"Apa yang akan kamu lakukan, Sabi?" Jaka memperbaiki posisi duduknya lebih memiring menghadap Sabrina.
"Saya akan buat dia kelimpungan," jawab Sabrina. Ia segera menekan kontak bernama 'suamiku' pada layar ponselnya. Berdering dan tak lama langsung dijawab."Halo, Sabi. Ada apa?" Suara Hasbi terdengar ketus begitu benda pipih itu Sabrina tempelkan pada telinganya."Halo, Mas. Kamu dimana?" Sabrina berbalik tanya sekedar basa-basi. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dikatakan suaminya."Bukankah sudah aku katakan kalau aku sedang bertugas." Jawabannya jelas sekali bohong."Bisakah kamu pulang, Mas? Ini kan hari minggu," sindir Sabrina. Ia sesekali melirik ke arah Jaka yang tengah mendengarkan percakapannya."Hari minggu pun aku tetap bertugas, Sabi. Aku tak bisa pulang, memangnya ada apa?" Suara tegas Hasbi kembali beralasan. Lagi-lagi pria itu berbohong."Mas, perutku sakit sekali terasa ditusuk-tusuk. Aku tak dapat bangun dari tempat tidur, aku mohon pulanglah. Bawa aku ke rumah sakit, Mas. Tolong aku, Mas," rintih Sabrina dengan nada suara seperti orang yang tengah kesakitan.Terdengar Hasbi mendengus kesal, tapi Sabrina seolah tuli. Hasbi memang tahu akan keluhan Sabrina yang sering sakit pada perut bagian bawah. Hasbi juga tahu kalau penyakit Sabrina sudah kambuh, istrinya itu tak akan dapat bangun sama sekali."Baiklah, aku akan pulang sekarang ya." Akhirnya Hasbi menuruti permintaan Sabrina. Sambungan telepon itu berakhir. Ideu Sabrina berhasil.Sabrina segera menurunkan benda pipih itu dari telinganya dan ia masukan kembali pada tas selempang."Kita akan biarkan Mas Hasbi keluar dari rumah itu. Saya penasaran dengan wanita yang bernama Miranda, apa dia mengenal saya sebagai istri Mas Hasbi." Sabrina mengepalkan tangan bersamaan dengan aura panas di dalam dadanya."Boleh saja, tapi jangan gegabah, ya. Saya gak ingin terjadi apa-apa sama kamu, Sabi." pesan Jaka mengingatkan lagi. Pria itu tampak menunjukan kekhawatirannya. Pandangannya ke arah Sabrina menunjukan kalau kecemasannya melebihi dari sekedar sahabat."Iya, saya paham." Sabrina menganggukan kepala. Ia tak sadar dengan pandangan yang dilayangkan Jaka kepadanya.Tak lama, keluarlah dari rumah minimalis modern itu, hasbi yang langsung masuk mobil hitam. Kendaraan roda empat yang dikendarai Hasbi melaju meninggalkan area perumahan.Sabrina dan Jaka berjalan dengan tergesa-gesa menuju pekarangan rumah milik wanita lain suaminya. Mereka sudah berdiri di depan pintu utama kemudian menekan tombol bell yang menempel di dinding dekat pintu, hingga beberapa detik kemudian, seorang wanita pemilik nama Miranda membuka pintu."Loh, Bu Miranda!" Sengaja Sabrina memasang wajah seolah terkejut setelah Miranda membuka pintu."Bu Sabrina!" Sama halnya dengan Sabrina, Miranda pun nampak terkejut."Ada keperluan apa ya, Bu, Pak?" Miranda menatap Sabrina dan Jaka secara bergantian. Ia menautkan kedua telapak tangan."Kami sedang mencari alamat rumahnya Bu Ayuni. Ada yang mengatakan rumahnya yang ini. Tapi, kok yang keluar malah Bu Miranda, ya?" Sabrina mengada-ngada. Wajahnya sengaja dibuat terlihat bingung sambil sesekali melirik Jaka di sampingnya.Miranda tampak mengernyitkan dahi. "Mungkin saja alamatnya salah, Bu," balas Miranda. Raut wajahnya seperti jujur. Tak ada sedikit pun menyiratkan kecurigaan dengan kedatangan Sabrina dan Jaka.Sabrina mengusap keningnya seraya melemparkan tatapan sendu pada Jaka. "Wah, Pak Jaka. Bagaimana ini, sepertinya kita salah alamat. Mana sudah jauh-jauh datang ke sini. Mana haus, capek juga."Jaka mengangkat kedua tangan dan bahunya bersamaan."Ya mau bagaimana lagi, Bu," balasnya sekedar mempertebal akting Sabrina."Bu Sabrina dan Pak Jaka masuk dan istirahat di dalam saja dulu, ya. Nanti saya akan bantu carikan alamat Bu Ayuni. Mungkin ada kesalahan di nomor rumah.” ucap Miranda berbaik hati, mempersilakan Sabrina dan Jaka masuk.Dua gelas jus jeruk serta cemilan yang masih terlihat hangat disajikan Miranda di atas meja untuk tamu tak diundangnya itu. Meskipun kedatangan Sabrina dan Jaka sangat mendadak, tak ada ekspresi curiga di wajahnya."Kalau boleh tahu, kenapa Aksa tiba-tiba mendadak pindah sekolah, Bu? Saya sampai tak sempat berpamitan, lho." Sabrina basa-basi mengawali percakapan."Saya juga tidak tahu, Bu. Suami saya meminta untuk segera pindah saat itu juga dan memilih sekolah di tempat lain. Katanya saya telah salah masuk lembaga sekolah" jawab Miranda jujur. Dari ekspresi wajahnya, jelas sekali kalau wanita yang ternyata selingkuhan suami Sabrina memang tidak tahu apa-apa."Oh begitu." Sabrina manggut-manggut. Ia hendak melanjutkan beberapa pertanyaan. Namun suara deru mobil berhenti di depan rumah sehingga menggagalkan niatnya.Sialnya yang datang adalah mobil Hasbi. Sabrina tak pernah menyangka bahwa suaminya itu akan kembali lagi ke rumah. Pria itu keluar dari mobil lalu berjalan dengan langkah yang cepat menuju pintu utama rumahnya, kemungkinan besar tersadar bahwa dia meninggalkan sesuatu."Ada tamu, Mah?" Hasbi sudah berada di ambang pintu. Ia bertanya saat Miranda berdiri menyambutnya."Oh i-iya, Pah. Hanya sales yang menawarkan internet rumah saja. Papah mengapa kembali lagi?"Di ruang tamu tak nampak siapa-siapa. Hasbi sedang buru-buru sehingga ia tak ada waktu memperpanjang pertanyaannya. Ia segera mengambil dompet yang ada di kamar pribadi kemudian pergi melanjutkan perjalanannya.Detik itu, Hasbi melewatkan fakta bahwa Sabrina dan Jaka sedang bersembunyi di balik lemari pajangan yang terdapat di ruang tamu. Di tempat yang sempit itu, mereka berdiri saling berhadapan."Maaf, Sabi." Jaka membuang pandangan yang tak pantas. Isi dadanya berdebar saat berdekatan dengan Sabrina yang hanya berjarak dua senti meter saja."Tidak usah minta maaf. Kita hanya bersembunyi sebentar," balas Sabrina setengah berbisik. Setelah dirasa aman atas kode dari Miranda, mereka akhirnya keluar."Mengapa harus bersembunyi?" Miranda nampak penasaran. Ia belum mendapat alasan atas permintaan Sabrina untuk bersembunyi."Kami mengenal Pak Hasbi. Mohon jangan sampaikan kedatangan kami padanya karena ini menyangkut sesama pegawai negeri. Semoga Bu Miranda bisa mengerti." ucap Sabrina merapikan pakaiannya."Maaf, Bu Sabi, Pak Jaka. Saya tidak mengerti dengan kalian. Apa maksud kedatangan kalian? Kalau kalian gak mau bilang, saya akan laporkan hal ini pada suami saya." Miranda melontarkan kecurigaannya. Pasang maniknya menelisik Jaka dan Sabrina secara bergantian."Apa Bu Miranda tahu mengapa Pak Hasbi hanya menikahi anda secara siri?" Sabrina menantang. Miranda pun menggeleng tak paham.Sabrina mengukir senyum sinis. "Itu karena anda hanyalah istri kedua, Bu Miranda. Ibu Miranda ini adalah seorang madu untuk istri pertama Pak Hasbi." ucapnya tak menunda waktu."Apa!?" Bola mata Miranda membulat mendengar penuturan Sabrina. "Jangan main-main ya, Bu Sabi!" sentaknya."Saya tidak main-main, Bu. Untuk apa saya datang ke rumah ini hanya untuk membual kepada anda?" Sabrina menautkan alisnya, wajahnya terlihat lelah.Sebaliknya, wajah Miranda kini nampak memerah menahan amarah. "Apa buktinya?" Dia menantang Sabrina."Saya akan bawa buktinya kepada ibu. Dengan syarat, jangan katakan mengenai kedatangan saya saat ini. Jika Bu Miranda penasaran dengan istri sahnya Pak Hasbi, maka saya akan memberitahukan rahasia besar yang disembunyikan suami anda selama bertahun-tahun." Sabrina nampak berani."Oke! Saya tunggu buktinya. Saya akan jaga rahasia ini sampai Bu Sabi membawa bukti atas ucapan barusan. Namun jika anda berdusta, maka bersiap-siaplah karena saya akan laporkan pada Mas Hasbi!"Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga."Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!" Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan."Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu."Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesa
"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja."Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi."Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab."Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan."Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina."Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi."Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala."Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham."Surat rumah t
"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."Bola mata Miranda membulat sempurna seakan hendak loncat dari sarangnya. Sama halnya dengan Hasbi."Apa-apaan ini, Bu Sabi? Saya tidak suka dengan lelucon macam ini." Miranda menggelengkan kepala.Sementara Hasbi menundukan kepala. Ada emosi yang tengah ditahannya."Loh, ini bukan lelucon kok. Saya memang istri sah Mas Hasbi. Kami sudah sepuluh tahun menikah. Namun sepertinya Mas Hasbi tak terlalu kuat dengan ujian yang menerpa pernikahan kami," tekan Sabrina mengulum senyum miring. Ia terlihat kuat, tapi sebenarnya tidak."Mas Hasbi, apa benar?" Miranda menatap nanar suaminya."Mungkin suami anda malu mengakuinya, Miranda. Ops, sory. Maksud saya suami saya, karena anda hanya istri simpanan yang tak dianggap," cibir Sabrina."Cukup, Sabi! Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah merencanakan semuanya? Kamu menjebakku! Kamu berani melawanku?!" sergah Hasbi seraya menghentakan kepalan tangannya di atas meja.Sabrina menggeleng
Nampaknya Hasbi tak akan terima kalau sampai Miranda pergi dari kehidupannya. Dia segera meraih tangan sang istri muda, saat wanita itu hendak pergi."Jangan, Mira. Aku mohon. Kita kembali ke tempat duduk. Kita harus bicara," bujuknya dengan sungguh-sungguh.Miranda yang tengah dibakar api kecewa, nyatanya tetap menuruti perintah Hasbi. Dia mengangguk memberi kesempatan pada sang suami untuk bicara. Akhirnya mereka berdua kembali duduk di tempat semula."Jelaskan sekarang, Mas. Mengapa kamu tega membohongiku," tekan Miranda. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sementara wajahnya begitu nanar kepada sang suami."Oke, aku akan bicara jujur dan kamu harus percaya sebab aku melakukan ini hanya demi, Aksa," jawab Hasbi."Apa hubungannya dengan anak kita?" Miranda mengernyitkan dahi."Mira, aku sudah lama ingin meninggalkan Sabrina. Wanita itu tidak mampu memberikan aku keturunan. Sebagai laki-laki, aku pun ingin memiliki anak dari darah dagingku. Tapi Sabrina tidak bisa. Aku sudah t
"Tega sekali Mama bicara seperti itu," lirih Sabrina. Bulir bening tak bisa lagi dibendung sampai akhirnya harus menetes di pipi mulus Sabrina. Bibirnya bergetar, menahan rasa sakit di dalam dadanya.Sementara Hasbi, dia tampak membatu saat mamanya menghina Sabrina."Mama bicara apa adanya, Sabi. Wajar kan kalau Hasbi ingin memiliki anak di saat kamu tak mampu memberikannya. Jangan egois, Sabi." Wanita paruh baya itu seperti tak memikirkan perasaan Sabrina. Air mata yang tumpah di pipi cantiknya, tak membuat Hasbi membuka mulut untuk sekedar membela sang istri."Miranda bahkan rela menjual perhiasannya demi membantu Mama, lalu bagaimana dengan kamu, Sabi? Kamu terlihat tak sudi direpotkan."Bak petir menyambar tubuh, ucapan mertua Sabrina terasa meremukan tubuh Sabrina sampai ke tulang-tulang."Cukup, Ma! Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan wanita yang baru saja Mama kenal!" tukas Sabrina. Dihapusnya air mata yang seharusnya tak boleh keluar."Kalau Mama lebih menerima pelako
Sambungan telepon itu langsung diakhiri Jaka begitu suara bariton milik Hasbi terdengar."Mengapa jadi Hasbi yang menjawab telepon?" Jaka bertanya-tanya. Dia kini tengah berada di ruang kantornya. Memijat pelipis karena khawatir suami Sabrina jadi salah paham.Semalam, Jaka mengantarkan Sabrina ke rumahnya tanpa ada Hasbi. Dia tak tahu kalau panggilan teleponnya akan dijawab oleh Hasbi. Padahal saat ini Jaka sudah selesai mengumpulkan semua berkas yang dipinta Sabrina. Termasuk berkas penting milik Hasbi yang juga diamankan padanya.Satu jam kemudian pintu ruangan Jaka terdengar diketuk seseorang dari luar."Permisi, Pak. Ada tamu yang ingin bertemu." Sekestaris melapor pada Jaka usai membuka pintu."Siapa?" tanya Jaka biasa saja."Atas nama, Hasbi Adhitama," jawab wanita berambut pendek itu.Sedikit terkejut. Dia langsung mengamankan berkas milik Sabrina. "Bawa ke ruangan saya," titahnya pada sekertaris."Baik, Pak." Wanita itu keluar lagi. Sementara Jaka langsung sibuk memastikan ka
"Sudah, Ma. Sudah. Mama ke sini sama siapa?" Jaka mengalihkan perhatian."Diantar supir," jawab mamanya Jaka masih dengan senyuman yang terukir di bibirnya."Oh baguslah. Aku pamit, Ma. Aku mau antar Sabrina pulang ya." Jaka menarik pelan tangan Sabrina."Tante, saya pamit.""Iya, Sabi. Hati-hati di jalan. Tante tunggu di rumah nanti." Wanita paruh baya itu masih saja melebarkan senyuman. Terlihat bahagia. Pasalnya, Jaka sering sekali bercerita tentang Sabrina padanya.Kini Sabrina dan Jaka telah berada di lobi. Wajah Jaka memerah karena tak enak dengan sikap mamanya yang so akrab, padahal baru pertama bertemu dengan Sabrina."Jak, sepertinya aku akan pesan taksi online saja ya," ucap Sabrina."Oke. Maaf ya kalau tak bisa antar sampai ke rumah kamu," balas Jaka. "Mm-aku mau minta maaf atas sikap mamaku yang so akrab sama kamu," imbuhnya seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Tidak apa-apa, Jak. Aku malah senang sama Mama kamu yang ramah. Mengingatkan pada ibuku di rumah." Sabrina ke
Hasbi nampak mematung dengan penekanan yang diberikan Sabrina. Ia sempat menunduk kemudian mengangkat kembali wajahnya."Putuskan sekarang, Mas. Saya tidak punya banyak waktu." Sabrina kembali menekan. Wajahnya memang terlihat kuat di hadapan semua orang, tapi di dalam hatinya berbeda jauh. "Aku putuskan, aku akan memilih Sabrina." Keputusan pria bergelar ASN itu pada akhirnya.Tapi, tak ada wajah sendu yang ditampilkan oleh Miranda. Apalagi dengan orang tua Hasbi. Mereka terlihat biasa saja. Mereka tak nampak terkejut sedikit pun.Usai melemparkan tatapan pada orang-orang di ruangan itu, Sabrina kembali melayangkan tatapan nanar pada Hasbi. Ia merasa tak yakin dengan jawaban suaminya."Aku tidak yakin kalau kamu akan rela kehilangan istri muda dan anakmu, Mas," tukasnya. Setelah Sabrina memastikan wajah Hasbi yang biasa-biasa saja. Apalagi dengan Miranda yang harusnya bersedih atau marah."Karena aku lebih tak rela kehilangan kamu, Sabi. Perasana ini teramat yakin kalau aku tak rel
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena