"Ma!" Sabrina terkesiap dengan keadaan mamanya yang tiba-tiba terkulai lemas di atas pangkuannya. Bersamaan dengan itu, paman Sabrina datang dan masuk mendekati tubuh Santi."Ada apa ini, Sabi?" Paman Sabrina—Subhan bertanya dengan wajah cemas."Sepertinya jantung Mama kumat. Paman, antar aku ke rumah sakit sekarang ya." Sabrina dan pamannya langsung bergerak cepat membawa Santi ke dalam mobil. Sementara Hasbi hanya membatu melihat mertuanya tak sadarkan diri. Entah apa yang ada dalam pikiran pria gempal itu. Dia tampak merasa tak berdosa. 'Belum tuntas aku membuat perhitungan, malah Mama yang pingsan,' umpatnya dalam hati. Hasbi segera hengkang dari rumah mertuanya dan langsung mengikuti mobil Sabrina menuju rumah sakit. Dalam perjalanan mobil menuju rumah sakit, Sabrina terus memeluk sang ibunda sampai akhirnya ia tak merasakan adanya degupan pada dada Santi."Paman, ada apa dengan Mama?" Sabrina resah. Dia bertanya pada Subhan yang tengah menyetir mobil."Kenapa, Sabi? Sebentar
Keadaan yang menghimpit Sabrina saat ini nyatanya membuat Hasbi melebarnya senyuman. Pasalnya, saat ini Hasbi telah resmi dipecat secara hormat dari pangkat yang selama ini ia banggakan. Laporan Sabrina kala itu resmi diterima karena bukti surat pernikahan siri antara Hasbi dan Miranda. Ditambah dengan beberapa lempiran hasil print percakapan lewat aplikasi pesan yang berisi pengkhianatan Hasbi, termasuk bukti rekaman kesaksian RT yang menjadi saksi. Bukan hanya itu, Sabrina juga menyatakan ketidak relaannya atas pengkhiatan Hasbi padanya.Pria bertubuh gempal itu tak merasa iba pada Sabrina yang tengah dirundung nestapa saat ini. Keputusannya memilih Miranda dirasa sudah benar. Selain kecantikan Miranda melebihi dianggapnya melebihi Sabrina, wanita itu juga telah memberikan keturunan sebagai harta yang dianggap paling berharga."Lalu, kamu mau kerja apa setelah ini, Mas?" Miranda menyodorkan secangkir kopi di atas meja.Tak ada jawaban dari mulut Hasbi. Pria itu hanya memperbaiki pos
Dua insan yang sempat saling mencintai dan berbagi kasih selama sepuluh tahun kini tak lagi seiring jalan. Mereka bahkan tak bisa lagi berdamai. Terlebih Hasbi yang menjadi pengangguran akibat laporan Sabrina.Hasbi terus mencari bukti atas tuduhannya. Namun hasilnya nihil. Nyaris tak ada bukti perselingkuhan antara Sabrina dan Jaka Dirgantara. Dua sahabat itu memang tak pernah melakukan yang macam-macam karena hubungannya memang murni hanya sekedar sahabat.Namun Hasbi merasa yakin dengan kecurigaannya hingga ia mencari tahu kesana kemari bahkan sampai ke sekolah tempat Sabrina mengajar. Ada beberapa orang yang menyatakan kalau Jaka dan Sabrina memang sering terlihat bersama untuk sekedar berbincang selayaknya teman. Tapi mengenai bukti tentang perselingkuhan, sama sekali tak didapatkan Hasbi.Hingga di tengah rutinitas pekerjaan Jaka di kantornya, tiba-tiba pintu ruangannya digedor paksa dari luar. Jaka terkejut karena pintu itu terbuka lebar akibat tendangan kaki Hasbi."Bisakah an
"Apa!" Hasbi terkejut. Dia sempat memberontak, mengelak. Hingga akhirnya kekuatan hukum pada surat perintah penangkapan siang itu membuat mantan brimob itu tak bisa berbuat apa-apa. Kedua tangannya di genggam petugas kepolisian berjalan gontai menuju mobil polisi berwarna abu-abu.Melihat itu, Miranda sempat berlinang air mata namun ia tak mampu membela apa-apa. Ia hanya bisa mematung tatkala melihat kendaraan roda empat itu melaju membawa sang suami untuk mempertanggung jawabkan sesuatu yang belum ia ketahui penyebabnya.***"Apa! Mas Hasbi ditangkap polisi? Kenapa?" Pagi ini mamanya Hasbi langsung menemui Sabrina di kediaman almarhum Santi. Tentu saja guru sekolah dasar itu tercengang karena dia tak tahu apa-apa mengenai kasus Hasbi saat ini. Padahal hari ini adalah jadwal persidangan hasil keputusan."Jangan pura-pura kamu, Sabi. Mama yakin kalau ini adalah rencana kamu 'kan?" Mertua Sabrina itu bahkan tak mau masuk ke dalam rumah orang tua Sabrina dan memilih berdiri di teras sam
Getaran dada penuh rasa cemas membuat Sabrina ketakutan. "Buka pintunya!"Sentakan suara bariton dari ke empat pria itu membuat Sabrina kian merasa takut. Dia terpaksa membuka pintu mobil khawatir mereka memecahkan kacanya."Ada apa ini? Kalian siapa?" Sabrina memberanikan diri bertanya."Kami dari pihak leasing akan membawa mobil ini karena sudah hampir satu tahun tidak ada i'tikad baik dari pemilik," jelas pria itu.Sabrina terkejut mendengarnya. "Saya tidak pernah berhubungan dengan pihak leasing," tegasnya."Anda bisa jelaskan di kantor."Tak ada orang yang bisa menolong di area jalanan yang tampak sepi. Sabrina tak merelakan mobilnya dibawa begitu saja oleh orang yang tak dikenal, dia hanya bersikap kooperatif saat mereka telah menunjukan surat tugasnya. Dia mengikuti dua pemotor di belakangnya, walau dalam keadaan hati yang cemas.Benar saja, sesampainya di kantor leasing itu kesabaran Sabrina lagi-lagi harus diuji. Dengan kekuatan hukum, mobil yang dibawanya ternyata sudah sat
Jaka masih menunggu jawaban Sabrina. Namun, kekecewaan Jaka sedikit terobati oleh jawaban wanita di depannya."Tidak." Sabrina menggelengkan kepalanya."Lalu?" Pria itu kembali bertanya. Diturunkannya tatapan. Sabrina memainkan kedua tangan di atas pangkuannya dengan sesekali memperbaiki napas yang terasa berat."Hari ini terasa berat untuk aku lewati. Berawal dari kemurkaan mertuaku dengan sumpah serapahnya. Kemudian aku menemui Mas Hasbi di dalam sel tahanan, dia pun sama murkanya. Aku pergi ke pengadilan agama dan keputusan cerai telah resmi dikabulkan oleh Hakim. Kepedihanku belum tuntas di situ. Dalam perjalanan ke sini, mobilku dihadang empat pria yang ternyata dari pihak leasing. Mereka mengambil mobilku. Aku hanya bingung pada siapa harus mengadu. Rasanya ujian hidup ini terasa berat."Bulir bening di sudut mata Sabrina kembali menetes di pipi. Dia sudah berusaha membendungnya, tapi rasa sakit yang kembali tergores membuatnya tak bisa menahannya lagi.Sekuat tenaga Jaka bangk
Wajah mamahnya Hasbi sedikit tercengang mendengar penjelasan Sabrina. "Jangan bohong, Sabi." "Untuk apa aku berbohong, Ma. Tidak ada untungnya. Jika Mama berminat dengan harta gono-gini, silahkan Mama urus dengan Mas Hasbi." Sabrina dengan nada penuh penegasan.Wanita paruh baya itu tampak membatu dalam beberapa saat. 'Kalau semua itu benar, lalu kemana uangnya?' batin sang mertua. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya."Ini surat undangan untuk kamu. Jika berkenan, datanglah ke acara pesta pernikahan adik Hasbi." Sang mertua meletakan surat undangan pernikahan anaknya di atas meja. Kemudian dia pamit tanpa basa-basi lagi. Sementara Sabrina masih terduduk lesu di sofa ruang tamu. Hari ini dia jadi tak bersemangat padahal jadwal mengajar kembali dimulai. Dengan memaksakan diri, langkahnya tergesa-gesa menuju gerbang sekolahan. Sabrina ke sekolah dengan menggunakan ojeg online. Membuat beberapa pasang mata menyipitkan pandangan padanya."Tumben pake ojeg online," ucap
"Sepertinya ada orang, Ma." Jaka menimpali. Jeni kemudian segera beranjak dari tempat duduk melangkah dengan cepat ke luar kamar Jaka. Bersamaan dengan itu, Sabrina juga segera keluar dari kediamaan Jaka dengan langkah secepat kilat."Tidak ada siapa-siapa kok," desis Jeni sendirian. Dia langsung menemui security. Lalu ia melangkah ke depan."Apa tadi ada orang masuk?" tanya Jeni pada security di gerbang utama."Tidak ada orang lain, Bu. Kecuali Bu Sabrina yang baru saja pergi," jawab pria berseragam layaknya satpam rumah.Jeni mengernyitkan dahi. "Kok Sabrina pergi lagi. Kenapa ya?" Wanita itu merasa aneh. Dia kembali ke kamar Jaka untuk memberitahukan kedatangam Sabrina yang tak mereka ketahui."Jak, kata security barusan ada Sabrina. Tapi dia langsung pergi lagi," lapor wanita paruh baya itu pada anaknya.Jaka nampak berpikir. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres dengan kedatangan Sabrina."Tidak apa-apa, Ma. Mungkin Sabrina ada keperluan lain yang mendesak. Aku akan mene
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena