Ini tentang ingatan Lara yang hari itu masih dibelenggu oleh banyak duka dan lara. Kembali pada hari di mana dia harus merayakan ulang tahun anaknya yang pertama, yang ke satu. Untuk Neo dan Shenina yang menunggunya pulang ke rumah pada sore hari.....Lara baru saja keluar dari apotek milik keluarga Karel saat jam menunjukkan pada pukul tiga sore lewat beberapa menit yang dingin.Dia menatap langit dari ujung barat yang tampak mengelung mendung kelam. Akan ada hujan dalam waktu kurang dari setengah jam. Jika dugaannya benar, wilayah ini hingga nanti sampai dia tiba di rumah akan diguyur oleh hujan.Tapi Lara tidak ingin itu terjadi. Lara ingin Tuhan menunda hujan agar tak turun sekarang sebab ada yang ingin dia lakukan.“Lara.”Panggilan sebuah suara laki-laki membuat Lara yang berjalan di atas jalur pedestrian berhenti.Dia menoleh ke belakang dan menjumpai Karel yang berlari kecil setelah keluar dari mobilnya yang dia parkir di dekat apotek.“Dokter Karel. Mampir ke sini?”“Iya. Ka
Kemudian dengan bergegas, Lara membawa kuenya pergi dari Dessert Bar milik Adam. Setelah membayar degan uang yang dia miliki, dia berlari dengan hati yang buncah oleh berbagai macam perasaan. Senang, dan terharu.Benar-benar masih ada orang yang baik di dunia ini.Meski gerimis tak begitu baik karena jatuh dan mengejek kepulangan Lara, Lara sampai di rumah pada akhirnya.Dia menutup pintu dengan sedikit kasar. Dia tidak ingin melihat hujan.Dia benci dengan hujan.Napasnya memburu saat dia menghadap pada pintu yang tertutup di rumah kontrakan yang tak jauh dari apotek.Dia menata napasnya, menata hatinya, tersenyum. Dia harus tersenyum di depan Neo dan Shenina yang menunggunya pulang.Melewati ruang tamu kecil setelah memutar tubuhnya, Lara—saat itu—berpikir jika ada baiknya mungkin dia memiliki rumah sendiri yang akan dia cicil dalam sistem KPR?Nanti, akan dia rencanakan ulang. Tapi sekarang saatnya dia harus menemui buah hatinya yang paling dia sayang.Lara sudah mendengar celote
Remuk, hanya kata itu yang mungkin bisa menggambarkan seperti apa perasaan Alex dengan hanya mendengar cerita Lara.Dia berlutut dan tertunduk semakin dalam di depan Lara. Kedua tangannya terkepal, meremas jemarinya sendiri, di atas lututnya yang terasa kebas dan kesemutan.Matanya perih. Kenyataan menamparnya sekali lagi dengan fakta kejam, bahwa dirinyalah yang kejam.Dia tidak menduga jika satu hal yang dia lakukan sore itu, mengusir Lara pergi dari rumah adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Hal yang membuatnya dirundung sesal kemudian sepanjang sisa hidupnya.“Maaf, Lara ....” sesalnya sekali lagi.Suaranya terdengar parau. Lebih parau dari suara burung gagak yang barangkali bertengger di pohon tabebuya yag ada di luar rumah mereka.Tapi tahu apa yang dilakukan oleh Lara?Dia meraih kedua bahu Alex, mengusapnya dengan lembut.Jari telunjuknya menyentuh dagunya agar dia tak selamanya tertunduk.Suara lembutnya membisikkan,“Sudahlah ... sudah terjadi sangat lama, ‘kan? Yang
Lara melihat mata terpejam Alex. Seperti dugaannya, dia selalu menjatuhkan bibirnya untuk menyapa bibir Lara dengan tidak berdaya setelah mengakui semua yang dia lakukan di masa lalu itu adalah sebuah kesalahan besar.Lara merasakan lembut dan manisnya bibir Alex yang memagutnya secara perlahan. Tangannya yang besar merengkuh pinggang Lara, membawanya mengambil langkah mundur ke belakang. Menjaga keseimbangan agar Lara tidak terjatuh, karena Alex yang akan menjatuhkannya di sini, di atas ranjang hangat milik mereka berdua.Alex memeluknya semakin erat saat mereka tenggelam di dalam gemuruh suara batin yang perlahan menerima. Ini adalah takdir mereka.Saat Alex melepas Lara, tatap mereka bertemu di udara. Dalam sayu, Lara menyaksikan telunjuk Alex yang menyentuh pipinya.“Cantik sekali.”“Itu rayuan, ‘kan?”“Iya. Rayuan.”“Aslinya? Aku tidak cantik?”“Tidak cantik tapi saaaangat cantik. Tapi tidak boleh cantik di mata orang lain karena cantik ini hanya miliknya Alex.”“Kamu tahu?”“Ap
***Segar sekali rasanya setelah mandi keramas.Pagi ini, Alex turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah. Dia tersenyum sepanjang keluar dari kamar, sepanjang anak tangga, bersenandung tanpa henti meski itu hanya sebatas ‘hmm ... hmmm ....’ yang tak ada artinya.Apa ada yang bertanya kenapa dia mandi keramas?Ah ... itu karena Alex dan Lara baru saja melakukan hal yang menyenangkan tadi malam.Kok bisa? Di mana?Di dalam kamar mandi. Lewat tengah malam setelah anak-anak tenggelam di dalam lelap, Alex dan Lara tenggelam di dalam rasa nikmat.Pokoknya, ini hanya masalah pintar-pintar mengatur waktu, strategi, posisi. Jika ketiganya sudah bisa diatasi, kenikmatan akan singgah di dalam hati. Nikmat raga nikmat batin.Maka dari itu pagi ini wajahnya cerah, tidak ada cerita ditekuk-tekuk seperti kertas origami.Dia tiba di ujung anak tangga dan mencium bau wangi roti yang sepertinya baru saja keluar dari oven.Siapa lagi yang membuatnya jika bukan malaikat tanpa sayap mili
***Ada yang ingin dilakukan Lara hari ini setelah dia menjemput anak-anaknya dari sekolah, menidurkan mereka, tentunya dengan keadaan perut mereka yang kenyang.Dengan diantar oleh Ron, salah satu sopir milik Alex, Lara pergi ke sini, ke tempat yang sudah beberapa waktu terakhir ingin dia kunjungi apalagi setelah dia mendengar dari Laras, ibunya Lara, bahwa seseorang yang ada di dalam sini menitip pesan dan harapan kebahagiaan untuknya dan untuk keluarga Lara.Tahu ke mana Lara akan pergi?Iya, ke lembaga pemasyarakatan tempat di mana Roy, ayahnya ditahan atas kasus keterlibatan percobaan pembunuhan berencana pada kasus kecelakaan Ibra.“Sudah sampai, Nona Lara,” ucap Ron mengakhiri lamunan panjang Lara sedari mereka pergi dari rumah hingga tiba di sini.“Baik, terima kasih, Pak Ron. Pak Ron ikut masuk, ‘kan?”“Sesuai yang diperintahkan sama Pak Alex kalau saya harus menjaga nona Lara, tentu saja saya harus masuk.”“Baik. Kita masuk sama-sama kalau begitu.”“Baik, Non.”Setelah parki
***Dalam rangka menepati apa yang pernah dia janjikan pada Lara dan menuruti keinginan agar Lara bisa sementara pergi, hari ini pun terlaksana.Iya, pergi untuk healing dan menyembuhkan luka. Tempat di mana alam akan membaur bersama mereka. Menampilkan kebahagiaan yang sejati, bukan hanya sebatas semu yang menghitamkan nurani.Alex tidak ingin menundanya lagi. Dia sudah mendapatkan tempat tujuannya, dia sudah melalui proses mengurus yang lama untuk tiba pada hari ini.Norwegia.Sebuah tujuan yang akan memberikan mereka pengalaman memasuki negeri dongeng. Nanti setelah dari sini, Alex akan mengajak Lara, Neo dan juga Shenina untuk terbang ke Inggris, di sebuah desa yang memberikan pengalaman yang juga seperti ada di negeri dongeng.Tapi itu nanti saja.Karena masih ada yang ingin—dan banyak—Alex lakukan di Norwegia.Udaranya sejuk, alamnya bagus. Pepohonan menghijau karena ini adalah musim semi yang cukup dingin. Bunga bermekaran menyambut mereka.Norwegia, sebuah Negara Nordik yang
Bukan hanya siang, malam pun tampak sangat indah.Lampu menerangi desa paling cantik di Noerwegia, Geiranger.“Mama, boleh Shen tambah lagi sup ini?”Lara yang tadinya asyik makan malam dan duduk di samping Alex melihat Shenina yang menyodorkan mangkuk miliknya.Dia bilang dia ingin tambah sup daging dan wortel yang dibuatkan oleh Lara. Dengan tambahan rempah yang kuat dan menghangatkan mereka dari sejuknya udara kiriman dari fjord malam ini.“Boleh, Sayang.”Saat Lara menerima mangkuk dari Shenina, rupanya Neo dan Alex juga melakukan hal yang sama.“Neo juga mau, Mama.”“Papa Alex juga, Mama Lara.”Kalau sudah manja, bisa saingan dengan bocah-bocah kecilnya. Iya, si Alex ini.“Baiklah ....”Lara menerima mangkuk mereka bergantian kemudian menyerahkan masing-masing kepada pemiliknya.Mereka kembali lahap dengan menu sederhana yang dibuat oleh Lara sehingga malam pertama yang ada di Geiranger akan menjadi malam yang berkesan.Tidak banyak hal yang mereka lakukan. Karena setelah makan m