Suatu malam, Gita dikejutkan oleh ketukan di pintu kontrakannya. Ia membuka pintu sedikit dan mendapati sosok Naufal berdiri di sana, tampak cemas. Merasa khawatir tetangga akan melihat dan menciptakan gosip baru, Gita buru-buru menarik Naufal masuk dan menutup pintu dengan hati-hati.“Kenapa kamu datang malam-malam begini?” tanya Gita. Naufal menghela napas dan berkata, “Nomor kamu nggak aktif beberapa hari ini. Aku… khawatir. Jadi aku putuskan untuk datang langsung dan memastikan kamu baik-baik saja.”Gita tersenyum kecil, berusaha menenangkan. “Aku cuma butuh waktu dan ketenangan buat diriku sendiri, Naufal. Jadi aku matikan ponsel sementara.”Naufal mengangguk, tapi tatapannya tetap penuh perhatian, memperhatikan raut wajah Gita yang terlihat lelah dan penuh beban. “Apa… ini soal Adrian lagi?” tanyanya perlahan, mencoba menggali tanpa memaksa.Gita terdiam sejenak, kemudian mengangguk lemah. “Aku nggak kerja lagi,” katanya, nadanya datar namun ada kesedihan di baliknya.Naufal me
Gita baru saja selesai berbelanja di pasar, kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan yang sedikit membuatnya kewalahan. Ia berjalan perlahan, sesekali berhenti untuk memperbaiki posisi kantong di tangannya agar lebih nyaman dibawa.Namun, tiba-tiba, sebagian belanjaannya terasa lebih ringan. Gita menoleh, kaget, dan mendapati Naufal berdiri di belakangnya dengan senyum lebar sambil memegang sebagian kantong belanjaannya.“Naufal!” seru Gita, merasa lega. “Kok kamu ada di sini?”Naufal mengangkat bahu sambil tersenyum. “Kebetulan lewat. Nggak nyangka ketemu kamu di sini,” ujarnya santai.Gita tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil melanjutkan langkah mereka bersama. “Makasih banyak, ya. Kalau tahu ada kamu, aku pasti bawa lebih banyak,” ujarnya bercanda, membuat Naufal tertawa.Mereka berbincang ringan sepanjang jalan, dan Naufal sesekali memperhatikan kantong belanjaan Gita yang berisi bahan-bahan untuk berjualan. “Jadi, kamu benar-benar akan mulai jualan di rumah?” tanyanya
Di sebuah sudut gelap dekat kontrakan Gita, seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi menutupi sebagian wajahnya berdiri diam. Pandangannya terfokus pada kontrakan sederhana itu, memperhatikan setiap pergerakan di sekitar dengan teliti. Sesekali, ia mengawasi interaksi antara Gita dan Naufal yang tampak akrab.Setelah beberapa saat, pria itu merogoh ponselnya, menekan nomor Adrian, dan menunggu sambungan terhubung. Di seberang sana, Adrian menjawab telepon dengan suara rendah, tampak santai di balik meja kerjanya sambil menikmati minuman di tangannya.“Pak Adrian,” suara pria itu terdengar tenang, “saya hanya ingin melaporkan bahwa barusan ada seorang pria datang mengantar Bu Gita pulang dan masuk ke kontrakannya. Mereka terlihat cukup dekat.”Adrian terdiam mendengar laporan tersebut, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan berbagai emosi—cemburu, kesal, dan khawatir. Perasaan itu membuncah seketika, mendominasi pikirannya. Ia meremas gelas minumnya sedikit lebih kuat, cemburu meliha
Adrian keluar dari mobilnya dan segera memberi instruksi kepada Joko, “Pulang saja, Jok. Saya nggak tahu sampai kapan di sini, nggak perlu nunggu.”Joko mengangguk tanpa banyak bertanya, memahami bahwa Adrian ingin menangani urusannya sendiri. Dengan cepat, Joko menjalankan mobilnya, meninggalkan Adrian yang berdiri sendirian di depan kontrakan Gita.Adrian berjalan dengan langkah mantap menuju pintu kontrakan. Sesampainya di depan, ia mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Gita dengan ekspresi terkejut. “Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” tanyanya heran, suaranya nyaris berbisik, seolah tak ingin didengar tetangga.Adrian menatap Gita dengan tatapan datar namun penuh ketegasan. “Apa salahnya seorang suami tahu di mana istrinya tinggal?”Gita menahan diri, memandang Adrian dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya terdiam, suasana di antara mereka berubah tegang, masing-masing menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu.Setelah beberapa saat, A
Adrian terbangun di atas ranjang kecil di kontrakan Gita, tubuhnya terasa pegal, tapi kehangatan di sisinya membuat semua itu seolah tak berarti. Ia menatap wajah Gita yang tertidur lelap dalam pelukannya, wajah yang terlihat damai, kontras dengan ketegangan yang mereka alami sebelumnya. Semua kata-kata tajam, semua luapan emosi malam itu terasa tak lagi memiliki makna. Kini yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat, seakan masing-masing telah melepaskan beban yang selama ini mereka pikul sendirian.Adrian perlahan mengecup puncak kepala Gita, berharap tak membangunkannya, tapi gerakan kecil itu membuat Gita perlahan membuka mata. Ia menatap Adrian dengan tatapan yang jujur, tanpa dinding yang biasanya ia bangun di antara mereka.“Pagi…” bisik Adrian, suara yang lembut dan penuh kehangatan.Gita tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan, “Pagi,” ucap Gita dengan suara lirih. Keduanya terdiam, tenggelam dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Gita yang dulu merasa jenuh dan lel
Setelah sarapan sederhana mereka selesai, Gita menatap Adrian sambil mengusap sisa remah di sudut meja. "Kamu nggak berangkat ke kantor?" tanyanya penasaran.Adrian tersenyum sambil memiringkan kepala, menjawab dengan nada bercanda, “Kamu ngusir aku?”Gita tertawa kecil, menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan gitu. Cuma... nggak biasanya kamu begitu santai.”Adrian mengangkat bahu, duduk kembali dan menatap Gita. “Mungkin, aku baru sadar kalau banyak yang selama ini terlewat,” ucapnya sambil tersenyum lembut.Keduanya terdiam sejenak, tenggelam dalam suasana nyaman yang jarang mereka rasakan belakangan ini. Adrian akhirnya berdiri, melangkah ke arah Gita yang masih duduk, lalu memeluknya dari belakang dengan lembut, menyandarkan dagunya di pundak Gita.“Kamu tahu?” bisiknya, suaranya terdengar hangat namun sarat dengan penyesalan. “Banyak yang aku pelajari sejak kamu pergi. Aku baru sadar betapa banyak waktu yang aku habiskan untuk hal-hal yang ternyata nggak sebandi
Setelah pulang untuk bersiap sebelum ke kantor, Adrian melintas ruang makan. Di sana, Rima sudah duduk, menikmati sarapannya. Adrian hendak langsung menuju kamarnya, tetapi suara Rima memanggilnya.“Duduklah sebentar, Adrian. Mama mau bicara,” ujar Rima. Adrian duduk di depan ibunya, memulai sarapan dengan perasaan yang sudah menduga-duga arah pembicaraan ini. Rima menatapnya, lalu bertanya dengan nada penuh curiga, “Kemana saja semalam? Kamu tidak pulang.”Adrian menjawab dengan nada datar namun tegas, “Aku menginap di tempat Gita, Ma.”Rima terdiam, meski ekspresi ketidaksukaannya terlihat jelas. Adrian meneruskan, seolah ingin menegaskan posisinya, “Gita sedang hamil. Aku tidak ingin bercerai, Ma.”Rima berusaha menahan marahnya, tetapi emosinya perlahan terungkap, “Hamil? Anak siapa? Bagaimana kamu yakin itu anakmu, Adrian?” Adrian berhenti sejenak, menatap ibunya dengan tegas. “Ma, tolong jangan buat tuduhan seperti itu,” katanya, tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Namu
Rima duduk di ruang tamunya dengan perasaan resah yang belum juga mereda. Merasa tidak ada yang bisa memahami kekesalannya terhadap situasi yang terjadi dengan Adrian dan Gita, Rima akhirnya mengambil ponselnya dan menekan nomor Luna. Dalam hitungan detik, telepon tersambung.“Luna, apa kamu sibuk?” tanya Rima dengan nada yang tampak menahan emosi.“Tidak, Tante. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Luna dengan perhatian.Rima langsung menghela napas panjang. “Adrian… dia benar-benar keras kepala. Dia tetap ingin mempertahankan Gita, meskipun tante sudah katakan berkali-kali kalau wanita itu hanya membawa masalah.”Luna mendengarkan dengan seksama. “Sabar, Tante. Adrian mungkin terlalu terbawa perasaan. Apalagi dengan keadaan Gita yang sekarang… tante bilang kan Gita hamil, kehamilan itu sepertinya membuatnya merasa harus bertanggung jawab.”Nada suara Rima semakin getir. “Dari awal, tante tak pernah yakin anak itu benar-benar darah daging Adrian.”Luna mendesah pelan, seolah ikut prihati
Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya
Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber
Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga
Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.
Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,
Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa
Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad
Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg
Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje