pulled around, and every little step he took felt like a heavy task. Adrian watched her from her wheelchair, her eyes never detached from Gita's movements. Concern was evident on his face, but there was something deeper—frustration with himself for feeling powerless enough to help his wife. After a few moments of looking at Gita who seemed to be struggling on her own, she moved the joystick of her wheelchair, approaching slowly. "Here," Adrian said softly, his voice attentive. "Let me be the pijitin." Gita looked up, surprised to hear the offer. "You don't need to bother, Dri. I can do it alone." He tried to smile. Adrian shook his head, looking at him warmly. "I am your husband, Gita. If I don't he
Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na
Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma
Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per