Share

Bab 37. Bicara dari Hati ke Hati

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 11:53:11

Adrian keluar dari mobilnya dan segera memberi instruksi kepada Joko, “Pulang saja, Jok. Saya nggak tahu sampai kapan di sini, nggak perlu nunggu.”

Joko mengangguk tanpa banyak bertanya, memahami bahwa Adrian ingin menangani urusannya sendiri. Dengan cepat, Joko menjalankan mobilnya, meninggalkan Adrian yang berdiri sendirian di depan kontrakan Gita.

Adrian berjalan dengan langkah mantap menuju pintu kontrakan. Sesampainya di depan, ia mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Gita dengan ekspresi terkejut.

“Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” tanyanya heran, suaranya nyaris berbisik, seolah tak ingin didengar tetangga.

Adrian menatap Gita dengan tatapan datar namun penuh ketegasan. “Apa salahnya seorang suami tahu di mana istrinya tinggal?”

Gita menahan diri, memandang Adrian dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya terdiam, suasana di antara mereka berubah tegang, masing-masing menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu.

Setelah beberapa saat, A
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 38. Telur Dadar Spesial

    Adrian terbangun di atas ranjang kecil di kontrakan Gita, tubuhnya terasa pegal, tapi kehangatan di sisinya membuat semua itu seolah tak berarti. Ia menatap wajah Gita yang tertidur lelap dalam pelukannya, wajah yang terlihat damai, kontras dengan ketegangan yang mereka alami sebelumnya. Semua kata-kata tajam, semua luapan emosi malam itu terasa tak lagi memiliki makna. Kini yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat, seakan masing-masing telah melepaskan beban yang selama ini mereka pikul sendirian.Adrian perlahan mengecup puncak kepala Gita, berharap tak membangunkannya, tapi gerakan kecil itu membuat Gita perlahan membuka mata. Ia menatap Adrian dengan tatapan yang jujur, tanpa dinding yang biasanya ia bangun di antara mereka.“Pagi…” bisik Adrian, suara yang lembut dan penuh kehangatan.Gita tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan, “Pagi,” ucap Gita dengan suara lirih. Keduanya terdiam, tenggelam dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Gita yang dulu merasa jenuh dan lel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 39. Kesempatan Kedua

    Setelah sarapan sederhana mereka selesai, Gita menatap Adrian sambil mengusap sisa remah di sudut meja. "Kamu nggak berangkat ke kantor?" tanyanya penasaran.Adrian tersenyum sambil memiringkan kepala, menjawab dengan nada bercanda, “Kamu ngusir aku?”Gita tertawa kecil, menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan gitu. Cuma... nggak biasanya kamu begitu santai.”Adrian mengangkat bahu, duduk kembali dan menatap Gita. “Mungkin, aku baru sadar kalau banyak yang selama ini terlewat,” ucapnya sambil tersenyum lembut.Keduanya terdiam sejenak, tenggelam dalam suasana nyaman yang jarang mereka rasakan belakangan ini. Adrian akhirnya berdiri, melangkah ke arah Gita yang masih duduk, lalu memeluknya dari belakang dengan lembut, menyandarkan dagunya di pundak Gita.“Kamu tahu?” bisiknya, suaranya terdengar hangat namun sarat dengan penyesalan. “Banyak yang aku pelajari sejak kamu pergi. Aku baru sadar betapa banyak waktu yang aku habiskan untuk hal-hal yang ternyata nggak sebandi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 40. Keputusan Adrian

    Setelah pulang untuk bersiap sebelum ke kantor, Adrian melintas ruang makan. Di sana, Rima sudah duduk, menikmati sarapannya. Adrian hendak langsung menuju kamarnya, tetapi suara Rima memanggilnya.“Duduklah sebentar, Adrian. Mama mau bicara,” ujar Rima. Adrian duduk di depan ibunya, memulai sarapan dengan perasaan yang sudah menduga-duga arah pembicaraan ini. Rima menatapnya, lalu bertanya dengan nada penuh curiga, “Kemana saja semalam? Kamu tidak pulang.”Adrian menjawab dengan nada datar namun tegas, “Aku menginap di tempat Gita, Ma.”Rima terdiam, meski ekspresi ketidaksukaannya terlihat jelas. Adrian meneruskan, seolah ingin menegaskan posisinya, “Gita sedang hamil. Aku tidak ingin bercerai, Ma.”Rima berusaha menahan marahnya, tetapi emosinya perlahan terungkap, “Hamil? Anak siapa? Bagaimana kamu yakin itu anakmu, Adrian?” Adrian berhenti sejenak, menatap ibunya dengan tegas. “Ma, tolong jangan buat tuduhan seperti itu,” katanya, tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Namu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 41. Rencana Rima

    Rima duduk di ruang tamunya dengan perasaan resah yang belum juga mereda. Merasa tidak ada yang bisa memahami kekesalannya terhadap situasi yang terjadi dengan Adrian dan Gita, Rima akhirnya mengambil ponselnya dan menekan nomor Luna. Dalam hitungan detik, telepon tersambung.“Luna, apa kamu sibuk?” tanya Rima dengan nada yang tampak menahan emosi.“Tidak, Tante. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Luna dengan perhatian.Rima langsung menghela napas panjang. “Adrian… dia benar-benar keras kepala. Dia tetap ingin mempertahankan Gita, meskipun tante sudah katakan berkali-kali kalau wanita itu hanya membawa masalah.”Luna mendengarkan dengan seksama. “Sabar, Tante. Adrian mungkin terlalu terbawa perasaan. Apalagi dengan keadaan Gita yang sekarang… tante bilang kan Gita hamil, kehamilan itu sepertinya membuatnya merasa harus bertanggung jawab.”Nada suara Rima semakin getir. “Dari awal, tante tak pernah yakin anak itu benar-benar darah daging Adrian.”Luna mendesah pelan, seolah ikut prihati

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 42. Tindakan Nyata

    Mobil Luna berhenti tepat di depan gerbang rumah Adrian. Joko yang sudah mengenal Luna dengan baik, segera membukakan pintu gerbang dan menyambutnya dengan sopan.“Selamat sore, Mbak Luna,” sapa Joko sambil tersenyum ramah.“Selamat sore, Mas Joko,” balas Luna dengan senyum elegan, sambil melangkah keluar dari mobil. Di tangannya ia membawa kantong kertas berisi oleh-oleh untuk Rima.Di dalam rumah, Rima yang mendengar suara mobil segera berdiri, melangkah cepat ke depan pintu. Begitu melihat Luna, senyumnya mengembang, menyiratkan rasa senang yang tidak ia sembunyikan.“Luna! Kamu bawa apa itu?” tanya Rima dengan suara ramah dan penuh antusias.“Oh, ini cuma oleh-oleh kecil, Tante,” jawab Luna sambil menyerahkan kantong itu. “Tadi pulang kerja, saya sempat mampir beli kue-kue yang Tante suka.”Rima menerima kantong itu dengan senang hati. “Kamu ini selalu perhatian,” pujinya dengan lembut. “Ayo, ayo masuk. Kita duduk di ruang tengah saja.”Rima menggandeng Luna ke dalam, memandu lang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 43. Bertahan di Tengah Hinaan

    Sore itu, Gita duduk di depan meja kecil yang sudah dipenuhi kue-kue dan camilan yang tertata rapi di depan rumah kontrakannya. Bolu kukus berwarna cerah, roti goreng, dan camilan anak-anak dalam kantong plastik kecil tersusun dengan apik. Gita menatap hasil jualannya dengan perasaan lega, senyumnya merekah ketika beberapa anak kecil di sekitar kontrakan mulai mendekat, tertarik melihat makanan yang menggiurkan di atas meja.Melihat mata anak-anak yang berbinar, Gita tersenyum lebar dan menyapa mereka dengan ramah, “Mau yang bolu kukus warna pink, atau roti gorengnya?” Salah satu anak menunjuk bolu kukus sambil tersenyum malu-malu, “Yang warna pink, Kak!” Gita tertawa kecil dan mengulurkan bolu itu, “Bolu pink ya! Boleh.”Anak-anak lain juga berseru, “Aku juga mau bolu yang itu, Kak!!”Gita memberikan bolu. “Boleh, sabar ya, dibungkus dulu.”Anak-anak itu terkikik senang, menyerahkan uang yang mereka kumpulkan, sambil mengobrol kecil satu sama lain. Gita melayani mereka dengan senyu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 44. Tak Ingin Kehilangan

    Rima merogoh tas tangannya, mengambil segepok uang dan melemparkannya ke arah Gita dengan gerakan tajam. “Kalau kamu hanya mengharapkan uang, ambil ini!” katanya dengan nada dingin. Uang itu berhamburan, beberapa lembar jatuh tepat di depan Gita, dan satu dua lembar menimpa wajahnya, seolah menambah kehinaan yang sudah terasa menyesakkan.Para ibu-ibu di sekitar, yang sejak awal memandang Gita dengan curiga, kini semakin terpicu. Melihat uang bertebaran di tanah, mereka seolah tersulut emosi, menambahkan caci maki mereka dengan semangat. Salah seorang di antara mereka mengejek, “Lihat tuh! Seperti itu saja sudah puas, kan? Sudah jelas dia hanya mau uang!”“Perempuan tak tahu malu!” seru yang lain dengan geram. “Sudah ada main dengan pria lain, masih tidak mau pisah sama suaminya.”“Alasan hamil biar suami gak tega ninggalin dia, memalukan!”Komentar-komentar itu hanya semakin memperkeruh suasana, membuat beberapa ibu-ibu dengan kasar mengacak-acak dagangan kecil Gita. Mereka merobek k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 45. Bayinya Selamat

    Di ruang gawat darurat, suasana tampak sibuk namun terkendali. Naufal, dengan sigap memimpin timnya menangani kondisi Gita yang tengah mengalami pendarahan. Di tengah proses itu, Gita, yang berbaring lemah dengan wajah cemas, memandang Naufal. “Fal, aku gak keguguran, kan? Bayiku selamat, kan?” tanya Gita dengan suara yang hampir berbisik, penuh rasa takut.Naufal menatapnya penuh perhatian, lalu menggenggam tangan Gita untuk memberinya ketenangan. “Bayimu masih bertahan, Gita. Kamu juga harus kuat, ya?” jawabnya menenangkan. Seorang perawat mengatur alat monitor dan mesin detak jantung bayi di samping tempat tidur Gita. Suara detak jantung yang kecil namun stabil terdengar, membuat Gita menarik napas lega. Naufal tetap memegang tangan Gita, memberi tanda bahwa kondisinya masih stabil. "Dengar itu?" katanya pelan, sembari menepuk tangan Gita. “Dia kuat, Gita. Jadi kamu juga harus kuat.”Setelah memasang infus dan memberikan obat yang diperlukan, Naufal terus memantau keadaan Gita da

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 90. Cara Melindungi

    Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 89. Konflik yang Memuncak

    Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 88. Mengatasi Masalah

    Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 87. Dampak Masalah Gosip

    Di ruang kerja rumahnya, Adrian duduk dengan wajah tegang, berhadapan dengan Hendri yang berdiri sambil memegang map dokumen. Hendri menarik napas panjang sebelum berbicara.“Pak Adrian, maaf kalau ini terdengar terlalu blak-blakan, tapi gosip yang beredar mulai berdampak serius pada perusahaan. Tiga klien utama kita mengajukan pertanyaan terkait berita itu. Mereka bilang, mereka butuh kepastian untuk tetap melanjutkan kerjasama,” ucap Hendri hati-hati, memperhatikan ekspresi Adrian.Adrian memejamkan matanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa detail yang mereka tanyakan?” suaranya terdengar berat, tapi tenang.“Mayoritas tentang isu hubungan pribadi itu, Pak. Mereka khawatir kredibilitas perusahaan kita terkena dampak, terutama di media sosial. Sudah ada dua unggahan anonim yang viral, menyebutkan bahwa perusahaan ini tidak lagi stabil,” jawab Hendri.Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kema

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 86. Guncangan dalam Hubungan

    Adrian duduk di kursi rodanya, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Tautan artikel itu masih terbuka, seolah menjadi duri yang menusuk hatinya. Judul provokatif itu terus bergema di pikirannya: “Dokter Kandungan atau Sahabat Lama? Rumor Kedekatan Istri Adrian dan Naufal Membuat Publik Bertanya-tanya.”Pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hendri telah memperingatkannya agar tetap tenang, tetapi perasaan cemburu dan terluka perlahan merayap masuk, mengguncang kendali yang coba ia pertahankan.Gita muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya penuh perhatian, senyumnya mencoba mencairkan suasana. “Teh buat kamu,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di samping Adrian. Namun, ia langsung menangkap kegelisahan di wajah suaminya.“Kamu terlihat tegang. Ada apa?” tanyanya lembut, matanya menatap Adrian penuh rasa cemas.Adrian menggeleng perlahan, berusaha menyembunyika

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status