"Sudah, Ma. Sudah. Mama ke sini sama siapa?" Jaka mengalihkan perhatian."Diantar supir," jawab mamanya Jaka masih dengan senyuman yang terukir di bibirnya."Oh baguslah. Aku pamit, Ma. Aku mau antar Sabrina pulang ya." Jaka menarik pelan tangan Sabrina."Tante, saya pamit.""Iya, Sabi. Hati-hati di jalan. Tante tunggu di rumah nanti." Wanita paruh baya itu masih saja melebarkan senyuman. Terlihat bahagia. Pasalnya, Jaka sering sekali bercerita tentang Sabrina padanya.Kini Sabrina dan Jaka telah berada di lobi. Wajah Jaka memerah karena tak enak dengan sikap mamanya yang so akrab, padahal baru pertama bertemu dengan Sabrina."Jak, sepertinya aku akan pesan taksi online saja ya," ucap Sabrina."Oke. Maaf ya kalau tak bisa antar sampai ke rumah kamu," balas Jaka. "Mm-aku mau minta maaf atas sikap mamaku yang so akrab sama kamu," imbuhnya seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Tidak apa-apa, Jak. Aku malah senang sama Mama kamu yang ramah. Mengingatkan pada ibuku di rumah." Sabrina ke
Hasbi nampak mematung dengan penekanan yang diberikan Sabrina. Ia sempat menunduk kemudian mengangkat kembali wajahnya."Putuskan sekarang, Mas. Saya tidak punya banyak waktu." Sabrina kembali menekan. Wajahnya memang terlihat kuat di hadapan semua orang, tapi di dalam hatinya berbeda jauh. "Aku putuskan, aku akan memilih Sabrina." Keputusan pria bergelar ASN itu pada akhirnya.Tapi, tak ada wajah sendu yang ditampilkan oleh Miranda. Apalagi dengan orang tua Hasbi. Mereka terlihat biasa saja. Mereka tak nampak terkejut sedikit pun.Usai melemparkan tatapan pada orang-orang di ruangan itu, Sabrina kembali melayangkan tatapan nanar pada Hasbi. Ia merasa tak yakin dengan jawaban suaminya."Aku tidak yakin kalau kamu akan rela kehilangan istri muda dan anakmu, Mas," tukasnya. Setelah Sabrina memastikan wajah Hasbi yang biasa-biasa saja. Apalagi dengan Miranda yang harusnya bersedih atau marah."Karena aku lebih tak rela kehilangan kamu, Sabi. Perasana ini teramat yakin kalau aku tak rel
Detik itu juga Jaka menerangkan pada Sabrina langkah-langkah menyadap aplikasi pesan di ponsel Hasbi nanti.Pandangan Sabrina tak beralih ke yang lain. Dia fokus pada penjelasan Jaka siang ini. Setelah itu, dia segera pulang untuk menjalankan aksinya.Wanita itu hanya ingin memastikan kalau Hasbi memang benar-benar telah berubah. Sampai tiba di depan rumah. Awalnya terlihat tak ada yang aneh. Namun begitu Sabrina memutar handle pintu, ternyata pintu rumahnya dikunci dari dalam."Apa Mas Hasbi ada di dalam?" Sabrina tampak berpikir. Ia segera menekan bell yang menempel di dinding."Mas! Kamu ada di dalam?" Sabrina sedikit berteriak memanggil sang suami yang diperkirakan ada di dalam rumah. Padahal tadi pagi Hasbi sudah berangkat untuk dinas."Sebentar, Sabi." Benar saja Hasbi memang ada di dalam rumah saat balasan suara bariton dengan jelas terdengar kalau itu adalah suara Hasbi.Sabrina nampaknya harus menunggu dalam beberapa menit saat Hasbi masih saja belum membuka pintu. Hingga ak
Setelah keberangkatan Hasbi, kini Sabrina hanya sendirian di rumahnya. Dia tak ke sekolah karena kebetulan hari ini adalah tanggal merah.Penasaran dengan hasil penyadapan kemarin Sabrina segera membuka salah satu aplikasi penyadap pada layar ponselnya. Satu-persatu bukti chatingan Hasbi dengan seseorang mulai bermunculan. Sabrina membuka chat suaminya dengan kontak bernama Muhidin.Muhidin: [Mas, besok aku ada arisan dengan teman-temanku. Uang sepuluh juta buat bayar arisan sudah ada belum? Aku kan malu kalau sampai telat bayar.]Hasbi: [Tenang saja, Sayang. Hari ini kebetulan aku menerima insentif.]Muhidin: [Baguslah, Mas. Jangan pernah berikan uang jatahku pada istri tuamu yang egois itu.]Hasbi: [Tak akan pernah, Sayang. Kamu jangan khawatir, setelah aku berhasil merampas bukti-bukti pernikahan kita, Sabrina akan segera aku ceraikan.]Muhidin: [Jangan lama-lama, Mas. Aku sudah tidak nyaman tinggal di kontrakan hanya untuk bersembunyi dari wanita tuamu.]Hasbi: [Sabar, Sayang. Tak
Air mata Sabrina kembali merembes di pipi. Dadanya bergemuruh lemas. Deretan percakapan pesan antara Hasbi dan mamanya adalah bukti kalau mereka memang bersekongkol akan menyingkirkan Sabrina."Manusia macam apa mereka. Kejam sekali terhadapku." Sabrina meremas bajunya. Menahan sakit di dalam dada yang rasanya pedih melebihi tusukan duri."Aku harus kuat. Harus!"Sabrina segera bangkit. Ia menyudahi penyelidikannya. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Suaminya bukan lagi Hasbi yang dulu. Perubahan itu kini benar-benar nyata. Ia segera membereskan pakaian dari lemari kemudian dimasukan ke dalam koper.Bersamaan dengan itu, pintu kamar terus saja diketuk Hasbi dari luar.Tok tok tok"Sabi, buka pintunya dong!" Sabrina tak memperdulikan suara panggilan dari suaminya. Setelah pakaian tertata rapih di dalam koper, ia segera keluar usai perasaannya mulai bisa ditenangkan."Kamu sudah siap ternyata. Ya sudah ayo kita berangkat." Hasbi menyambut saat Sabrina keluar dari kamar."Berangkat
Satu hari kemudian, rutinitas Sabrina berjalan seperti biasanya bangun pagi-pagi lalu pergi ke sekolah. Ia masih belum menceritakan kisah sendunya pada sang Mamah. Wanita itu masih merahasiakan kejahatan Hasbi dari Santi mengingat penyakit jantung mamanya itu bisa saja kumat kalau mendengar kabar tak mengenakan.Dengan mengendarai kendaraan roda empat, Sabrina bertolak dari sekolah setelah tugasnga selesai. Berkas-berkas penting serta bukti poligami Hasbi sudah tertata rapih dalam satu map berwarna hijau. Tekad Sabrina sudah bulat. Dengan meminta bantuan dari Jaka, wanita berlesung pipit itu akan melaporkan suaminya kemudian menggugat cerai dengan alasan yang sudah jelas.Harapnya, sanksi yang tegas akan didapatkan Hasbi sebagai hasil dari luka yang menyakitkan yang dirasakan Sabrina saat ini.Sabrina sudah berdiri di depan ruangan atasan korps brimob ditemani Jaka—sahabatnya. Dia tak akan memberi Hasbi kesempatan ketiga setelah kesempatan kedua hanya dimanfaatkan saja.Satu persatu b
"Ma!" Sabrina terkesiap dengan keadaan mamanya yang tiba-tiba terkulai lemas di atas pangkuannya. Bersamaan dengan itu, paman Sabrina datang dan masuk mendekati tubuh Santi."Ada apa ini, Sabi?" Paman Sabrina—Subhan bertanya dengan wajah cemas."Sepertinya jantung Mama kumat. Paman, antar aku ke rumah sakit sekarang ya." Sabrina dan pamannya langsung bergerak cepat membawa Santi ke dalam mobil. Sementara Hasbi hanya membatu melihat mertuanya tak sadarkan diri. Entah apa yang ada dalam pikiran pria gempal itu. Dia tampak merasa tak berdosa. 'Belum tuntas aku membuat perhitungan, malah Mama yang pingsan,' umpatnya dalam hati. Hasbi segera hengkang dari rumah mertuanya dan langsung mengikuti mobil Sabrina menuju rumah sakit. Dalam perjalanan mobil menuju rumah sakit, Sabrina terus memeluk sang ibunda sampai akhirnya ia tak merasakan adanya degupan pada dada Santi."Paman, ada apa dengan Mama?" Sabrina resah. Dia bertanya pada Subhan yang tengah menyetir mobil."Kenapa, Sabi? Sebentar
Keadaan yang menghimpit Sabrina saat ini nyatanya membuat Hasbi melebarnya senyuman. Pasalnya, saat ini Hasbi telah resmi dipecat secara hormat dari pangkat yang selama ini ia banggakan. Laporan Sabrina kala itu resmi diterima karena bukti surat pernikahan siri antara Hasbi dan Miranda. Ditambah dengan beberapa lempiran hasil print percakapan lewat aplikasi pesan yang berisi pengkhianatan Hasbi, termasuk bukti rekaman kesaksian RT yang menjadi saksi. Bukan hanya itu, Sabrina juga menyatakan ketidak relaannya atas pengkhiatan Hasbi padanya.Pria bertubuh gempal itu tak merasa iba pada Sabrina yang tengah dirundung nestapa saat ini. Keputusannya memilih Miranda dirasa sudah benar. Selain kecantikan Miranda melebihi dianggapnya melebihi Sabrina, wanita itu juga telah memberikan keturunan sebagai harta yang dianggap paling berharga."Lalu, kamu mau kerja apa setelah ini, Mas?" Miranda menyodorkan secangkir kopi di atas meja.Tak ada jawaban dari mulut Hasbi. Pria itu hanya memperbaiki pos
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena