Gita baru saja selesai berbelanja di pasar, kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan yang sedikit membuatnya kewalahan. Ia berjalan perlahan, sesekali berhenti untuk memperbaiki posisi kantong di tangannya agar lebih nyaman dibawa.Namun, tiba-tiba, sebagian belanjaannya terasa lebih ringan. Gita menoleh, kaget, dan mendapati Naufal berdiri di belakangnya dengan senyum lebar sambil memegang sebagian kantong belanjaannya.“Naufal!” seru Gita, merasa lega. “Kok kamu ada di sini?”Naufal mengangkat bahu sambil tersenyum. “Kebetulan lewat. Nggak nyangka ketemu kamu di sini,” ujarnya santai.Gita tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil melanjutkan langkah mereka bersama. “Makasih banyak, ya. Kalau tahu ada kamu, aku pasti bawa lebih banyak,” ujarnya bercanda, membuat Naufal tertawa.Mereka berbincang ringan sepanjang jalan, dan Naufal sesekali memperhatikan kantong belanjaan Gita yang berisi bahan-bahan untuk berjualan. “Jadi, kamu benar-benar akan mulai jualan di rumah?” tanyanya
Di sebuah sudut gelap dekat kontrakan Gita, seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi menutupi sebagian wajahnya berdiri diam. Pandangannya terfokus pada kontrakan sederhana itu, memperhatikan setiap pergerakan di sekitar dengan teliti. Sesekali, ia mengawasi interaksi antara Gita dan Naufal yang tampak akrab.Setelah beberapa saat, pria itu merogoh ponselnya, menekan nomor Adrian, dan menunggu sambungan terhubung. Di seberang sana, Adrian menjawab telepon dengan suara rendah, tampak santai di balik meja kerjanya sambil menikmati minuman di tangannya.“Pak Adrian,” suara pria itu terdengar tenang, “saya hanya ingin melaporkan bahwa barusan ada seorang pria datang mengantar Bu Gita pulang dan masuk ke kontrakannya. Mereka terlihat cukup dekat.”Adrian terdiam mendengar laporan tersebut, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan berbagai emosi—cemburu, kesal, dan khawatir. Perasaan itu membuncah seketika, mendominasi pikirannya. Ia meremas gelas minumnya sedikit lebih kuat, cemburu meliha
Adrian keluar dari mobilnya dan segera memberi instruksi kepada Joko, “Pulang saja, Jok. Saya nggak tahu sampai kapan di sini, nggak perlu nunggu.”Joko mengangguk tanpa banyak bertanya, memahami bahwa Adrian ingin menangani urusannya sendiri. Dengan cepat, Joko menjalankan mobilnya, meninggalkan Adrian yang berdiri sendirian di depan kontrakan Gita.Adrian berjalan dengan langkah mantap menuju pintu kontrakan. Sesampainya di depan, ia mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Gita dengan ekspresi terkejut. “Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” tanyanya heran, suaranya nyaris berbisik, seolah tak ingin didengar tetangga.Adrian menatap Gita dengan tatapan datar namun penuh ketegasan. “Apa salahnya seorang suami tahu di mana istrinya tinggal?”Gita menahan diri, memandang Adrian dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya terdiam, suasana di antara mereka berubah tegang, masing-masing menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu.Setelah beberapa saat, A
Adrian terbangun di atas ranjang kecil di kontrakan Gita, tubuhnya terasa pegal, tapi kehangatan di sisinya membuat semua itu seolah tak berarti. Ia menatap wajah Gita yang tertidur lelap dalam pelukannya, wajah yang terlihat damai, kontras dengan ketegangan yang mereka alami sebelumnya. Semua kata-kata tajam, semua luapan emosi malam itu terasa tak lagi memiliki makna. Kini yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat, seakan masing-masing telah melepaskan beban yang selama ini mereka pikul sendirian.Adrian perlahan mengecup puncak kepala Gita, berharap tak membangunkannya, tapi gerakan kecil itu membuat Gita perlahan membuka mata. Ia menatap Adrian dengan tatapan yang jujur, tanpa dinding yang biasanya ia bangun di antara mereka.“Pagi…” bisik Adrian, suara yang lembut dan penuh kehangatan.Gita tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan, “Pagi,” ucap Gita dengan suara lirih. Keduanya terdiam, tenggelam dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Gita yang dulu merasa jenuh dan lel
Setelah sarapan sederhana mereka selesai, Gita menatap Adrian sambil mengusap sisa remah di sudut meja. "Kamu nggak berangkat ke kantor?" tanyanya penasaran.Adrian tersenyum sambil memiringkan kepala, menjawab dengan nada bercanda, “Kamu ngusir aku?”Gita tertawa kecil, menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan gitu. Cuma... nggak biasanya kamu begitu santai.”Adrian mengangkat bahu, duduk kembali dan menatap Gita. “Mungkin, aku baru sadar kalau banyak yang selama ini terlewat,” ucapnya sambil tersenyum lembut.Keduanya terdiam sejenak, tenggelam dalam suasana nyaman yang jarang mereka rasakan belakangan ini. Adrian akhirnya berdiri, melangkah ke arah Gita yang masih duduk, lalu memeluknya dari belakang dengan lembut, menyandarkan dagunya di pundak Gita.“Kamu tahu?” bisiknya, suaranya terdengar hangat namun sarat dengan penyesalan. “Banyak yang aku pelajari sejak kamu pergi. Aku baru sadar betapa banyak waktu yang aku habiskan untuk hal-hal yang ternyata nggak sebandi
Setelah pulang untuk bersiap sebelum ke kantor, Adrian melintas ruang makan. Di sana, Rima sudah duduk, menikmati sarapannya. Adrian hendak langsung menuju kamarnya, tetapi suara Rima memanggilnya.“Duduklah sebentar, Adrian. Mama mau bicara,” ujar Rima. Adrian duduk di depan ibunya, memulai sarapan dengan perasaan yang sudah menduga-duga arah pembicaraan ini. Rima menatapnya, lalu bertanya dengan nada penuh curiga, “Kemana saja semalam? Kamu tidak pulang.”Adrian menjawab dengan nada datar namun tegas, “Aku menginap di tempat Gita, Ma.”Rima terdiam, meski ekspresi ketidaksukaannya terlihat jelas. Adrian meneruskan, seolah ingin menegaskan posisinya, “Gita sedang hamil. Aku tidak ingin bercerai, Ma.”Rima berusaha menahan marahnya, tetapi emosinya perlahan terungkap, “Hamil? Anak siapa? Bagaimana kamu yakin itu anakmu, Adrian?” Adrian berhenti sejenak, menatap ibunya dengan tegas. “Ma, tolong jangan buat tuduhan seperti itu,” katanya, tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Namu
Rima duduk di ruang tamunya dengan perasaan resah yang belum juga mereda. Merasa tidak ada yang bisa memahami kekesalannya terhadap situasi yang terjadi dengan Adrian dan Gita, Rima akhirnya mengambil ponselnya dan menekan nomor Luna. Dalam hitungan detik, telepon tersambung.“Luna, apa kamu sibuk?” tanya Rima dengan nada yang tampak menahan emosi.“Tidak, Tante. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Luna dengan perhatian.Rima langsung menghela napas panjang. “Adrian… dia benar-benar keras kepala. Dia tetap ingin mempertahankan Gita, meskipun tante sudah katakan berkali-kali kalau wanita itu hanya membawa masalah.”Luna mendengarkan dengan seksama. “Sabar, Tante. Adrian mungkin terlalu terbawa perasaan. Apalagi dengan keadaan Gita yang sekarang… tante bilang kan Gita hamil, kehamilan itu sepertinya membuatnya merasa harus bertanggung jawab.”Nada suara Rima semakin getir. “Dari awal, tante tak pernah yakin anak itu benar-benar darah daging Adrian.”Luna mendesah pelan, seolah ikut prihati
Mobil Luna berhenti tepat di depan gerbang rumah Adrian. Joko yang sudah mengenal Luna dengan baik, segera membukakan pintu gerbang dan menyambutnya dengan sopan.“Selamat sore, Mbak Luna,” sapa Joko sambil tersenyum ramah.“Selamat sore, Mas Joko,” balas Luna dengan senyum elegan, sambil melangkah keluar dari mobil. Di tangannya ia membawa kantong kertas berisi oleh-oleh untuk Rima.Di dalam rumah, Rima yang mendengar suara mobil segera berdiri, melangkah cepat ke depan pintu. Begitu melihat Luna, senyumnya mengembang, menyiratkan rasa senang yang tidak ia sembunyikan.“Luna! Kamu bawa apa itu?” tanya Rima dengan suara ramah dan penuh antusias.“Oh, ini cuma oleh-oleh kecil, Tante,” jawab Luna sambil menyerahkan kantong itu. “Tadi pulang kerja, saya sempat mampir beli kue-kue yang Tante suka.”Rima menerima kantong itu dengan senang hati. “Kamu ini selalu perhatian,” pujinya dengan lembut. “Ayo, ayo masuk. Kita duduk di ruang tengah saja.”Rima menggandeng Luna ke dalam, memandu lang
Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per
Di ruang kerja rumahnya, Adrian duduk dengan wajah tegang, berhadapan dengan Hendri yang berdiri sambil memegang map dokumen. Hendri menarik napas panjang sebelum berbicara.“Pak Adrian, maaf kalau ini terdengar terlalu blak-blakan, tapi gosip yang beredar mulai berdampak serius pada perusahaan. Tiga klien utama kita mengajukan pertanyaan terkait berita itu. Mereka bilang, mereka butuh kepastian untuk tetap melanjutkan kerjasama,” ucap Hendri hati-hati, memperhatikan ekspresi Adrian.Adrian memejamkan matanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa detail yang mereka tanyakan?” suaranya terdengar berat, tapi tenang.“Mayoritas tentang isu hubungan pribadi itu, Pak. Mereka khawatir kredibilitas perusahaan kita terkena dampak, terutama di media sosial. Sudah ada dua unggahan anonim yang viral, menyebutkan bahwa perusahaan ini tidak lagi stabil,” jawab Hendri.Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kema
Adrian duduk di kursi rodanya, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Tautan artikel itu masih terbuka, seolah menjadi duri yang menusuk hatinya. Judul provokatif itu terus bergema di pikirannya: “Dokter Kandungan atau Sahabat Lama? Rumor Kedekatan Istri Adrian dan Naufal Membuat Publik Bertanya-tanya.”Pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hendri telah memperingatkannya agar tetap tenang, tetapi perasaan cemburu dan terluka perlahan merayap masuk, mengguncang kendali yang coba ia pertahankan.Gita muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya penuh perhatian, senyumnya mencoba mencairkan suasana. “Teh buat kamu,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di samping Adrian. Namun, ia langsung menangkap kegelisahan di wajah suaminya.“Kamu terlihat tegang. Ada apa?” tanyanya lembut, matanya menatap Adrian penuh rasa cemas.Adrian menggeleng perlahan, berusaha menyembunyika