Gita duduk di samping Rima, menatap wajah lelah wanita itu dengan rasa simpati. Ia meraih tangan Rima yang dingin dan menggenggamnya erat. "Mama, jangan terlalu banyak pikiran. Mama harus jaga kesehatan dulu. Kalau Mama sakit gini, siapa yang akan mendukung Adrian?" katanya dengan suara lembut, penuh perhatian.
Rima menghela napas panjang, tatapannya jatuh ke arah tangan Gita. "Bagaimana Mama bisa tenang, Gita? Setiap kali melihat Adrian, hati Mama terasa hancur. Mama tahu semua ini salah Mama. Kalau saja Mama tidak terlalu keras, kalau saja Mama bisa bersikap lebih bijaksana..." Suaranya serak, nyaris tenggelam dalam rasa bersalah. "Mungkin semua ini tidak akan terjadi." Gita menggeleng perlahan, berusaha memberikan ketenangan. "Ma, yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Menyalahkan diri sendiri tidak akan membantu Adrian. Yang penting sekarang, kita ada di sini untuknya. Mama percaya kan, Adrian bisa bangkit lagi? Tapi dia hanya butuh waktu dan dukungan." Rima menganAdrian akhirnya diizinkan pulang oleh dokter setelah beberapa minggu perawatan intensif. Namun, dokter menegaskan bahwa ia harus mengikuti jadwal terapi fisik secara rutin untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Adrian mendengarkan dengan malas, hanya mengangguk sesekali tanpa benar-benar memerhatikan. Sebaliknya, Gita mencatat setiap detail yang disampaikan dokter dengan serius, memastikan tidak ada yang terlewat. Ia memegang tangan Adrian erat, berusaha memberikan dorongan semangat.“Aku tahu ini sulit, tapi kamu harus semangat. Harus sembuh,” ucap Gita lembut.Saat tiba di rumah lama mereka, Adrian duduk di kursi roda elektrik yang otomatis bergerak sesuai arah joysticknya. Ia langsung menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Gita hanya bisa menghela napas, lalu mengikutinya.“Adrian, kamu mau aku masakin apa?” tanya Gita, mencoba mencairkan suasana.Adrian menggeleng tanpa menatapnya. “Aku nggak pengen apa-apa. N
Adrian duduk di kursi roda di ruang tengah rumahnya. Mata kosongnya menatap ke luar jendela, memandang hujan yang perlahan membasahi dedaunan. Gita mendekatinya dengan langkah tenang. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang ia letakkan di meja kecil di samping Adrian.Gita diam-diam berdiri di belakang kursi roda Adrian, lalu perlahan memijat pundaknya. “Kamu tegang,” ucap Gita lembut, memecah keheningan.Adrian tetap diam. Namun, ia tidak menolak sentuhan Gita, sesuatu yang mulai memberikan harapan kecil bagi Gita bahwa ia tidak benar-benar menyerah.Seiring waktu, usaha Gita mulai membawa perubahan. Saat Adrian terlalu lelah untuk berbicara, Gita akan duduk di lantai di dekat kakinya, hanya bersandar tanpa mengatakan apa-apa. Kadang ia menyuapkan makanan tanpa banyak bicara, dan Adrian akhirnya menerima meski dengan enggan.Namun, malam itu berbeda. Gita datang dari dapur, membawa handuk kecil untuk mengelap tangan Adrian. “Aku tahu kamu be
Adrian mencoba menata kembali kehidupannya setelah insiden kecelakaan yang mengubah segalanya. Tubuhnya memang perlahan membaik, tetapi hatinya masih dihantui rasa kehilangan dan frustasi. Pria yang dulu dipenuhi ambisi kini terlihat rapuh, seolah-olah hidupnya kehilangan tujuan. Setiap harinya, ia lebih sering duduk termenung di ruang tamu, memandangi jendela dengan tatapan kosong.Di sisi lain, Gita tak pernah menyerah. Ia tahu, kebangkitan Adrian bukanlah perkara mudah. Setiap pagi, Gita mengatur jadwal dengan teliti—menyiapkan makanan yang bergizi, menemaninya berbicara meski Adrian hanya merespons dengan gumaman pendek, hingga memberikan pijatan lembut di punggung untuk mengurangi kekakuan tubuhnya.Sore itu, cahaya matahari yang lembut menerobos melalui tirai ruang tamu. Adrian duduk diam di kursi roda, pandangannya tertuju ke luar jendela, menyaksikan burung-burung yang terbang melintas. Tak ada tanda-tanda emosi di wajahnya, hanya kekosongan yang terus
Adrian akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor setelah berbulan-bulan absen. Dengan bantuan kursi roda elektriknya, ia bersiap menghadapi realitas baru yang menantinya. Gita setia mendampingi, memastikan semuanya berjalan lancar. Saat tiba di kantor, suasana terasa berbeda. Karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tiba-tiba berhenti, memalingkan wajah untuk melihat ke arah Adrian.Berbagai reaksi terpancar dari tatapan mereka. Ada yang kagum melihat keberanian Adrian untuk kembali, meski dalam kondisi seperti itu, ada pula yang tampak canggung, tak tahu bagaimana harus merespons. Beberapa bahkan saling berbisik, menyebut nama Adrian dengan nada pelan namun penuh rasa hormat. Namun, tatapan-tatapan itu cukup membuat Adrian merasa tidak nyaman. Ia menegakkan punggungnya, berusaha menunjukkan wibawa yang sama seperti sebelum kecelakaan terjadi.Di depan ruang rapat, Hendri sudah berdiri dengan wajah serius, map besar di tangannya. “Pak Adrian, tim sudah be
Adrian dan Gita bersiap untuk pemeriksaan rutin ke dokter kandungan pagi itu. Adrian, dengan bantuan kursi roda elektriknya, tampak tenang meski di dalam hatinya ia ingin membuktikan bahwa ia masih bisa menjadi suami yang bertanggung jawab.Selama perjalanan menuju klinik, obrolan ringan menghiasi perjalanan mereka, tetapi sesekali sunyi menyelinap di antara kalimat. Gita akhirnya memutuskan untuk menyampaikan pikirannya yang selama ini tertahan. “Dri, aku ada kepikiran,” ucapnya dengan hati-hati. “Mungkin... mungkin aku harus ganti dokter kandungan.”Adrian menoleh, mengangkat alis. Ia tahu persis siapa yang Gita maksud. “Karena Naufal?” tanyanya tanpa basa-basi.Gita mengangguk pelan, tatapannya terfokus pada pemandangan di luar jendela. “Aku cuma nggak mau bikin kamu nggak nyaman,” lanjutnya, suaranya terdengar lemah. “Aku pikir mungkin ini lebih baik untuk kita berdua.”Adrian terdiam sejenak.
“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Pertanyaan itu, dibalut senyum lebar dan tawa renyah, menusuk jauh di hati Gita. Wanita itu berdiri di tengah ballroom mewah, di bawah gemerlap lampu kristal, dengan gaun mengkilap dan tatapan penuh tuntutan, suara Sarah, tante Adrian mengiris malam seperti belati. "Mama Adrian pasti sudah nggak sabar, pengen punya cucu, kan?"Pesta ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian berlangsung megah, di ballroom hotel bintang lima. Tatapannya sesekali teralih ke lantai berkilau, seakan berusaha tenggelam dalam bayangannya sendiri agar bisa bersembunyi dari pertanyaan yang terus menghujani.Gita berdiri di samping Adrian, mencoba menyembunyikan perasaan yang makin tercekik. Ia tersenyum kaku, senyum yang sudah jadi topeng setiap kali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. “Kami masih berusaha, Tante.”Di sisinya, Adrian tetap diam, wajahnya tak terbaca. Sesekali ia mengangguk pada tamu lain, bicara soal proyek-proyek b
Setelah keributan di pesta keluarga Adrian, perjalanan pulang menjadi begitu sunyi. Dalam mobil yang melaju dalam gelap, hanya suara mesin yang terdengar, seolah ikut menjaga jarak di antara mereka. Adrian memfokuskan pandangannya ke jalan, sementara Gita memandangi jendela, mencoba menyatukan pikirannya yang terpecah.Akhirnya, Gita menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memecah keheningan. "Adrian, gimana kalau kita coba ke dokter? Setidaknya, kita bisa tahu ada yang salah atau nggak, atau mungkin...," ucapnya ragu, takut respons yang akan ia dapatkan.Sebelum Gita sempat melanjutkan, Adrian memotongnya dengan suara datar, “Gita, kita kan baru menikah setahun. Kenapa harus terburu-buru? Seperti yang aku bilang tadi, kita masih punya waktu.”Jawaban Adrian menghantamnya seperti angin dingin. Dada Gita terasa sesak. “Jadi menurut kamu, nggak perlu, ya? Semua yang dikatakan orang di pesta tadi menurutmu nggak penting?” Suaranya lirih, getir, penuh dengan kekecewaan yang ia tah
Setelah pulang dengan hati berat karena gagal bertemu Adrian di kantor, Gita akhirnya menepi di pos satpam kompleks. Pak Maman yang sedang berjaga menerima kotak sarapan yang sejak tadi digenggamnya dengan wajah penuh syukur.Namun, kehangatan kecil itu segera terhapus begitu Gita tiba di rumah. Di ruang tamu, ibunya, Rima, dan Mayang, sepupu Adrian, sudah menunggunya dengan tatapan dingin. Gita berusaha menahan perasaannya, tapi tatapan tajam Rima seakan menembus hatinya yang sudah rapuh.“Dari mana saja kamu?” Rima bertanya, suaranya sedingin es.Gita menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dari kantor Adrian, Ma. Saya tadi mengantarkan sarapan.”Mayang tertawa kecil, ada nada ejekan yang menyayat di balik suaranya. “Istri yang baik, ya. Tapi, Gita, dalam keluarga ini, peran seorang istri dianggap lengkap kalau sudah bisa memberi keturunan.”Kata-kata Mayang menusuk seperti pisau, membuat dada Gita terasa sesak. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan berakhir dengan tunt
Adrian dan Gita bersiap untuk pemeriksaan rutin ke dokter kandungan pagi itu. Adrian, dengan bantuan kursi roda elektriknya, tampak tenang meski di dalam hatinya ia ingin membuktikan bahwa ia masih bisa menjadi suami yang bertanggung jawab.Selama perjalanan menuju klinik, obrolan ringan menghiasi perjalanan mereka, tetapi sesekali sunyi menyelinap di antara kalimat. Gita akhirnya memutuskan untuk menyampaikan pikirannya yang selama ini tertahan. “Dri, aku ada kepikiran,” ucapnya dengan hati-hati. “Mungkin... mungkin aku harus ganti dokter kandungan.”Adrian menoleh, mengangkat alis. Ia tahu persis siapa yang Gita maksud. “Karena Naufal?” tanyanya tanpa basa-basi.Gita mengangguk pelan, tatapannya terfokus pada pemandangan di luar jendela. “Aku cuma nggak mau bikin kamu nggak nyaman,” lanjutnya, suaranya terdengar lemah. “Aku pikir mungkin ini lebih baik untuk kita berdua.”Adrian terdiam sejenak.
Adrian akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor setelah berbulan-bulan absen. Dengan bantuan kursi roda elektriknya, ia bersiap menghadapi realitas baru yang menantinya. Gita setia mendampingi, memastikan semuanya berjalan lancar. Saat tiba di kantor, suasana terasa berbeda. Karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tiba-tiba berhenti, memalingkan wajah untuk melihat ke arah Adrian.Berbagai reaksi terpancar dari tatapan mereka. Ada yang kagum melihat keberanian Adrian untuk kembali, meski dalam kondisi seperti itu, ada pula yang tampak canggung, tak tahu bagaimana harus merespons. Beberapa bahkan saling berbisik, menyebut nama Adrian dengan nada pelan namun penuh rasa hormat. Namun, tatapan-tatapan itu cukup membuat Adrian merasa tidak nyaman. Ia menegakkan punggungnya, berusaha menunjukkan wibawa yang sama seperti sebelum kecelakaan terjadi.Di depan ruang rapat, Hendri sudah berdiri dengan wajah serius, map besar di tangannya. “Pak Adrian, tim sudah be
Adrian mencoba menata kembali kehidupannya setelah insiden kecelakaan yang mengubah segalanya. Tubuhnya memang perlahan membaik, tetapi hatinya masih dihantui rasa kehilangan dan frustasi. Pria yang dulu dipenuhi ambisi kini terlihat rapuh, seolah-olah hidupnya kehilangan tujuan. Setiap harinya, ia lebih sering duduk termenung di ruang tamu, memandangi jendela dengan tatapan kosong.Di sisi lain, Gita tak pernah menyerah. Ia tahu, kebangkitan Adrian bukanlah perkara mudah. Setiap pagi, Gita mengatur jadwal dengan teliti—menyiapkan makanan yang bergizi, menemaninya berbicara meski Adrian hanya merespons dengan gumaman pendek, hingga memberikan pijatan lembut di punggung untuk mengurangi kekakuan tubuhnya.Sore itu, cahaya matahari yang lembut menerobos melalui tirai ruang tamu. Adrian duduk diam di kursi roda, pandangannya tertuju ke luar jendela, menyaksikan burung-burung yang terbang melintas. Tak ada tanda-tanda emosi di wajahnya, hanya kekosongan yang terus
Adrian duduk di kursi roda di ruang tengah rumahnya. Mata kosongnya menatap ke luar jendela, memandang hujan yang perlahan membasahi dedaunan. Gita mendekatinya dengan langkah tenang. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang ia letakkan di meja kecil di samping Adrian.Gita diam-diam berdiri di belakang kursi roda Adrian, lalu perlahan memijat pundaknya. “Kamu tegang,” ucap Gita lembut, memecah keheningan.Adrian tetap diam. Namun, ia tidak menolak sentuhan Gita, sesuatu yang mulai memberikan harapan kecil bagi Gita bahwa ia tidak benar-benar menyerah.Seiring waktu, usaha Gita mulai membawa perubahan. Saat Adrian terlalu lelah untuk berbicara, Gita akan duduk di lantai di dekat kakinya, hanya bersandar tanpa mengatakan apa-apa. Kadang ia menyuapkan makanan tanpa banyak bicara, dan Adrian akhirnya menerima meski dengan enggan.Namun, malam itu berbeda. Gita datang dari dapur, membawa handuk kecil untuk mengelap tangan Adrian. “Aku tahu kamu be
Adrian akhirnya diizinkan pulang oleh dokter setelah beberapa minggu perawatan intensif. Namun, dokter menegaskan bahwa ia harus mengikuti jadwal terapi fisik secara rutin untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Adrian mendengarkan dengan malas, hanya mengangguk sesekali tanpa benar-benar memerhatikan. Sebaliknya, Gita mencatat setiap detail yang disampaikan dokter dengan serius, memastikan tidak ada yang terlewat. Ia memegang tangan Adrian erat, berusaha memberikan dorongan semangat.“Aku tahu ini sulit, tapi kamu harus semangat. Harus sembuh,” ucap Gita lembut.Saat tiba di rumah lama mereka, Adrian duduk di kursi roda elektrik yang otomatis bergerak sesuai arah joysticknya. Ia langsung menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Gita hanya bisa menghela napas, lalu mengikutinya.“Adrian, kamu mau aku masakin apa?” tanya Gita, mencoba mencairkan suasana.Adrian menggeleng tanpa menatapnya. “Aku nggak pengen apa-apa. N
Gita duduk di samping Rima, menatap wajah lelah wanita itu dengan rasa simpati. Ia meraih tangan Rima yang dingin dan menggenggamnya erat. "Mama, jangan terlalu banyak pikiran. Mama harus jaga kesehatan dulu. Kalau Mama sakit gini, siapa yang akan mendukung Adrian?" katanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Rima menghela napas panjang, tatapannya jatuh ke arah tangan Gita. "Bagaimana Mama bisa tenang, Gita? Setiap kali melihat Adrian, hati Mama terasa hancur. Mama tahu semua ini salah Mama. Kalau saja Mama tidak terlalu keras, kalau saja Mama bisa bersikap lebih bijaksana..." Suaranya serak, nyaris tenggelam dalam rasa bersalah. "Mungkin semua ini tidak akan terjadi." Gita menggeleng perlahan, berusaha memberikan ketenangan. "Ma, yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Menyalahkan diri sendiri tidak akan membantu Adrian. Yang penting sekarang, kita ada di sini untuknya. Mama percaya kan, Adrian bisa bangkit lagi? Tapi dia hanya butuh waktu dan dukungan." Rima mengan
Gita dan Rima tiba di rumah sakit. Saat mereka memasuki ruangan Adrian, Rima tersenyum tipis, mencoba membawa semangat positif ke dalam ruangan. Ia mendekat ke tempat tidur Adrian dan berbicara dengan nada optimis.“Adrian, lihat siapa yang datang,” ujar Rima sambil sedikit menganggukkan kepala ke arah Gita, seolah ingin memberikan isyarat.Adrian yang sedang duduk bersandar di tempat tidur menoleh perlahan. Begitu melihat Gita, ekspresinya langsung berubah. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan kemarahan yang tak disembunyikan.“Kenapa Mama bawa dia ke sini?” tanyanya dengan nada tajam, hampir seperti bentakan. “Aku gak butuh dia! Aku gak butuh siapa pun!”Rima tertegun, tidak menyangka respons Adrian akan sekeras ini. “Adrian, dengar dulu—”Namun, Adrian memotong dengan suara lebih keras. “Enggak, Ma! Sebelumnya aku sudah bilang, aku gak mau dia di sini!”
Gita sedang menata makanan di meja makan sederhana setelah selesai memasak untuk dirinya sendiri. Suasana rumah kontrakan terasa sepi hingga suara ketukan di pintu memecah keheningan. Alis Gita berkerut. Dengan sedikit bingung, ia berjalan ke depan. Ketika pintu terbuka, napasnya tertahan.Di depan pintu, berdiri Rima dengan wajah lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya berkaca-kaca. Rima terlihat seperti membawa beban berat yang tak kasatmata.“Mama?” sapa Gita, suaranya tegang. Ia merasakan jantungnya berdebar cepat, pikirannya seolah mundur ke semua kenangan pahit dari perlakuan dingin dan tajam Rima selama ini. “Ada apa Mama ke sini?” tanyanya dengan hati-hati, ada nada waspada yang tidak bisa ia sembunyikan.Rima menatapnya. Mata itu berbicara lebih banyak daripada bibirnya, penuh penyesalan dan kelelahan. Ia menghela napas panjang, suara yang akhirnya keluar lirih, hampir seperti patah. “Gita… Mama mohon, kamu
Rima membuka pintu kamar rawat Adrian perlahan, suara langkahnya nyaris tak terdengar di lantai keramik yang dingin. Di dalam, putranya duduk diam di atas tempat tidur, punggungnya sedikit membungkuk seperti menahan beban yang tak terlihat. Nampan makanan di atas meja kecil di sampingnya masih utuh, tidak disentuh sejak tadi pagi.Rima menatap dengan perasaan campur aduk—antara sedih, cemas, dan marah pada dirinya sendiri. Ia mendekat, duduk di kursi di samping ranjang, lalu berkata pelan, “Adrian, kenapa kamu nggak makan? Tubuhmu butuh kekuatan untuk pulih.”Adrian tetap diam, matanya menatap lurus keluar jendela. Cahaya matahari siang menyinari wajahnya yang pucat, tetapi tidak memberi kehangatan. Setelah beberapa saat, ia menjawab datar, tanpa emosi, “Buat apa, Ma? Aku nggak punya alasan buat sembuh.”Jawaban itu menghantam hati Rima seperti tamparan. Ia menelan ludah, mencoba mengusir rasa pedih di dadanya. “Jangan bilang begitu